Secukupnya Saja!

Oleh : Siti Sonia Aseka

Ramadhan hari pertama disambut dengan sukacita oleh Gania. Saking semangatnya, ia terjaga paling awal, membangunkan Ayah dan Bunda, lalu membantu Bunda meletakkan piring, cangkir, serta air minum ke atas meja makan.

Usianya sudah menginjak lima tahun. Ini adalah momen pertama baginya untuk berpuasa satu hari penuh selama sebulan. Sebelumnya, Gania hanya sanggup menahan lapar dan haus sampai waktu dzuhur. Ayah dan Bunda bilang, tidak masalah. Gania masih dalam tahap belajar. Yang penting tetap konsisten dan berkomitmen memperbaiki diri untuk mendapatkan pahala sebanyak-banyaknya dan sebaik-baiknya dari Allah SWT.

Bunda memasak sup ayam, tempe, dan tahu goreng. Gania senang, karena itu semua adalah menu kesukaannya.

“Nawaitu shauma ghadin ‘an ada’i fardhi syahri Ramadhaana hadzihis sanati lillahi ta’ala,” mereka berdoa dipimpin oleh Ayah.

“Aamiin,” seru Gania dan Bunda berbarengan.

Ayah melihat Gania mengambil banyak sekali nasi dan lauk pauk melebihi porsi yang biasa ia makan, kemudian tersenyum.

“Gania tahu apa makna berpuasa?” tanya Ayah, lembut.

“Menahan lapar dan haus!” kata Gania, lantang. Ia yakin jawabannya benar.

“Ya, pintar. Menahan lapar dan haus. Menahan. Selain itu, ada lagi yang lain?”

“Hm,” Gania tampak berpikir. Ia kebingungan. “Apa lagi ya, Ayah?”

“Menahan hawa nafsu.”

“Hawa nafsu itu apa, Ayah?” Gania bertanya antusias.

“Hawa nafsu adalah dorongan untuk melakukan sesuatu yang mengarah pada perbuatan negatif atau tidak baik. Contohnya, makan dan minum di siang hari atau berlebih-lebihan saat makan sahur dan berbuka.” terang Ayah, sabar.

Gania tersenyum malu. Ia melirik isi piringnya yang menggunung.

“Tahu tidak mengapa berlebih-lebihan itu dilarang?”

Gania menggeleng. Ia pelan-pelan mengembalikan nasi dan lauk pauk yang berlebih ke tempatnya.

“Karena dapat menyebabkan kesia-siaan. Contohnya, kalau makanan tidak habis, mubazir. Terbuang begitu saja. Padahal di luar sana banyak orang yang kelaparan. Sementara kita dengan mudahnya membuang-buang makanan.”

Mendengar penjelasan dari Ayah, Gania mengangguk mengerti.

“Selain tidak disukai oleh Allah, sikap berlebih-lebihan terutama saat sahur dan berbuka juga punya dampak yang buruk bagi kesehatan, seperti gejala kembung, mual, rasa begah, hingga nyeri pada perut dan ulu hati.” Ayah melanjutkan serius.

“Hiii, Gania tidak mau sakit!” Gania memegang perutnya, wajahnya meringis.

“Nah, maka dari itu, mari kita amalkan anjuran untuk secukupnya dan tidak berlebihan dalam segala sesuatu, ya?”

Mereka lalu makan dengan damai, secukupnya, dan tidak lupa diliputi syukur.

“Alhamdulillah,” seru Gania saat makanan di piringnya habis.

“Terima kasih Bunda, telah memasak untuk kita semua.” sambung Gania, senang.

“Sama-sama,” Bunda tersenyum, “Semoga ibadah puasa kita diterima oleh Allah SWT.”

“Aamiin.” sahut Gania dan Ayah kompak.

Dalam hati, Gania berjanji untuk tidak mengulangi perbuatan yang mengarah pada kesia-siaan lagi. Benar kata Ayah. Segala sesuatu yang berlebihan itu tidak baik.

#TalisKamis

Bagikan artikel ini:

Satu pemikiran pada “Secukupnya Saja!”

  1. Bagus sekali, ceritanya mudah dimengerti dan bermakna. Sepertinya ini nampak seperti cerita nyata, sosok Ayahnya sangat keren. Terimakasih sudah menghadirkan tulisan yg menarik untuk dibaca.

    Balas

Tinggalkan komentar