Selesai makan siang, Nabiella dan teman-temannya pergi berjalan-jalan melihat sekolah Ahmed. Sedangkan Om Pasha memilih beristirahat di Masjid Granada saja. Bangunan tua itu tampak cantik dihiasi bunga bougenville berwarna-warni di balkonnya. Beberapa anak laki-laki terlihat sedang bermain bola di lapangan belakang sekolah.
Tiba-tiba Ahmed bersembunyi seakan tak ingin kelihatan oleh mereka.
“Ahmed, apakah mereka teman-temanmu?” tanya Alana penasaran.
“Iya, mereka teman sekelasku. Tapi aku malas bertemu dengan mereka,” jawab Ahmed enggan.
“lho, memangnya kenapa?”
“Mereka sering mengejekku. Aku dijuluki ‘Si Tas Buluk’ karena tasku sudah lusuh dan tidak sebagus punya mereka. Padahal tasku sebetulnya belum rusak kok,” tambahnya.
“Huh, anak-anak sombong!” seru Kalma geram.
Kelima anak itu terdiam. Mereka sibuk dengan pikirannya masing-masing, memikirkan cara untuk menghibur Ahmed. Tiba-tiba Ghazi tersenyum dan berbisik ke arah teman-temannya. Tampaknya Ghazi telah menemukan ide cemerlangnya.
Sekolah Ahmed terletak di jalan yang cukup ramai dilalui oleh wisatawan. Keenam anak itu berjalan ke arah depan sekolah dan berkumpul di trotoar. Ahmed mengeluarkan biolanya, namun ia masih tampak ragu-ragu.
“Aduh, tapi aku malu bermain biola di sini,” ujarnya lirih.
“Tidak apa-apa, aku yakin orang-orang akan suka dengan musikmu,” jawab Ghazi dengan mantap.
“Aku akan menemanimu dengan bermain harmonika,” celetuk Kalma tiba-tiba.
Kalma mengeluarkan harmonika yang selalu tersimpan di dalam tasnya. Anak-anak lain tampak makin bersemangat. Mereka hampir saja lupa bahwa Kalma sangat piawai bermain harmonika.
Tak lama alunan biola Ahmed berpadu indah dengan suara harmonika Kalma. Mereka memainkan lagu Turkish March karya Mozart yang sangat ternama itu. Beberapa orang wisatawan mendekat dan berhenti untuk menikmati penampilan musik mereka. Beberapa orang lainnya lewat sambil meletakkan uang koin di dalam kotak bekas biskuit yang diletakkan Ghazi di hadapan mereka.
Anak-anak yang tadi main bola di belakang sekolah pun datang mendekat ikut mengerumuni Ahmed dan Kalma. Mereka tampak takjub dengan kemampuan Ahmed bermain biola. Sama sekali mereka tak pernah menyangka, Ahmed yang selama ini sering mereka ejek ternyata mahir bermain biola.
Ketika lagu Turkish March berakhir, tepukan tangan dari para penonton pun terdengar riuh. Kotak yang berada di depan Ahmed pun mulai penuh terisi koin, bahkan ada yang memberi uang kertas dengan nilai yang cukup besar.
Gabriel, salah seorang teman sekelas Ahmed datang mendekat. “Maafkan kami, selama ini suka mengejekmu.” Gabriel berujar sambil meletakkan koin dua euro ke dalam kotak.
“Tidak apa, aku senang jika bisa berteman dengan kalian,” jawab Ahmed senang.
“Kamu mau kan bermain biola di pentas drama kelas kita bulan depan?”
“Dengan senang hati,” seru Ahmed sambil tersenyum.
Ahmed dan Kalma memulai pertunjukan kedua. Kali ini mereka memainkan lagu Canon In D. Lagu ini lebih mendayu-dayu. Membawa pikiran Ahmed terbang jauh ke kampung halamannya.Sejenak terlintas wajah ibu dan adik perempuannya yang telah tiada. Sebulir air mata menetes dari pelupuk mata Ahmed. Ghazi dan teman-temannya pun ikut terharu melihatnya.
Usai pertunjukan sebagai musisi jalanan, mereka menghitung uang yang didapatkan. Tak disangka, ternyata terkumpul uang sebanyak 35 euro. Uang tersebut cukup untuk membeli tas baru untuk Ahmed. Dengan begitu, ia tidak akan dijuluki “Si tas buluk” lagi.
“Sekarang kamu bisa beli tas baru, Bro,” seru Ghazi senang.
“wah betul juga,”
“Mau ditemani?”
“Tapi aku belum merasa perlu membeli tas baru. Tas ini masih belum rusak, warnanya saja yang pudar.” jawab Ahmed. “ Aku ingin mengirim uang ini untuk saudara-saudaraku di Suriah. Mereka yang hidup di pengungsian lebih butuh uang ini.” Ahmed berujar sambil membayangkan saudara-saudaranya yang bahkan untuk makan pun kesulitan.
Anak-anak lain pun ikut merasa iba. Mereka mengambil uang jajan mereka dari dompet lalu meletakkannya ke dalam kotak milik Ahmed.
“Maaf, uang jajanku tidak banyak,” ujar Adora.
“Tak apa, terima kasih. Allah sudah mencatat niat baikmu, Insya Allah.”
Sore mulai menjelang. Langit pun memerah, membuat istana Al hambra semakin kemerahan. Tiba saatnya anak-anak dan Om Pasha mengucapkan kata perpisahan untuk Ahmed. Meskipun hanya beberapa jam saja, namun pertemuan dengan Ahmed membuat Ghazi dan anak-anak Dollabella sangat terkesan.
“Aku senang sekali bisa bertemu dengan kalian,” ujar Ahmed.
“Aku juga. Bolehkah aku meminta sebuah barang sebagai kenang-kenangan?” tanya Ghazi tiba-tiba.
“Hah!? Tapi aku tidak punya apa-apa,” jawab Ahmed sedih.
“Bagaimana kalau kita bertukar tas?”
“Aduh, tasku kan sudah jelek.”
“Tidak apa-apa. Aku ingin tasmu itu menjadi kenang-kenangan.”
Ghazi melepaskan tas yang baru dibelikan ayahnya minggu lalu itu dari punggungnya. Ahmed memberikan tas lusuhnya kepada Ghazi dengan berat hati. Bagi Ghazi, tas lusuh itu akan mengingatkannya pada Ahmed dan perjuangan anak-anak Suriah lainnya. Bagi Ahmed tas Ghazi itu memberi semangat baru, untuk terus melanjutkan perjuangan dan meraih cita-citanya.
Sore itu anak-anak Dollabella asyik memandangi matahari terbenam dari atas balon udara. Mereka diam sambil memikirkan petualangan demi petualangan yang telah mereka lalui bersama.
“Aku senang berpetualang dengan kalian,” ujar Kalma kepada teman-temannya.
“Aku juga tidak pernah merasa kesepian lagi sejak kenal kalian,” timpal Alana.
Mereka semua tertawa senang, sambil berharap ada petualangan baru yang akan menunggu mereka di negeri Dolla.
____
Terima kasih sudah membaca kisah petualangan Dollabella, Pabers!
Alhamdulillah, setahun kemudian mereka kembali bertualang …
Kisah mereka bisa Pabers baca di Cerbung PENCARIAN VESIVATOA
Sampai ketemu lagi ^^