Embun masih menempel pada dedaunan ketika cahaya mentari mulai memancar. Perlahan tetapi pasti dunia mulai bersinar. Warna jingganya menerobos dedaunan yang basah.
Dari kejauhan terlihat seorang gadis kecil mengenakan mukena ungu mengayuh sepeda kecilnya dengan kecepatan tinggi. Sesekali dia menoleh ke belakang sambil tertawa renyah. Rupanya dia ingin memastikan kedatangan sang ayah yang berjalan cepat mengejarnya.
Sang ayah sesekali melambaikan tangannya sambil berteriak, “Hati-hati!”
Putri kecilnya masih mengendarai sepeda dengan kecepatan tinggi, sedangkan jalanan mulai berbatu. Untuk menenangkan hati ayah, dia pun berhenti dan menunggu kedatangan ayahnya yang mulai berlari-lari kecil di belakang. Di ufuk langit sudah semakin terang. Putri kecil itu menengadah memandang ke arah timur, saat-saat yang ia sukai akan segera tiba, yaitu munculnya lentera raksasa berbentuk bulat dengan warna jingga yang lembut.
“Ayah sudah berkali-kali mengingatkan, jangan terlalu kencang apalagi jalanan ini berbatu,” begitu kata Ayah ketika sudah di depan putri kecilnya.
“Iya Ayah, tapi Cahaya ingin segera sampai ke tempat ini melihat matahari muncul,” sanggahnya sambil tersenyum lebar pada sang ayah.
Ayah mengerti, putrinya sedang merindukan seseorang yang teramat istimewa. Putri kecilnya sudah mengetahui dia lahir ketika matahari muncul setelah ibu berjuang mengeluarkannya semenjak tengah malam. Suara bayi itu tetiba pecah mengiringi semburat cahaya yang masuk melalui jendela kamar rumah sakit. Ibu pun langsung mengucapkan sebuah kata “Cahaya” sambil tersenyum memandang semburat itu.
Dan bayi itu sekarang sudah bisa mengayuh sepeda dengan kencangnya untuk menatap semburat cahaya pagi yang teduh.
Ayah menatap wajah putri kecilnya lekat-lekat. Dia tumbuh menjadi gadis yang ceria dan mudah bergaul. Dia memiliki teman yang banyak. Hari-harinya diwarnai dengan tawa bersama teman-temannya. Tetapi ketika sore tiba, putrinya berubah menjadi pemurung. Terlebih jika malam sudah datang, Ayah belum pernah melihatnya tertawa lepas. Untuk menawarkan hati yang gundah, Ayah sering bercerita dan belajar bersama untuk persiapan esok hari di sekolah.
Cahaya baru terlihat bersemangat, jika terdengar adzan subuh. Dia senantiasa bergegas mengambil air wudhu dan memakai mukenanya untuk segera berangkat menuju surau. Seringkali Cahayalah yang membangunkan Ayah untuk segera berangkat menyembah Illahi Rabbi yang senantiasa memberinya ketenangan dan rizki. Sepulang dari surau, dia penuh semangat mengayuh sepedanya dan berhenti di tempat yang mudah melihat terbitnya matahari pagi.
“Ibu, Cahaya sudah melihat cahaya matahari terbit yang dulu menemani Cahaya lahir. Sekarang, aku mau pulang dulu untuk berangkat ke sekolah,” Cahaya berkata lirih. Tak ada air mata lagi yang keluar dari sudut matanya yang bening. Hanya wajah sendu yang memaksakan diri untuk tersenyum. Ayah sudah berkali-kali melihat adegan ini, tetapi masih belum bisa menahan kepedihan. Tanpa sepengetahuan Cahaya, Ayah mengusap matanya yang berembun.
Tetesan embun di daun masih menempel, ilalang yang tumbuh di sepanjang jalan bergoyang-goyang mengiringi kayuhan sepeda yang kini berjalan perlahan. Ayah tetap berjalan di belakang sepeda itu yang kian lama kian melesat menjauh. Menuju rumah yang penuh kerinduan pada ibu yang telah mendahului menghadap Sang Illahi.
Cahaya juga tak pernah tahu, tekad membara dalam dada Ayah untuk selalu menjaga dan membuat putri kecilnya bahagia. Yang ia tahu, dirinya tidak boleh selalu menangis karena masih ada Ayah yang siap menemani.
Senyum Ayah mengembang melihat sepeda kecil itu terus melaju lalu berbelok memasuki rumah kerinduan. Penghuninya pasti langsung bersiap menghadapi masa depan yang bersinar, seperti cahaya yang melekat pada namanya.