Tak sempat mata berkedip, pintu teleportasi sudah kembali terbuka. Udara terasa lebih hangat dan lembab, tidak seperti di Samaila yang sejuk dan nyaman. Di depan mereka berdiri seorang perempuan dengan postur lebih kecil dan lebih gemuk dari Nona Areth. Rambutnya berwarna merah gelap dengan beberapa helai rambut putih yang tersanggul rapi.
“Selamat datang, Nona Areth. Sebuah kehormatan Anda berkenan datang ke negeri kami.” Perempuan itu menyambut dengan suara yang sangat berwibawa.
Nona Areth tersenyum sopan, menangkupkan kedua tangannya ke dada sambil berkata, “Begitu pula bagi saya, Perdana Menteri Li.”
Nona Areth dan Perdana Mentri Li kemudian berbincang cukup serius. Anak-anak berjalan di belakang sambil diikuti tiga orang berbadan tegap tadi.
“Pengawalnya gagah-gagah ya?” bisik Adora kepada Kalma.
“Ah, paling-paling humanoid. Siapa kira-kira namanya ya F561, G727, atau Picasso CN25?” jawab Kalma asal seraya mengibas-ngibaskan tangannya. Dia tidak mau lagi tertipu seperti di Kafe Spirola.
“Ssst!” tegur Alana mendengar kegaduhan kecil itu. Adora dan Kalma pun mengatur sikap mereka.
Interior gedung ini betul-betul berbeda dari Gedung Laboratoria maupun bagunan-bangunan di Samaila. Bila di Laboratoria dan Samaila mereka disambut tembok bersih nan putih, tembok di sini berwarna kelabu, dihiasi kaligrafi tiongkok, piring-piring cantik, dan lukisan-lukisan tumbuhan dan hewan.
Terdapat satu lukisan yang sangat besar terpasang di dinding. Sepasukan tentara menghadapi sosok makhluk besar, berwarna putih, bertanduk hitam. Makhluk itu diikuti oleh bala tentara, anehnya mereka berupa manusia. Lukisan itu seperti menggambarkan perang saudara. Manusia lawan manusia.
“Asher,” Perdana Menteri memanggil pengawalnya. “Ajaklah kawan-kawan kecil kita ini melihat-lihat negeri kita!” Seorang pengawal di belakang mereka mengangguk, tampaknya ia yang dimaksud Perdana Menteri.
“Ya, ikutlah dengannya. Aku harus membicarakan beberapa hal dengan Perdana Menteri Li,” kata Nona Areth. “Asher akan mengantar kalian ke tempatku satu jam lagi,” lanjutnya.
Mereka pun berpisah di depan lukisan itu. Ghazi diam-diam memandangi Nona Areth yang berlalu. Ia kagum sekaligus heran. Siapa gerangan Nona Areth sebenarnya? Tadi seorang Presiden menghampiri mereka, sekarang seorang Perdana Menteri menyambutnya. Tentu bukan hal yang akan dialami oleh seorang biasa yang mengajak lima anak berjalan-jalan.
“Tidak asyik ah dititipkan pada humanoid pencerita! Cakep sih, tapi bukan manusia. Memangnya kita balita yang masih suka dongeng!” kata Adora cemberut dan membuyarkan lamunan Ghazi.
Mendengar hal itu Asher membuka kacamata hitamnya, “ Di Chinaza tidak ada humanoid, Adik manis,” Pengawal berambut hitam legam, berkulit kuning, dan bermata hijau itu menjawab sambil tersenyum sampai menunjukkan giginya yang putih bersih. Mendengarnya tiba-tiba Adora pucat, ia ingin menghilang saking malunya. “Tidak usah malu begitu, aku maafkan,” kata Asher santai.
“Hey, kamu tampaknya tertarik dengan lukisan itu ya?” tanya Asher kepada Alana sambil menunjuk lukisan besar yang tadi dipandangi Alana berlama-lama.
“Em … iya. Menurutku itu lukisan yang ganjil, Kak. Sepertinya ada sebuah perang dengan makhluk asing?” pertanyaan Alana menggantung. Anak-anak lainnya ikut penasaran dengan lukisan berbingkai perak itu. Mereka pun mengerumuni Asher.
