Tarian Ajeng di Negeri Impian (Part. 14)

Bab 14

Tarian dari Surga Kecil

Tak terasa perjalanan pulang menuju ke rumah begitu cepat. Tahu-tahu sudah sampai saja. Ajeng yang selama di perjalanan tertidur pulas, sedikit terkejut saat dibangunkan. Dia mendapati mobil yang ditumpangi sudah ada di halaman rumah.

“Kita sudah sampai, ya, Bun? Hooaam ….” Ajeng mengucek mata sambil menguap.

“Iya, Sayang. Kamu pules banget tidurnya, jadi nggak kerasa, ya?” tanya Bunda.

Ajeng hanya menanggapi dengan menyeringai malu. Dibantu Bunda, Ajeng turun dari mobil. Sementara Ayah, mengeluarkan barang bawaan dari bagasi mobil. Mulanya, Ajeng hendak masuk ke kamar, tetapi Ayah memanggil.

“Ajeng! Sini, Nak.”

Masih dengan tongkat penyangga, Ajeng berjalan pelan. “Iya, Yah.”

Ayah menepuk sofa di sebelahnya, memberi isyarat agar Ajeng duduk.

“Ajeng, mulai besok diterapi kakinya, ya. Katanya, Ajeng ingin cepat sembuh, ‘kan?”

Ajeng mengangguk cepat. “Mau mau, Yah. Ajeng udah nggak takut lagi, kok.”

“Alhamdulillah,” ucap Ayah dan Bunda bersamaan.

***

Kata Pak Dokter, kaki Ajeng sebentar lagi sembuh. Wajah Ajeng pun tampak bahagia saat baru keluar dari klinik dokter ortopedi. Begitu pun ketika menginjakkan kaki di halaman klinik yang bersebelahan dengan lapangan.

Terlihat beberapa orang sedang berlatih suatu tari tradisional. Sontak Ajeng meminta izin kepada Ayah. Dia ingin melihatnya sebentar.

“Boleh, kan, Yah. Nonton itu dulu.”

Ayah mengangguk, menuruti kemauan Ajeng. Dia ikut duduk di bangku panjang cokelat di sebelahnya. Lelaki berkumis tipis itu memperhatikan wajah dan gerak kepala Ajeng yang manggut-manggut mengikuti irama. Ayah pun tersenyum lebar.

“Itu tari apa namanya, Jeng?”

Pertanyaan Ayah membuat Ajeng menoleh sekilas. “Tari Sajojo dari Papua, Yah.”

“Oh, itu lagu pengiringnya juga berjudul ‘Sajojo’, ya?”

Ajeng mengangguk, kemudian bercerita jika Tari Sajojo mulai ada pada tahun 1990an. Nama tariannya memang diambil dari judul lagu pengiringnya, yaitu Sajojo. Lagu Sojojo sendiri, merupakan lagu daerah dari Papua yang menceritakan tentang kisah perempuan cantik dari desa.

“Tahu dari mana, anak Ayah?” tanyanya seraya membelai rambut Ajeng.

“Baca buku, sering lihat juga di acara televisi, Yah.”

Kembali mereka menikmati gerakan para penari yang serempak. Irama yang penuh keceriaan dalam lagu pun, sangat cocok dengan gerakan Tari Sajojo yang enerjik dan penuh semangat.

“Andai aja kakiku udah sembuh, aku pasti minta izin buat ikutan menari di belakang mereka,” gumam Ajeng yang terdengar sedih.

“Tenang, ya, Cantik. Kan, tadi Pak Dokter bilang, ‘bentar lagi Ajeng sembuh’.”

Ajeng terkikih sambil menutup mulut. “Iya, ya, Yah.”

“Itu, gerakannya emang gitu, ya, Jeng,” tunjuk Ayah.

“Iya, gerakannya emang cuma meloncat, terus bergerak ke depan, ke belakang, ke kiri maupun ke kanan sesuai ritme, Yah. Tapi seru, kok.”

“Iya, kelihatannya emang seru. Buktinya, gerak para penarinya bisa kompak. Ayah jadi ingin ikutan,” ungkap Ayah.

