Aku sempat diceritakan Mama tentang Perempuan Garam yang paling ditakuti. Dialah si Maben dari Yiwika, Kabupaten Jayawijaya. Namun, entah mengapa Tete alias kakekku ingin menceritakan itu kembali padaku. Harapanku saat Tete bercerita tentang Maben, tidak ada kisah seram dan menakutkan.
Jadi, di suatu siang, aku baru pulang dari sekolah dan baru saja mengganti seragamku dengan baju biasa di rumah. Tiba-tiba dari teras terdengar suara Tete memanggilku.
“Maria, ko mo dengar tra kisah Maben?” tanya Tete yang masih asyik mengunyah sirih dan pinang. Itu memang camilan Tete setiap harinya. Aku kadang sampai berpikir, apakah Tete tidak lapar, ya, siang-siang begini cuma makan pinang dan sirih. Tetapi, ketika mendengar nama itu, aku langsung terkejut. Mataku berkedip dengan cepat. Aku tidak salah dengar, kan? Hatiku bertanya.
“Ha? Kenapa harus Maben-kah, Tete? Dorang semua takut di sini dengar cerita Maben, Tete,” jawabku dengan nada sedikit kesal.
“Oh, mungkin karena dorang percaya kalau Maben itu keturunan dewa dan punya kekuatan gaib,” sahut Tete sambil mengambil tempat kotak kecil, seperti asbak. Biasanya Tete membuang ludah pinang ke sana supaya tidak mengotori lantai ataupun sekelilingnya.
“Iyo, Tete. Betul, to, itu?” tanyaku penasaran.
“Betul. Tapi, dia juga mirip macam kitorang. Dia itu perempuan, punya anak-anak, tapi dia pu suami su meninggal. Dia sama dia pu anak-anak selalu cari hipere sama daunnya. Ko tau hipere, to, Maria?” Kedua alis Tete naik seketika. Aku pun bingung mendengar kata yang jarang sekali kudengar itu.
“Tra tau. Apa itu, Tete?” Bahuku sempat terangkat sedikit ketika menyahuti Tete.
“Ubi jalar. Su tau, to? Ingat dia pu arti, ee?” Tete menyuruhku untuk mengingat dengan baik penjelasannya. Baiklah, kata ini harus kusimpan dalam kepala. Hipere. Tetapi, apa kaitannya dengan kisah si Maben, ya? Hatiku bertanya-tanya. Dengan cepat, aku pun kembali bertanya ke Tete.
“Oh, terus Maben dengan dia pu anak-anak bagaimana lagi, Tete?” Rasa penasaranku tentang cerita Maben membuatku kembali bersemangat. Apalagi mendengarkan cerita dari Tete yang biasanya selalu punya pesan moral untuk kupelajari. Aku juga berpikir, sepertinya tidak ada cerita yang menakutkan dari Maben. Tete juga tidak sedang menakut-nakutiku.
“Jadi, setelah Maben rebus hipere sama daunnya itu, dia gosok-gosok ke matanya supaya jadi asin. Baru dia dengan anak-anaknya makan,” jelas Tete sambil berpura-pura memeragakan tingkah si Maben sebelum makan. Melihat hal itu, aku pun langsung tertawa. Bukan menertawakan Maben, tetapi melihat mulut Tete yang sudah memerah dan tetap bercerita sambil menggosok-gosok matanya.
“Tapi, kenapa orang-orang jadi takut, Tete? Bukannya bagus, to, si Maben itu. Dia bisa buat makanan jadi enak, kasih garam keluar dari dia pu mata,” ungkapku setelah dengan susah payah memberhentikan tawa saat melihat tingkah lucu Tete. Namun, aku juga merasa heran. Kenapa orang-orang jadi takut dengan kisah Maben? Bukankah dia telah membantu makanan jadi enak?
“Iyo, bagus, Maria. Tapi, Maben juga tra mau orang-orang bergantung ke dia dan lupa menyembah Tuhan. Orang-orang Yiwika bahkan sampai Lembah Baliem semua datang ke Maben untuk minta garam dari dia pu mata,” ujar Tete. Aku melihat muka Tete sedikit berubah saat menjelaskan padaku. Aku bahkan sempat berpikir kalau Tete sedikit takut untuk menceritakan kisah Maben yang sebenarnya.
“Ya Tuhan. Terus, Tete, si Maben tetap kasih-kah garam dari dia pu mata ke semua orang yang datang itu?” Mataku terbuka lebar dan mulutku juga menganga. Aku tidak menyangka Maben akan berbuat baik, tetapi mengorbankan dirinya sendiri sampai seperti itu.
“Iya, Maria. Dia kasih semua ke orang-orang. Bahkan, Maben sempat cuci muka ke kolam di Yiwika. Terus, air di situ jadi asin.” Entah mengapa muka Tete berubah jadi sedikit sedih. Mungkin Tete kasihan dengan Maben yang sudah banyak berkorban untuk Yiwika dan Lembah Baliem itu.
“Kasihan, ya, si Maben. Terus, Tete akhirnya dia bagaimana?” tanyaku lagi. Aku masih penasaran kenapa orang-orang masih takut ketika menceritakan tentang Maben.
“Itu karena penduduk Yiwika dan Lembah Baliem terlalu serakah. Mereka terus mengambil air asin dari kolam tempat cuci muka Maben. Kemudian, orang-orang juga lupa untuk bersyukur dan menyembah Tuhan. Akhirnya ….” Tete seperti tak sanggup melanjutkan kata-katanya. Tiba-tiba Tete terbatuk keras.
“Eh, Tete. Astaga, Tete, kenapa?” Aku pun panik melihat Tete yang terbatuk-batuk. Apalagi Tete sedang makan pinang yang membuat mulutnya penuh dengan warna merah.
“Sudah, tra papa,” kata Tete sambil mengangkat tangannya. Mungkin Tete mau memberiku kode kalau dirinya sudah tidak apa-apa. Setelah itu, Tete pun melanjutkan ceritanya.
“Maben terjun ke dalam kolam dan hilang. Semua orang su cari Maben, bahkan anak-anaknya juga ikut memanggil-manggil Maben di sekitar kolam. Tetapi, semua usaha itu percuma, sia-sia,” ujar Tete dengan suaranya yang agak kencang.
“Terus, akhirnya, gimana, Tete?” Aku mendengarkan sambil melihat Tete dengan fokus. Aku tidak mau ketinggalan sedikit saja akhir kisah Maben.
“Akhirnya kolam jadi asin selamanya. Tapi, Maben sempat titip pesan ke anaknya untuk jaga kedamaian Kampung Yiwika dan Baliem. Semuanya harus rajin bersyukur dan menyembah Tuhan.” Tete mengucapkan itu dengan suara yang sedikit serak. Mungkin Tete menahan rasa sedihnya dengan pesan si Maben yang begitu mulia.
Ternyata, Maben adalah perempuan garam berhati mulia yang selalu ingat Tuhan. Tete mungkin aku jadi seperti Maben yang bisa bersyukur dan berbagi kepada sesama.
“Cerita Ini Diikutsertakan dalam Lomba Cipta Cerpen Anak Paberland 2024”
andai dinarasikan tidak dalam dialog panjang, mungkin ini akan jadi cerita yang manis. Saya suka idenya, hanya merasa kurang nyaman membacanya, maaf..