“Makhluk putih bertanduk hitam itu bernama Zavreno. Dia pemimpin sebuah planet bernama Yajuja.” Asher menatap lukisan itu dengan serius. “Menurut sejarah, bagi pengikutnya, Zavreno adalah sosok gagah dan penuh rasa kemanusiaan, bak dewa penyelamat. Akan tetapi, sifat aslinya bukanlah demikian.” Asher menjelaskan panjang lebar.
“Bagaimana dengan perangnya? Apa perang itu nyata? atau hanya legenda saja?” tanya Kalma. Menurut perhitungannya, berdasarkan beraneka komik sejarah yang sudah dia baca, di zaman itu seharusnya sudah pernah ada perang besar lagi.
“Perang itu nyata. Zavreno punya pengikut yang sangat banyak. Namun, akhirnya dia dikalahkan oleh tentara bumi, di negeri ini. Negeri tempat ia paling banyak berbuat kerusakan. Nanti kalian bisa lihat sendiri.” Asher menerangkan. Kemudian, matanya memandang ke bawah, rahangnya mengeras, tangannya mengepal. Namun, kemarahan itu tak lama. Asher memejamkan mata, menarik napas dalam-dalam, lalu menghembuskannya perlahan.
“Eh, aku `kan harus mengajak kalian berjalan-jalan!” ucap Asher dengan wajah yang kembali cerah. “Ayo, tak banyak waktu yang kita punya.” Asher bergegas diikuti Ghazi dan anak-anak Dollabella.
Pintu depan gedung itu dibukakan oleh dua orang penjaga. “Mereka juga bukan humanoid, Asher?” Kalma bertanya penasaran.
“Sudah kubilang, kami tidak punya satu pun. Penduduk Chinaza sangat banyak. Siapa butuh humanoid? sedangkan banyak warga butuh pekerjaan.” Asher menjelaskan dengan sabar sambil membuka jasnya.
Ternyata pintu tadi tidak langsung menuju ke luar gedung. Mereka terlebih dahulu memasuki sebuah ruang transisi. Ruangan itu tidak terlalu luas, suhunya dingin, dan temboknya dicat serba putih. Seorang wanita yang juga berpakaian serba putih telah menunggu di ruangan itu. Ia menyilakan Asher dan anak-anak melewati sebuah pemindai yang mirip pintu pemeriksaan keamanan. Sebuah layar virtual di samping pintu itu memperlihatkan bayangan tubuh orang yang melaluinya.
“Asher, kenapa kita diperiksa?” Nabiella bertanya dengan setengah berbisik.
“Pemindaian ini untuk mendeteksi kondisi kesehatan kita serta mematikan kuman dan bakteri berbahaya. Jangan sampai kita membawa penyakit ke luar sana,” jelas Asher, “Dan… jangan sampai kalian dalam kondisi sakit saat keluar dari gedung paling aman dan steril di Chinaza ini.”
Kira-kira satu meter sebelum pintu, terdapat sebuah panel kaca yang menghalangi mereka. Asher berhenti di belakang panel itu. “Kalian masih memakai gelang outdoor suit ?” tanya Asher.
“Outdoor suit?” Alana masih belum mengerti.
“Pakaian ‘storm trooper’ itu, kurasa?” Ghazi menebak.
Asher nyengir. “Hmm, ya, gelang pakaian stormtrooper itu. Itu pasti istilah dalam film kuno dari zaman kalian `kan?” katanya setengah meledek. “Tekanlah bagian merahnya dalam hitunganku yang ke tiga.” lagi-lagi Asher memerintah. “1…2…3!”.
Secara bersamaan mereka semua telah mengenakan pakaian outdoor sehingga benar-benar mirip tentara Star Wars. Setelah berpakaian lengkap, kembali mereka dipindai. Setelah semuanya aman, panel kaca itu terbuka otomatis. Mereka melangkah hingga sangat dekat ke pintu. Seiring bunyi “bip” panel kaca tadi kembali terpasang rapat, setelah itu pintu utama terbuka lebar secara otomatis. Mereka berenam melangkah keluar.