Tiba-tiba dua penari keluar dari barisan dan menarik satu per satu penonton. Salah satunya Ayah.

“Mari ikut menari, Pak,” tawar salah seorang penari laki-laki.

Padahal, tadi Ayah sendiri yang mengatakan ingin ikut menari, giliran diajak Ayah menolak. Namun, Ajeng mendorongnya.

“Sana ikutan, Yah. Buruan!”

Ayah tampak berpikir sejenak hingga akhirnya mengiakan. Sontak Ajeng bertepuk tangan gembira.

“Yeeey! Go Ayah! Semangat!” Ajeng berteriak sambil membentuk lingkaran di mulut dengan tangan.

Ternyata, musik irama Sajojo yang nge-beat berhasil menarik perhatian banyak orang. Mereka lekas berkerumun, mengelilingi lapangan untuk menonton.

Ajeng terus bertepuk tangan mengikuti irama dan geraknya. Sesekali dia terbahak saat melihat gerakan sang ayah yang tampak kaku seperti robot.

“Ya ampun, gerakannya menjadi rusak gara-gara Ayah,” gumamnya sambil cekikikan.

Ketika tarian selesai, semua penonton bertepuk tangan. Sementara para penari, menyalami beberapa penonton yang ikut menari, termasuk Ayah. Keringat Ayah tampak bercucuran hingga kaus abu-abu yang dikenakannya penuh keringat.

“Ya Allah, Ajeng. Ini asyik dan bikin berkeringat, ya.” Ayah berkata sambil mengusap keringatnya di wajah dan leher.

“Pakai ini, Yah.” Ajeng menyodorkan tisu yang diambilnya dari tas.

Meski sudah dilap, Ayah tak berhenti mengibas-ngibaskan tangan ke badan karena kegerahan.

“Kita cari minum, yuk. Ayah haus!”

Sesampainya di rumah makan yang berada di seberang lapangan, Ayah langsung memesan sebotol air mineral dan jus alpukat buat Ajeng.

“Kamu mau pesan apa lagi, Sayang?”

“Enggak usah, Yah. Ajeng masih kenyang, tadi pagi sarapan nasi goreng Bunda sampai dua piring,” sahutnya seraya tersenyum malu.

“Kita istirahat dulu di sini, ya. Ayah masih capek, tapi seru, sih. Pantas anak Ayah suka banget nari.”

“Menyenangkan, ya, Yah?”

“Iya,” jawab Ayah singkat dan kembali menenggak minumannya.

“Tari Sajojo kalau di TV, Ayah lihat gerakannya lebih sulit, deh. Tapi ini tadi lebih sederhana?”

“Sederhana juga, gerakan Ayah banyak yang kacau,” ledek Ajeng. Sontak Ayah tertawa.

“Eh, ini rahasia, ya. Jangan bilang-bilang Bunda. Ayah bisa diketawain,” pinta Ayah sambil berbisik.

Seketika Ajeng mengacungkan jempol tangannya sembari mengangguk. Kemudian, dia menjelaskan jika tari tradisional ini masih dilestarikan dan dikembangkan sampai sekarang. Baik kostum maupun gerakan tarinya selalu dikembangkan dengan gerak yang lebih bervariasi dan kreatif. Apalagi saat di televisi yang bertujuan sebagai hiburan, kontan gerakannya diubah sedikit tanpa mengurangi gerakan aslinya.

“Oh, gitu. Terus, itu mereka kalau sedang pertunjukan pakai kostum apa, sih, Jeng?”

Diterangkan kembali oleh Ajeng, kostum pada Tari Sajojo mengenakan busana tradisional yang terbuat dari akar dan daun. Namun, dalam perkembangannya kostum tari ini dikreasikan dengan kain agar terlihat menarik. Para penari pun biasanya menggunakan aksesoris, seperti tutup kepala dari bulu burung, kalung, dan lukisan tubuh bercorak etnis khas Papua.

“Wah, anak Ayah sangat pintar. Ayah bangga, Sayang.” Ayah mengacak-acak pucuk rambut Ajeng, gemas.

Kemudian, tangan Ayah mengapit kedua pipi Ajeng dan mencium kening putrinya sayang.

Bagikan artikel ini:

Tinggalkan komentar