Pencarian Vesivatoa [Part 21 : TERLEMPAR KE MASA LALU]

“Wira, kamu tidak apa-apa?” tanya  Adora khawatir. Tanganmu banyak darahnya!”

“Alhamdulillah …darahnya sudah mulai berhenti mengalir,” jawab Wira sembari mengelus lengannya yang terbalut handuk. “Terima kasih Adora, kamu cekatan sekali.”  

Adora tersipu mendengar pujian dari Wira. “Tapi sepertinya tanganmu harus dibalut dan diobati dengan benar. Sepertinya nabiella membawa kotak P3K,” ujar Adora. Gelang dari Profesor Will yang mendeteksi keberadaan kotak obat itu di tas Nabiella.

Sambil Adora mengobati luka Wira, anak-anak yang lain duduk melingkar di lantai kayu ruangan itu. Semuanya diam masih shock dengan apa yang baru saja terjadi.

“Sekarang, apa rencana kita?” Ghazi memecah keheningan.

“Kita harus segera menyelamatkan Leafa sebelum keburu dimusnahkan!” seru Alana berapi-api.

“Iya, tapi bagaimana caranya? Sekarang kita terkurung di sini.”

Suasana kembali hening.

Beberapa detik kemudian, “Ehem … aku ada ide!” ujar Kalma Antusias. Semua mata langsung tertuju pada Kalma, menunggu ide cemerlangnya. “Bagaimana kalau kita makan dulu? Saat perut kenyang mungkin otak kita bisa lebih lancar berpikir!”

Anak-anak serempak menepuk kening masing-masing. Dasar Kalma, idenya tak jauh-jauh dari masalah makanan. Namun, tentu saja tak ada yang menolak usul Kalma itu. Tidak bisa dipungkiri, perut mereka sudah mulai keroncongan. Anak-anak pun  mulai membuka kotak bekal masing-masing. Kalma juga mengeluarkan cake wortel buatannya untuk dimakan bersama. Dalam sekejap makanan itu pun ludes. Perjalanan mereka sejak tadi siang sangat melelahkan. Apalagi mereka baru saja menghadapi Tuan Albrecht yang mengerikan. 

Setelah makan mereka pun kepanasan, maklum ruangan itu tertutup rapat semua. Alana mengeluarkan kipas dari tasnya untuk mengusir rasa gerah.

“I-itu kipas pemberian Profesor Nakamura?” tanya Ghazi Antusias.

“Oh iya, benar!” Alana terlonjak karena baru menyadari sesuatu. Anak-anak lain juga tampak bersemangat.

“Kipas apa itu?” tanya Wira yang tak paham.

“Kipas ini adalah pintu teleportasi dan mesin waktu darurat yang bisa dibawa kemana-mana,” jelas Ghazi sambil berbisik. “Dengan  kipas ini kita bisa pergi ke masa lalu, sebelum hutan Black Forest ini ditebangi.”

Ghazi mulai mengatur strategi untuk bisa kabur dari tempat itu, tanpa meninggalkan jejak sedikitpun. Saat mereka sedang bersiap-siap akan menggunakan kipas, tiba-tiba pintu ruangan terbuka. Mister brewok yang tadi memergoki mereka, masuk membawa beberapa gelas dan botol air mineral.

“Kami tahu kalian baru selesai makan, jadi siang ini hanya disediakan air minum saja.” Mister brewok meletakkan botol-botol itu di atas meja. “Ingat ya, ruangan ini dipantau dengan kamera CCTV, kalian jangan coba macam-macam!” ancamnya. 

“Tenang saja, Mister!” jawab Kalma. “Apalagi kalau kami disediakan makanan enak,” tambahnya berusaha meyakinkan

Mister Brewok hanya mendengkus kesal, menghadapi anak-anak yang menganggap tempat ini seperti villa peristirahatan. Sesaat kemudian Mister Brewok keluar dan mengunci kembali ruangan itu.

Ketika suara langkah laki-laki itu sudah tak terdengar lagi, mereka kembali duduk untuk melanjutkan rencana mereka.

“Kita harus mengatur strategi baru. Jangan sampai gerak-gerik kita tertangkap kamera!” ujar Wira. Ia melihat ke sekeliling loteng, mencari posisi kamera yang memantau mereka. Rupanya kamera itu terletak tepat di atas pintu masuk ke ruang sebelah. Dari posisi tersebut, semua sudut di ruangan itu dapat terlihat. Satu-satunya tempat yang tersembunyi adalah kamar mandi. Sebetulnya ruangan itu lebih tepat jika dikatakan WC yang sangat kecil.

