Pencarian Vesivatoa [Part 22 : LEAFA]

“Halo Tuan! Kami sedang jalan-jalan, sambil mengumpulkan biji pinus,” teriak Wira dengan suara agak keras. “Jangan sampai kita terlihat mencurigakan! Dia kan belum tahu akan ketemu kita lagi sepuluh tahun yang akan datang,” bisik Wira pada Nabiella dan Ghazi.

Dengan sigap Nabiella mengambil biji pinus yang ada di dekat kakinya. Mereka bertiga berjalan mendekati Tuan Albrecht, menyelidiki apa yang sedang dilakukannya di situ. Tuan Albrecht tampak membawa kamera, meteran, dan beberapa alat aneh yang tidak jelas apa gunanya. 

“Anda juga sedang jalan-jalan, Tuan?” tanya Nabiella sambil melirik barang-barang Tuan Albrecht. Laki-laki itu memegang alat seperti stopwatch yang juga mengeluarkan cahaya berkedip-kedip seperti gelang mereka.

 Apakah dia juga punya alat pelacak vesivatoa? Batin Nabiella. Gadis itu langsung menyembunyikan gelangnya ke dalam saku.

“Aku tidak punya waktu untuk main-main seperti kalian,” jawabnya. “Sudah dua tahun ini aku mencari sesuatu di hutan ini, tapi masih belum juga ketemu,” jelas Tuan Albrecht kesal.

“Wah, ada harta karun ya di sini?” celetuk Ghazi.

“Benda ini lebih berharga daripada harta karun! Dia akan sangat berguna di masa depan!” Tuan Albrecht menjawab dengan berapi-api sambil mengepalkan telapak tangannya.

Rupanya Tuan Albrecht sudah mencari Vesivatoa selama dua belas tahun! Mungkin karena tidak ketemu juga, akhirnya ia memutuskan untuk membabat seluruh hutan di dunia. Untuk apa ia melakukan semua itu? Apakah ada hubungannya dengan Luccacio? 

“Mungkin kami bisa membantu Anda, Tuan. Aku sudah terbiasa main di hutan sejak kecil,” ungkap Wira percaya diri. “Tapi … aku hanya bisa hari ini saja. Kalau terlalu lama, nanti orang tua kami bisa kebingungan mencari.”

Tuan Albrecht tampak berpikir sejenak. Bibirnya  mengerucut, sedangkan tangannya sibuk memegang janggut merahnya yang lebat. Wira berharap laki-laki itu akan percaya padanya. Ia harus mencegah Tuan Albrecht mendapatkan batu ajaib itu.

“Okay, aku akan memberi kalian kesempatan,” ujar laki-laki gempal itu. “Kalau bisa menemukan benda itu hari ini, kalian akan kuberi hadiah uang saku untuk sebulan.”

“Asyik! Kalau begitu, selama kami mencari, sebaiknya Tuan beristirahat saja dulu di sini,” ungkap Ghazi meyakinkan.

Ketiga anak itu berjalan menyusuri hutan yang lebat, dibantu dengan alat berbentuk stopwatch milik Tuan Albrecht. Ternyata alat itu berfungsi untuk mendeteksi keberadaan batu Leafa. Namun, alat itu tidak secanggih gelang Nabiella, sehingga tidak terlalu banyak membantu. Pantas saja Tuan Albrecht masih belum menemukan batu itu sampai sekarang.

Semakin jauh mereka berjalan, kedipan lampu di gelang Nabiella semakin cepat. Hingga suatu saat lampu itu menyala terus tanpa berkedip!

“Kita sudah berada di posisi yang tepat!” seru Nabiella antusias. Ia memperlihatkan gelangnya pada Ghazi dan Wira.

Ketiga anak memandang ke sekeliling. Hanya ada pohon-pohon saja. Tidak ada yang berbeda dengan tempat yang mereka lewati sebelumnya. Lalu, dimanakah batu Leafa berada?

