“Teng! Teng! Teng!”
Lonceng kuningan raksasa di depan kantor kepala sekolah berbunyi nyaring.
Anak-anak bergegas menuju ke lapangan upacara. Termasuk Farah yang hampir bertubrukan dengan Bia yang datang bergegas dari arah berlawanan.
“Eiits! Sorry!” Bia melompat ringan menjauhi Farah.
Sikapnya membuat Farah penasaran dan memperhatikannya dari ujung rambut sampai ke ujung kaki. Sampai akhirnya Farah menyadari sesuatu.
“Bia, dari mana kamu dapatkan semua pin imut itu?” Farah mengamati aneka pin imut yang menghiasi sepatu kanvas Bia.
“Hhmm…a…aku beli di Monas kemarin,” Bia tergagap menjawab.
“Memangnya, ada yang jualan ini di Monas?” Farah tak percaya.
Bia membuang muka tak menjawab. Farah makin curiga.
“Ayo, ngaku saja. Ini semua pin aku, kan? Kamu telah mencurinya, kan!”
“Eh, kalo ngomong jangan asal, ya!” Bia sengit.
“Kamu yang asal! Pin imut ini tidak ada di mana pun kecuali di rumahku!”
“Emangnya kamu saja yang punya pin seperti ini?” ejek Bia.
“Tentu saja!” Farah berkeras.
Pin-pin imut itu memang lain dari pin kebanyakan karena ukurannya sangat mungil. Tante Ina
sengaja membuatnya dari plastisin aneka warna sebagai hadiah ulang tahun untuk Farah.
“Ayo, kembalikan pin-pin milikku!” Farah berusaha meraih sepatu di kaki Bia. Dia ingin
mencopoti pin-pin itu.
Bia lari menghindar, “Enggak, nggak mau!”
“Ayo, Bi. Kembalikan pinku!” Farah mengejarnya.
Namun Bia terus berlari menghindar. Dia tidak menyadari kalau lantai sekolah ada yang licin bekas air hujan semalam.
“Syuut! Buukk!”
“Aduh! Mamaa!” Bia menangis kesakitan.
Dia jatuh dengan jidat duluan mencium lantai. Sekarang jidatnya benjol sebesar telur bebek
berwarna kelabu.
Farah buru-buru memegang tangan Bia ingin membantunya untuk berdiri. Tetapi Bia mengibaskan tangannya.
“Pergi! Kamu jahat! Kamu telah mendorongku!” Bia menuding ke arah Farah.
Farah melongo. Dia tidak menyangka bahwa Bia akan menuduhnya begitu. Sementara anak-anak dari kelas lain mulai ramai mendatangi mereka berdua.
“Ada apa, ini?” Raka ketua kelas lima datang menyibak kerumunan itu.
“Farah telah mendorongku,” adu Bia.
Farah sangat jengkel dengan sikap Bia itu. Dia ingin menjelaskan, tetapi Bu Yuni, Kepala Sekolah, telah berada di sana.
Bia memperkeras suara tangisnya melihat kehadiran Bu Yuni.
Melihat kening Bia yang benjol, Bu Yuni buru-buru membawanya ke ruang kesehatan.
“Aku didorong Farah, Bu!” Bia masih sempat memfitnah.
“Farah, kamu tunggu di ruangan Ibu,” Bu Yuni berucap tegas.
Dengan lunglai Farah menuju ke ruangan Kepsek. Dia tak menyangka Bia akan sejahat itu.
Sudah mencuri, memfitnah pula.
“Huufh!” Farah menghembuskan napas berat. Bu Yuni pasti lebih percaya pada Bia pikirnya.
Tak lama kemudian Bu Yuni datang dan duduk di kursinya.
“Saya tidak mendorong Bia, Bu,” jelas Farah. “Saya hanya ingin mengambil pin-pin saya yang
Bia pasang di sepatunya. Eh, Bia malah lari dan saya mengejarnya. Tapi dia terjatuh sendiri,
saya tidak mendorongnya.”
“Mengapa pin-pin kamu ada di sepatu Bia?”
“Saya juga tidak mengerti, Bu. Pin-pin imut itu hilang sebulan yang lalu. Tapi sekarang malah
ada di sepatu Bia.”
Bu Yuni terdiam sejenak, “Kamu bisa membuktikan bahwa pin-pin itu punya kamu?”
Farah berpikir, kemudian dia menggeleng perlahan. Rasanya tak mungkin mendatangkan Tante
Ina jauh-jauh dari Bandung hanya untuk membuktikan bahwa Tante Ina-lah si pembuat pin imut
itu.
“Dan kamu juga harus membuktikan bahwa kamu tidak mendorong Bia. Kamu butuh saksi atau
kamu akan mendapat hukuman.”
Farah kebingungan. Tadi dia tidak melihat ada satu anak pun yang membelanya saat Bia
menuduhnya. Tapi tidak juga ada yang menuduhnya.
“Saya saksinya, Bu!” satu sosok berseragam putih-putih masuk ke dalam ruangan itu.
“Kia?” Farah tak menyangka bahwa kembaran Bia akan berada di sana.
“Ya, Farah. Aku melihat sendiri bahwa Bia telah meraup semua pin imut itu dari kotak pinmu.”
“Apa?!”
“Saat itu kami sedang main di rumahmu. Aku sudah melarangnya waktu itu. Kamu lagi di kamar mandi. Tapi dia malah marah-marah.”
Kia menghela napas, “Dan barusan dia bilang sendiri padaku bahwa dia telah berbohong. Dia
jatuh karena terpeleset. Jadi Farah tidak bersalah, Bu.”
“Terima kasih, atas kesaksianmu, Ki!” Farah memeluk Kia.
Ternyata walaupun Kia dan Bia anak kembar tetapi sikap dan watak mereka tidaklah sama.
“Sama-sama, Farah,” jawab Kia. “Aku hanya ingin semuanya jelas. Dan Bia sadar untuk tidak mengulangi lagi sikap buruknya”
“Baiklah, Kia. Ibu berterima kasih sekali atas bantuanmu,” Bu Yuni menepuk bahu Kia dan merangkulnya.
Kia tersenyum.
“Ibu akan bicara dengan mamamu,” tambah Bu Yuni.
“Namun siapa yang bersalah tetap akan dihukum. Bia juga harus minta maaf pada Farah dan mengembalikan semua pin-pin itu.