Semangat Ratih

 

Ratih berlari ke kamarnya. Ratih duduk di meja belajar. Ratih meraih spidol besar, siap menulis. Ratih menarik bibirnya lebar, senyuman indah tampak di wajahnya. Matanya berbinar “Sebentar lagi aku tak akan kesepian lagi,” bisiknya dalam hati.

Berani tidur sendiri. Merapikan kamar sendiri. Mengambil makan sendiri, jika perlu memasak sendiri.

Belajar tak selalu ditemani. Ratih menempel kertas dengan tulisan ukuran besar itu di dinding kamarnya. Di bagian atas kertas itu tertera judul ‘Semangat Ratih.

“Biar ingat terus.” bisik hati Ratih.

“Bunda…. Nanti malam Ratih tidur sendiri, ya! Ratih mau tidur di kamar Ratih sendiri.” Ratih berteriak dari ruang tamu, lalu keluar rumah.

Bunda yang sedang mencuci sayur bayam, menoleh, tersenyum, dan hanya mengangguk.

Sudah lama kamar Ratih tidak digunakan di malam hari. Setiap malam, Ratih tidur di kamar Bunda. Kamar Ratih hanya digunakan untuk belajar, bermain dan menyimpan perlengkapan Ratih.

“Ratih… Ratilh….” Bunda memanggil berkali-kali. Kali ini, Bunda meninggalkan dapur, berjalan menuju ruang tamu. Langkah Bunda terhenti di depan kamar Ratih. Mata Bunda penuh selidik, keningnya mengernyit. Ada sesuatu yang aneh, pikir Bunda, Boneka-boneka yang biasanya di kasur dan juga di lantai, sekarang tidak ada. Baju seragam yang biasanya di kasur, tidak ada. Buku-buku yang berserakan di meja, sekarang tidak ada. Rupanya, buku-buku sudah tertata rapi di meja. Boneka? Baju? Semuanya menghilang? Apa ini di belakang pintu, tanya Bunda di dalam hati. Bunda melihat kantong plastik besar menghalangi pintu, lalu membukanya. Bunda tersenyum lalu menggelengkan kepala.

Tidak lama kemudian, Ratih pulang. “Wah, kamarmu sekarang terlihat luas, ya. Bunda senang sekali, ternyata Ratih pintar beres-beres ya. Tapi….” Ratih yang tadinya tersenyum,

mengerutkan mulutnya. “Tapi apa, Bun?” tanya Ratih penasaran. “Yang di belakang pintu itu? Kenapa seragam kotor juga masuk ke sana? Kenapa tidak diletakkan di ember pakaian kotor…” Tangan Bunda meraih pinggang Ratih dan menggelitikinya. “Hi hi… lya… tadi Ratih terlalu cepat memasukkan semua barang, enggak dilihat dulu. Soalnya Titi sudah memanggil dari luar, cerita Ratih. *

***

Siang berganti malam. Ratih sendirian di kamar. Lampu tidur dinyalakan. Beberapa saat Ratih bangun dan mengganti lampu dengan lampu ruangan. Hmm takut ah, kalau lampunya tidak terang, pikirnya. Ratih kembali ke kasur. Ratih belum bisa memejamkan mata. Jam menunjukan pukul 23.10. Kakinya seakan ingin diajak melangkah keluar. Mulutnya seakan ingin berteriak memanggil Bunda, namun Ratih bisa menahannya. “Aku harus bisa!” ungkapnya dalam hati. Ratih tersenyum teringat cerita Bunda tentang adik bayi. Akhirnya Ratih bisa memejamkan mata.

Keesokan harinya, Ratih bangun kesiangan. Di rumah tidak ada siapa-siapa. Waduuh, gimana nih? Sarapanku? Tempat tidurku? Ratih bergegas ke kamar mandi. Memakai baju seragam, lalu melangkah ke luar.

Langkah kaki Ratih terhenti… Ups…. belum merapikan tempat tidur. Mata Ratih mencari jam dinding. Oh…masih ada waktu. Ratih berbalik merapikan tempat tidur. la juga berpikir tentang apa, yang harus dilakukannya setelah itu.

Ratih bergegas ke meja makan, mengambil roti cokelat di tempat roti. Sambil makan, Ratih melihat secarik kertas yang tertempel di kulkas.

Ratih, Bunda ke rumah sakit. Adik bayi akan segera lahir. Ratih pasti bisa menyiapkan semuanya sendiri. Karena Bunda sudah baca tulisan ‘Semangat Ratih. Selamat pergi sekolah, ya, Sayang….

Ratih girang, “Yes yes yes! Aku akan segera punya adik!” Ratih keluar rumah berjingkrak-jingkrak menuju sekolah yang tak jauh dari rumahnya. ***

Cerpen terbit di Bobo (23 Juni 2016)

Bagikan artikel ini:

2 pemikiran pada “Semangat Ratih”

Tinggalkan komentar