“Hompimpa alaium gambreng!” seru Finn dan dua temannya.
“Nah, Mada jaga! Wlek-wlek-wlek!” pekik Kemala sambil menjulurkan lidah. “Makannya jangan suka mengejek Tata!” lanjut Kemala sambil mengusap boneka kucing berwarna abu-abu pudar yang sebelum bermain tadi diejek Mada mirip kucing got.
Mada mendengus kesal sambil menatap tajam Kemala. Seolah tidak mau kalah, Kemala balik menatap tajam Mada sehingga muncul kilatan petir yang saling berusaha mengalahkan satu sama lain. Finn segera melerai mereka, kemudian meminta Mada untuk segera mulai berjaga di satu-satunya pohon besar di tanah lapang. Tanpa membantah, Mada melaksanakan perintah. Sambil menghadap ke arah pohon besar, Mada menutup wajah dengan kedua telapak tangan. Setelahnya, ia mulai berhitung dari satu hingga sepuluh. Finn dan Kemala bergegas mencari tempat persembunyian terbaik.
“Maaf, Finn. Aku sudah terlebih dahulu menempatinya,” ujar Kemala yang sudah meringkuk dalam tong kosong berwarna biru. Finn lantas menutup kembali tong itu, lalu sejenak memandangi setiap sudut tanah lapang. Sayangnya, tanah lapang itu terlalu kosong. Finn mulai panik saat Mada sudah menghitung sampai lima, sementara Finn belum menemukan tempat persembunyian. Finn semakin terdesak. Setelah beberapa saat diam, Finn kembali melakukan pencarian.
Saat Mada menghitung sampai tujuh, Finn berada di dekat rumah tua. Tanpa pikir panjang, Finn berlari masuk ke halaman rumah tua. Setelahnya, Finn lantas membuka pintu rumah tua yang sudah lapuk, lalu bergegas masuk dan bersembunyi di dalamnya. Finn terduduk dengan tubuh disandarkan pada pintu sembari ia mengatur napas. Setelah tenang, melalui celah pintu yang sedikit terbuka, Finn melihat ke luar. Belum tampak keberadaan Mada di area rumah tua. Sesaat, Fin pun menghela napas lega. Beberapa saat, Finn terkejut karena suasana rumah tua itu sangatlah pengap dan gelap. Ternyata, rumah tua itu bukanlah sebuah rumah kosong, melainkan masih ada barang-barang yang sudah berdebu, seperti sofa, televisi tabung, kursi goyang, meja, dan pigura foto yang menggantung di dinding kusam.
Seperti bocah seusianya, rasa penasaran yang tinggi membuat Finn ingin mengetahui lebih dalam mengenai rumah tua yang sering dibicarakan oleh orang-orang, termasuk ibunya. Setelah keberaniannya terkumpul, Finn mulai menyusuri setiap ruangan. Dia memasuki lorong yang di kanan-kirinya terdapat ruangan yang terlihat seperti kamar, dan di ujung lorong ada sebuah dapur dan ruang makan. Di sana juga terdapat beberapa benda yang diselimuti debu tebal, seperti kulkas, meja makan, empat kursi, dan kabinet dapur yang kosong. Karena tidak ada lagi yang menarik, Finn memutuskan kembali ke ruang tamu.
Namun, saat Finn hendak menyusuri lorong, mendadak ia mendengar suara perempuan. Buru-buru Finn berbalik badan. Tepat ketika ia kembali menghadap ruang makan, ia terkejut dengan apa yang baru saja dilihatnya. Seluruh ruangan berubah menjadi terang dan bersih. Selain itu, di salah satu kursi, ada seorang nenek sedang duduk sembari memperhatikan Finn yang terdiam.
“Tinggallah sebentar, Nak. Nenek kesepian. Nanti nenek beri susu cokelat dan juga tiga kue pukis lezat untukmu,” ucap nenek dengan suara lirih dan sedikit gemetar.
Finn mengucek mata, dia memastikan dirinya tidak sedang bermimpi di siang bolong. Namun, semua yang dilihatnya nyata. Setelahnya, Finn bingung karena memikirkan tindakan apa yang seharusnya dilakukan: melarikan diri atau menemani nenek itu.
“Tolonglah, Nak. Nenek hanya ingin mengobrol sebentar denganmu,” pinta nenek dengan wajah memelas.