Nabiella mencoba mundur selangkah dari tempatnya berdiri. Petunjuk koordinat di gelangnya malah menunjukkan angka yang lebih besar. Itu artinya ia berjalan menjauh dari Leafa. Nabiella kembali melangkah ke tempatnya semula, di mana angka penunjuk koordinat di gelangnya bernilai nol.

“Harusnya tempatnya tepat di sini,” ujar Nabiella.

“Tapi di sini tidak ada apa-apa,” timpal Ghazi. “Apa kita harus menggali tanah di sini?”

Ketiga anak itu mulai bersiap-siap untuk menggali. Tuan Albrecht membekali mereka dengan sebuah alat penggali kecil. Ghazi berinisiatif untuk mengambil alih tugas penting itu. Lagi pula, ia tak tega jika Wira harus menggali tanah dengan tangannya baru saja terluka.

Ghazi sudah menggali sedalam 30 cm, tapi masih belum ada tanda-tanda apapun.

“Aduhhh!” Tiba-tiba Nabiella meringis kesakitan. Sebuah biji pinus mendarat dengan sempurna di kepalanya. Spontan ketiga anak itu menoleh ke atas, tempat biji itu berasal. Seketika Wira menepuk keningnya sendiri, seakan baru terpikir tentang satu hal.

“Kenapa kita tidak mencarinya ke atas pohon? Siapa tahu batu itu ada di sana?” seru Wira bersemangat.

“Ah, iya!… Kau ingat kata-kata Kiyai Usman, Biel? Leafa berdiam di pucuk-pucuk tinggi!” seru Ghazi dengan pandangan berkilat. Nabiella mengangguk seraya tersenyum lebar.

Ghazi memandang ke pohon pinus tua yang tingginya menjulang itu. “Tapi siapa yang bisa naik ke sana?” tanya Ghazi ragu.

“Aku saja.” Wira menawarkan diri dengan mantap. “Aku sudah bersahabat dengan pohon sejak kecil,” tambahnya lagi.

“Pakai gelang ini, Wira. Bila benar Leafa di sana, pasti ia akan bereaksi.” Nabiella menyerahkan gelangnya dengan yakin.

“Reaksi apa?”

“La kok tanya dia … ya dia sendiri tidak tahu,” seloroh Ghazi yang disambut timpukan keras biji pinus.

“Iya, aku memang nggak tahu. Tapi setidaknya, kalau kedipnya melambat kamu harus segera turun, pohon pinus itu terlalu tinggi,”  kata Nabiella serius.

“Baiklah, bismillah.”  Dalam sekejap Wira sudah merayap bak spiderman, menjauh meninggalkan Ghazi dan Nabiella yang ternganga takjub akan kecepatannya. Tapi baru sampai di tengah, angin menyapu kencang, ia pun berhenti.

“Wira! Bahaya, segera turun saja!” Ghazi berteriak khawatir. Wira menengok ke bawah sejenak, namun terus memanjat. Pohon pinus itu mulai berguncang. Nabiella menahan napas.

“Nabiella, Ghazi, Awaas!” teriak Wira dari atas.

Mata mereka berdua terbelalak melihat sebuah batu hijau meluncur cepat dari ujung pohon pinus. Melihat ukuran dan warnanya, serta kedip cepat di gelang Ghazi, mereka yakin itu Leafa. Namun, tidak bisa tidak, tangan mereka refleks melindungi kepala sambil menutup mata. Dengan kecepatan seperti itu, mereka bisa terluka.

Akan tetapi, samar-samar terdengar kembali teriakan Tuan Albrecht. Mereka harus berpikir cepat, leafa tak boleh sampai jatuh ke tangan penjahat itu! Namun, bagaimana melakukannya tanpa terluka?

Bagikan artikel ini:

2 pemikiran pada “Pencarian Vesivatoa [Part 22 : LEAFA]”

Tinggalkan komentar