“Sepertinya kita tidak akan mungkin masuk ke WC secara bersamaan. Ruangannya terlalu kecil,” ujar Ghazi memperkirakan. 

“Sebaiknya tiga orang saja yang pergi mencari Vesivatoa. Sisanya tetap menunggu di sini untuk mengelabui mereka,” usul Wira. “Selama mereka merasa kita masih di sini, teman-teman yang pergi akan terbebas dari kejaran Tuan Albrecht.

“Baiklah, kalau begitu, Aku, Nabiella, dan Adora akan pergi. Sisanya tetap tinggal di sini,” ujar Ghazi memutuskan. Gelang Nabiella yang sangat sensitif terhadap Vesivatoa akan sangat dibutuhkan di luar sana. Sedangkan gelang Adora akan berguna untuk pengobatan jika diperlukan.

“Biar aku saja yang pergi, sebaiknya Adora tetap di sini agar lebih aman,” tukas Wira.

“Tapi kamu baru saja terluka …,” timpal Ghazi khawatir.

“Tenang saja, insya Allah tanganku tidak apa-apa.”

Ghazi, Nabiella, dan Wira masuk ke WC satu persatu. Adora dan Kalma sengaja berdiri di depan kamera CCTV untuk mengalihkan perhatian penjaga. Ghazi membuka kipas Profesor Nakamura, lalu mengibaskannya sambil sambil menyebutkan tahun 2013.

 

***

 

Tiba-tiba tiga anak itu terduduk di semak-semak tidak jauh dari hutan Black Forest. Nabiella melihat ke sekeliling. Rumah pertanian tempat anak-anak lain menunggu sama sekali tidak terlihat. Tampaknya sepuluh tahun yang lalu, rumah itu belum dibangun.

Nabiella melirik gelangnya yang sudah berkedip-kedip. Ia mencoba berjalan beberapa langkah ke arah hutan. Detektor Vesivatoa di gelang Nabiella menunjukkan jarak yang semakin dekat. Nyala lampunya semakin jelas.

“Ke arah hutan!” seru Nabiella sambil mengacungkan telunjuknya. Ghazi dan Wira mengikuti dari belakang.

Hutan itu benar-benar lebat, tidak ada pohon yang sudah ditebangi seperti yang  mereka lihat di tahun 2023. Mereka menyusuri jalan setapak dan tangga batu yang sudah berlumut, mengikuti petunjuk gelang Nabiella. Sebuah sungai kecil mengalir di antara batang-batang pohon pinus dan oak. Nabiella menghela napas dalam, memenuhi paru-parunya dengan aroma hutan yang sangat disukainya.

 Segaaar!

Sayup-sayup terdengar suara dua orang laki-laki di antara riuhnya nyanyian serangga hutan. Sesaat Nabiella berhenti menajamkan telinga. 

“Mungkin itu suara wisatawan yang sedang  hiking,” tebak Ghazi santai.

Suara itu semakin lama semakin dekat, sehingga terdengar dengan jelas.

“Sepertinya aku kenal dengan suara itu,” ujar Wira sambil mengerutkan keningnya.

“Hmm … benar juga, tapi suara siapa ya?” Nabiella penasaran. 

Ketika kedua orang itu muncul dari balik pepohonan, anak-anak langsung melompat untuk bersembunyi. Seorang laki-laki gempal setengah botak tengah berjalan bersama seorang laki-laki kurus dan jangkung. Dua-duanya memakai kaca mata hitam yang kebesaran.

“Tuan Albrecht!? Apa yang dilakukannya disini?” bisik Wira.

“Sepuluh tahun lalu Tuan Albrecht tampak lebih kurus ya,” celetuk Nabiella.

Ketiga anak itu berusaha mencari tempat untuk bersembunyi, tak ingin cari masalah dengan laki-laki bersuara serak itu. 

KRAKK!

Tanpa sengaja kaki Ghazi menginjak ranting kering. Suara itu membuat Tuan Albrecht dan rekannya memandang berkeliling dengan mata tajamnya.

“Siapa di sana?” seru laki-laki itu dengan suara lantang.

Anak-anak terdesak, tidak ada tempat bersembunyi di dekat mereka. Cepat atau lambat keberadaan mereka pasti akan ketahuan. Nabiella dan Ghazi mulai panik, tapi Wira malah maju selangkah. “Wira! Gila kamu, kita bisa tertangkap lagi!” cegah Ghazi dengan bisik tertahan.

Bagikan artikel ini:

Tinggalkan komentar