Tamu untuk Flores

Setiap pagi desaku selalu diselimuti kabut. Aku tinggal di Desa Ngadas yang terletak di tengah Taman Nasional Bromo Tengger Semeru. Desaku adalah desa tertinggi di Kabupaten Malang. Ibu dan ayahku adalah orang asli suku Tengger. Dulu orang tuaku hanya bekerja di ladang sebagai petani kentang. Tapi sekarang mereka memiliki seekor kuda yang rutin disewakan kepada wisatawan yang ingin melihat keindahan gunung Bromo. Namun, tidak hanya gunung ini yang terkenal. Desa tempatku tinggal juga ramai dengan wisatawan Indonesia dan juga luar negeri karena pemandangannya yang tak kalah indah.

Sebagai penuntun kuda selama beberapa tahun, ayahku lama-lama bisa sedikit berbahasa Inggris. Ayah pernah mengantar tamu dari Amerika, Australia, bahkan Rusia. Selain di sekolah, aku juga senang belajar bersama Ayah termasuk cara merawat kuda agar mereka tidak kelelahan dan tidak mudah sakit.

“Guruh, ayo cepat ambil rumput dan berikan pada Flores. Suruh Adik pulang juga ya,” Ibuku meminta tolong. Flores adalah nama yang diberikan kepada kuda satu-satunya yang kami miliki. Ini karena Flores berasal dari Pulau Flores. Tapi aku tak melihat Lupita dari tadi. Di mana ya adikku?

Sambil menunggu Lupita datang, aku membawa beberapa rumput untuk Flores makan. Aku mendengar ringkikan Flores. Dia pasti sudah tidak sabar.

“Halo, Flores! Ini makan siangmu yang lezat,” kataku sambil menaruh beberapa rumput di depannya.

“Neigh…neigh!” Flores meringkih. Saat aku menambahkan air minum di dalam bak besar, Lupita datang. Dia terlihat senang sekali.

“Asyiiik, aku barusan dikasih uang nih sama bu Darma,” kata adikku sambil mengibas-ngibas uang sepuluh ribu rupiah. Dia bercerita kalau dia dan teman-temannya membantu tamu bu Darma untuk berfoto di atas kuda.

“Yuk kita bersiap, Guruh. Lupita, kamu bantu Ibu di rumah. Jangan lupa mengerjakan PR,” Ayah datang sambil membawa tas. Aku biasa menemani Ayah untuk menuntun Flores sampai padang rumput dekat gunung Bromo. Di sana lah kami bertemu banyak pengunjung. Wajah Lupita berubah merengut. Dia sebenarnya juga ingin ikut. Namun, saat kami akan pergi, tiba-tiba Ayah memegang perutnya.

“Aduh, aduh, sebentar. Ayah ingin pergi ke toilet!” kata Ayah melesat ke dalam rumah. Tak lama, aku melihat ada seorang laki-laki yang tinggi berambut pirang. Dia memakai jaket dan membawa ransel hitam di belakang. Dia tersenyum padaku dan Lupita.

Hello, kids. I want to rent this horse to enjoy your village. How much is it?[1] tanya laki-laki itu. Aku dan Lupita saling memandang.

Only around the village? You don’t want to see the mountain?[2] balasku.

Yes. I stay around here and I’m not planning to see the Bromo Mountain now. Maybe tomorrow. So, how much should I pay?[3] kata wisatawan asing itu. Selama aku mengikuti Ayah, aku ingat harga yang Ayah tawarkan pada setiap tamu. Ayah tidak membeda-bedakan dari mana mereka berasal. Semua mendapatkan harga yang sama baik tamu asing maupun lokal.

It’s…[4] belum sempat aku menyelesaikan kalimatku, Lupita menyambar.

It’s two hundred and fifty thousand rupiahs, Sir!”[5] kata Lupita semangat. Aku sampai melotot mendengarnya. Padahal biasanya hanya sekitar Rp150.000. Namun, tamu asing itu tampak tak keberatan. Dia tersenyum sambil mengeluarkan uang. Walaupun begitu, aku tetap merasa sesuatu yang tidak nyaman di hatiku.

“Lho kak, kok ngga diterima uangnya?” tanya Lupita saat aku meminta waktu sebentar pada turis itu untuk berbicara pada adikku. Aku menjelaskan pada Lupita bahwa yang dikatakannya tadi tidak sama dengan apa yang biasa Ayah katakan pada wisatawan. Aku mengingatkan Lupita bahwa meskipun turis asing itu percaya padanya dan rela membayar, kita tetap saja berbohong.

Tak lama, Ayah datang. Aku menjelaskan pada Ayah apa yang terjadi. Ayah tersenyum dan menyambut tamu itu. Sebelum Ayah menuntun Flores, Ayah berkata, “Terima kasih, Guruh. Kamu sudah mengingatkan adikmu. Lupita, jangan mengulanginya lagi, ya.” Lupita pun meminta maaf pada Ayah dan juga kepada tamu asing tadi. Mulai saat itu, aku dan Lupita akan selalu memberi harga yang sama seperti yang Ayah tetapkan pada setiap wisatawan yang bertanya. Ada atau tidak ada Ayah, tugas kami adalah mempertemukan Flores pada tamu yang tepat tanpa membeda-bedakan dari mana asalnya.

[1] “Halo, anak-anak. Saya mau menyewa kuda ini untuk menikmati desa kalian. Berapa harga sewanya?”

[2] “Hanya berkeliling desa? Anda tidak ingin melihat gunung?”

[3] “Ya. Saya menginap di sekitar sini dan saya tidak ada rencana untuk melihat gunung hari ini. Mungkin besok. Jadi, berapa yang harus saya bayar?”

[4] “Biayanya…”

[5] “Biayanya dua ratus lima puluh ribu, Pak!”

Bagikan artikel ini:

Tinggalkan komentar