Sampai saat itu, Finn masih terus waspada karena nenek itu bisa saja berbuat jahat kepadanya. Namun, dalam lubuk hatinya, ia merasa iba dengannya. Melihatnya, membuat Finn kembali merindukan neneknya yang sudah lama tiada. Karena tak tega, Finn memutuskan tinggal sebentar untuk menemaninya. Finn berpikir seorang nenek renta tidak mungkin melukainya dan permintaan nenek itu pun bukanlah permintaan aneh. Finn segera mengenyahkan segala pikiran buruk. Finn lantas duduk berhadapan dengan nenek itu.
Nenek tersenyum dan bangkit dari duduknya, lalu berjalan menuju kabinet dapur untuk membuat susu cokelat.
“Namaku Ratih. Siapa namamu, Nak?” ujar Ratih yang kini suaranya lebih lembut dan tegar.
“Namaku Finn. ‘N’-nya dua bukan satu,” jawab Finn.
“Nama yang unik.”
“Teman-temanku juga sering bilang begitu.”
Ratih kembali ke meja makan sambil membawa secangkir susu cokelat dan satu piring berisi tiga kue pukis. Setelahnya, Ratih mempersilakan Finn untuk langsung melahapnya.
“Kamu diajari apa saja oleh ibumu, Nak?” tanya Ratih di sela Finn menggigit kue pukis pertamanya.
“Aku belajar banyak hal, Nek. Mulai dari belajar bangun pukul lima pagi, membereskan tempat tidur, menyikat gigi, membereskan mainan, dan banyak lagi,” balas Finn antusias sembari sesekali meneguk susu cokelat.
“Ada satu hal penting yang kamu lupakan, Nak.”
“Apa itu, Nek?” jawab Finn bingung.
“Etika.” balas Ratih dengan wajah serius.
“Etika? Aku baru mendengarnya.”
“Kamu tidak pernah mendengarkan kata-kata ibumu, Nak.”
Suasana menyuram. Finn langsung berhenti makan maupun minum karena nafsu makan dan minumnya mendadak hilang. Finn juga tersadar jika yang ia makan dan minum adalah dedaunan dan air comberan. Sekejap ia merasa jijik dan berusaha memuntahkan makanan maupun minuman yang masuk ke dalam perutnya, tetapi semua usahanya sia-sia.
“Nenek sakit?” ujar Finn semakin cemas ketika melihat Ratih terdiam dan menunduk.
Tidak lama, Ratih menyeringai, lalu tertawa terbahak-bahak hingga membuat telinga Finn terasa sakit. Sekejap, seluruh ruangan kembali seperti semula: pengap dan gelap. Satu-satunya yang tidak lenyap hanyalah sosok Ratih yang telah berubah menjadi sosok bertubuh besar, bertanduk, bersayap, dan kedua matanya merah menyala. Ketika melihatnya, Finn mendelik dan tubuhnya menegang.
“Sekarang waktunya aku mengajarimu tentang etika agar kamu tidak sembarangan masuk ke rumah orang, Nak” ujar sosok besar itu dengan suara berat.
Mendengarnya, membuat Finn ketakutan hingga mengompol. .
“Kemarilah, Nak.”
Raksasa itu hendak menyeret Finn, tetapi Finn sudah terlebih dahulu terbirit-birit menuju ruang tamu.
“Jangan pergi kamu!” teriak raksasa.
Setibanya, Finn meraih gagang pintu. Namun, saat memutarnya, pintu tidak terbuka. Dahi Finn lantas dipenuhi keringat. Raksasa itu semakin mendekat. Finn terus memutar-mutar gagang pintu sembari memanjatkan doa. Akhirnya pintu terbuka. Setelahnya, Finn langsung berlari kencang tanpa menengok ke belakang. Namun, Finn masih bisa mendengar raksasa itu meneriakinya.
Finn tiba di tanah lapang, lalu menyuruh kedua temannya yang memandanginya dengan tatapan terkejut untuk segera pulang.
“Ce-cepat pulang! A-aku baru saja bertemu dengan Sandekala!” ucap Finn terbata-bata.
Mendengar itu, Mada dan Kemala ikut panik, lalu mereka langsung pergi meninggalkan tanah lapang. Setelah kejadian itu, saat langit sudah memerah, mereka bergegas pulang ke rumah.
(Cerpen Ini Diikutsertakan dalam Lomba Cipta Cerpen Anak PaberLand 2024)
Keren. Bikin merinding
Terima kasih banyak, Kak😆✨