#TalisCerpen Nyore yang Tak Terlupakan

Nyore yang Tak Terlupakan

Cuaca panas akhir-akhir ini terkadang membuat saya lebih mengurangi intensitas kegiatan di luar ruangan. Memang ini terlihat berlebihan. “Tak apa deh, ga lama juga. Nanti saya akan terbantu oleh adaptasi. Semoga tingkat derajat panasnya makin hari tidak makin tinggi. Hihi.” Gumamku. Sekarang ada pengalihan. Kalau dulu, pulang sekolah saya langsung buru-buru minta izin orang rumah untuk pamit bermain. Nah saat ini saya telah mengeluarkan peraturan baru bahwa jatah saya untuk berkegiatan di luar harus dikurangi. Saya masih ingat banget posisi dan mimik wajah saya saat mewartakan pengumuman itu di rumah dan ayah ibuku serta kakak perempuanku tertawa sambil menggelengkan kepala. Sementara saya hanya menunjukkan gigi saya. Hehe. Tersipu malu.

“Nadia? Sini yuk nak. Ibu lagi buat masakan kesukaanmu.” Panggil Ibu saya dari dapur.

“Iyaa Ibuu. Saya ke dapur..”

“Wah harum banget, buu. Ibu jago masak deh. Saya sayang Ibuu.” 

Ibu dan saya saling menunjukkan rasa bahagia. Kami rasa dunia ini milik berdua. Xixixi.

“Saya yang lanjut ngaduknya, boleh ‘kan bu???”

“Masa ibu tolak penawaran kamu, sih. Mangga sayang. Ibu yang lain dulu ya. Mau bantu Kak Tuti nanem.”

Di dapur itu sekaligus ajang bakat saya, lohh. Hal ini tak terlepas dari acara TV chef cilik yang sering saya tonton sekitar 3 tahun yang lalu. Walau acaranya sudah lama tapi aku tetap suka. Simpel banget alasan saya, ya?. Hayu deh saya lanjut masak sampai siap santap.

Ayah saya biasanya datang ke rumah pukul 10 malam. Itu juga tergantung banyaknya pekerjaan ayah. Sekali-dua kali ayah pernah mengabarkan bahwa ayah saya ga jadi makan malam di rumah. Dan kami orang rumah pun memahami kondisi ayah. “Pasti ayah sedang lembur”. Isi pikiran kepala saya, ibu, dan kak Tuti menarasikan seperti itu. Kompak banget walau belum saling ucap. Saya bahagia banget hadir di bumi ini bersama kedua orang tua yang sangat sempurna, tulus, ikhlas, dan kakak saya yang tak kalah tulusnya. Oleh karena itu, bersyukur dalam setiap kondisi menjadi kunci penting. Terima kasih banyak Ya Rabb…

Kak Tuti menghampiri saya yang tengah siap menghidangkan masakan. Peluh Kak Tuti tak bisa ditutupi lagi. Berulangkali, saya melihat Kak Tuti menyeka peluhnya. Senyuman Kak Tuti mengisyaratkan bahwa ia tak kelelahan sedikitpun, ia mengerjakannya dengan hati riang, dan penutupnya ia menyemangatiku lewat sinar senyumannya. Rasa lelah saya pun ikut memudar.

“Senang banget, kakak punya adik seperti Nadia. Matang ga nih Nad??”

“Sudah dijamin. Ini saya masak dengan bumbu full cinta, loh kak. Terkejut ga? Hihi.”

“Waduuh, terkejut nak. Berapa takaran bumbu cintanya? Nanti bisa-bisa kami terkesima dan terlena gara-gara masakanmu ini, sayang.” Ibu ikut memeriahkan ruangan ini. Tawa Ibu tak berhenti. Sejajar dengan senyuman cantiknya yang selalu awet. Saya rasa Ibu pun ingin berusaha menutupi lelahnya. Begitu lelahnya ibu, saya sangat merasakannya. “Semoga Ibu sehat selalu. Aamiin” doaku dalam hati.

“Stop ibu. Stop kakak. Saya ga beri izin untuk makan kalau ibu dan kakak belum cuci tangan. Yuk cuci tangan dulu.” Kataku mengingatkan dengan gaya manisku.

“Ayeay kapten!! Izin, kami cuci tangan.” Ujar ibu dan Kak Tuti kompak.

“Hehehe”

Masakanku hari ini dapat 20 bintang dari total pemberian ibu dan kak Tuti. Seharusnya tadi saya bisa bawa pulang 1000 bintang. Kata Ibu, bintang-bintang itu ga bakal mau. Karena semua sinarnya sudah berada di hatiku. Saya langsung terharu. Ibu saya memang jago di banyak bidang. Hihi. Saya dan Ibu berpelukan. Kehangatan dari cinta murninya sungguh saya rasakan. “I love Ibuu..” bisikku ke Ibu.

Setelah salat Ashar dan pulang mengaji, saya sedikit mencicil tugas sekolah. Tugas sekolah saya cukup melelahkan otak. “Yeay tinggal dikit lagii selesai”. Baru saja saya telah berhasil menuntaskan 10 soal Matematika dan 5 soal mapel IPS. Saya beranjak untuk kemudian menikmati setiap detik dalam rumah yang indah ini.

“Nyore dulu yuk.” Kak Tuti mengajakku.

“Apa itu nyore, kak?”

“Santai-santai di sore hari. Masa gitu aja kamu ga tempe, Nad?”

“Tempe, kak? Bukannya tahuu? Ih kakak suka ngubah istilah aja..”

“Soalnya sarapan kakak makan lauk tahu, dek. Bosann..” Kak Tuti tertawa terkekeh.

Beralaskan yang sederhana, berteduh di hunian penuh makna, dipayungi langit sore yang menawan hati, dan dilengkapi kebersamaan bersama yang tersayang, saya menghabiskan waktu ini dengan ibu dan kakak, menunggu ayah datang. Nyore versi saya yang teramat syahdu dan romantis. Tawa canda turut mewarnai kisah saya. Sungguh, nyore yang tak terlupakan.

Biodata penulis: Aliya Masrurah adalah mahasiswi semester 3 Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan prodi Tadris IPS di IAIN Syekh Nurjati Cirebon, dan baru merintis perjalanan di dunia buku. Tertarik di bidang menulis, suka baca, tapi lebih suka menata mimpi-mimpi agar terwujud. Sosial media: Instagram @aliya.m.liya

Bagikan artikel ini:

Tinggalkan komentar