Bab 10
Menghadang Pencopet
“Bunda, kenapa?” gumam Ajeng sambil melompat dari ranjang.
Gegas dia ke luar kamar, mencari keberadaan Bunda di tiap penjuru ruang. Dari ruang tengah hingga ruang tamu, dari teras hingga garasi, Ajeng belum juga menemukan Bunda. Saat ke dapur, barulah Ajeng melihat Bunda yang sedang mengangkat sapu dengan kedua tangan.
“Bunda sedang apa?” tanya Ajeng dengan tatapan heran.
“Ajeng, tolongin Bunda! Itu … itu … kamu usir itu!” tunjuk Bunda dengan napas terengah-engah dan wajah ketakutan.
Ajeng memutar bola matanya. Ditatapnya seekor binatang bertubuh cokelat mengkilat yang ditunjuk Bunda di dekat kompor. Seketika Ajeng tertawa kencang, mendapati Bunda takut dengan kecoa.
“Ya Allah, Bunda. Ajeng pikir Bunda kenapa? Besar mana coba, Bunda sama kecoa? Masa sama kecoa takut, sih?” ledek Ajeng yang kembali tergelak hingga memegangi perut.
Ajeng pun mendadak berhenti tertawa saat Bunda mendelik.
“Ups!” Ajeng menutup mulut dengan tangan.
“Bunda bukannya takut, tapi geli.” Bunda mengucap kata ‘geli’ penuh penekanan.
“Iya, iya maaf, Bun.”
Ajeng lantas mengambil sandal di rak sepatu di pojok dapur. Ketika akan mengambil sandal biru berhak tinggi, Bunda langsung melarang.
“Jangan pakai itu! Nanti sandal Bunda bau kecoa.”
Terpaksa Ajeng mengambil sandal miliknya sendiri. Sekali tepuk, kecoa terkapar dan mati. Tanpa menunjukkan sikap jijik, Ajeng mengangkat antena kecoa dengan tangan. Kemudian, dia membuangnya keluar.
“Cuci tangan, Jeng. Cuci tangan! Ih, kamu jorok. Kenapa nggak dibuang pakai sapu aja?”
“Gimana mau pakai sapu? Orang sapunya dipeluk Bunda gitu,” sindir Ajeng seraya cekikikan.
Wajah Bunda langsung memerah, seperti kepiting rebus karena menahan malu. Saat Ajeng cuci tangan di wastafel, Bunda mendekat dan mengabari sesuatu. Ayahnya yang sekarang dinas di Bandung, meminta mereka untuk menyusul ke sana di akhir pekan.
“Tumben, emang ada acara apa, Bun?”
“Rahasia kata Ayah.”
Ajeng menautkan kedua alis, merasa ada yang aneh. Namun, dia tak berani protes.
***
Ketika mengantar Ajeng berangkat sekolah, Bunda sudah mewanti-wanti Ajeng agar pulangnya menunggu dijemput. Namun, karena sudah menunggu lama, Ajeng memilih pulang dengan jalan kaki dibantu tongkatnya.
Apalagi jarak rumah dan sekolah tidak terlalu jauh, kaki Ajeng pun sudah tak sesakit sebelumnya. Bersama Mita, Ajeng pulang dengan hati gembira sembari banyak bercerita. Tiba-tiba dari arah belakang, Ajeng mendengar teriakkan seorang wanita.
“Toloong! Copeeet!”
Seketika Ajeng menoleh. Tampak dari kejauhan, seorang lelaki memakai masker dan topi sedang berlari ke arahnya. Di tangan kanan lelaki itu terdapat sebuah dompet merah muda. Ajeng yakin, dia itu pencopetnya.
Tak berpikir panjang, Ajeng meminta Mita memegangi lengannya. “Mit, tolong pegang lenganku agar tak jatuh.”
Mita yang sebenarnya tak paham, tetap menyanggupi. Kemudian, Ajeng menghadang pencopet itu dengan menjulurkan tongkatnya ke kanan. Saat melintas, pencopet pun langsung tersandung tongkat Ajeng hingga jatuh tersungkur.
“Yes, berhasil!” Ajeng bersorak.
“Kamu hebat, Jeng,” puji Mita ikut senang.
Karena si pencopet terjatuh, warga yang mengejar dapat menangkap dan membawanya ke kantor polisi tanpa kesulitan.
“Terima kasih, ya, Dek. Berkat kamu pencopetnya tertangkap, dompet Ibu juga jadi selamat.” Wanita itu langsung menyalami Ajeng.
Ajeng hanya mengangguk seraya tersenyum manis. Saat wanita itu hendak memberinya imbalan, dengan sopan Ajeng menolak. Sebab Ajeng menolong tanpa pamrih.
Pada waktu itu juga, Bunda melintas. Bunda tak sengaja melihat Ajeng ada di trotoar jalan. Putrinya sedang bersalaman dengan beberapa orang. Tentu Bunda jadi bertanya-tanya lalu menepikan motornya di pinggir jalan.
“Ajeng, apa yang terjadi? Kamu nggak kenapa-kenapa, ‘kan?” cecar Bunda cemas.
“Nanti aku jelasin di rumah, ya, Bun. Sekarang kita pulang aja, yuk,” ajak Ajeng.
Ajeng melirik Mita. “Mit, aku pulang duluan sama Bunda, ya,” pamitnya pada sang sahabat.
“Iya, nggak apa-apa, Jeng,” sahut Mita seraya mengusap bahu Ajeng.
Sesampainya di rumah, Ajeng menceritakan semua yang terjadi ketika pulang sekolah. Meski kagum dengan sikap berani Ajeng, di hati Bunda tetap terselip rasa khawatir.
“Pokoknya, lain kali selama kaki Ajeng belum sembuh, Ajeng nggak boleh pulang duluan. Ajeng harus menunggu Bunda datang menjemput!” tegas Bunda yang hanya dijawab anggukan pasrah dari Ajeng.
***
Akhir pekan yang ditunggu-tunggu telah tiba. Kurang lebih lima jam, Ajeng dan Bunda melakukan perjalanan dari Pekalongan menuju Bandung, Jawa Barat. Selama itu pula, Ajeng memanfaatkan waktunya di bus untuk membaca buku ataupun sekadar tidur bersandar di bahu Bunda.
Meski sebetulnya Ajeng penasaran dengan tujuannya ke Bandung. Ajeng tetap memilih diam. Tak mudah meminta Bunda bercerita, apalagi sudah mengatakan, “Rahasia.”
Setibanya di terminal, tampak Ayah yang sudah menunggu untuk menjemput mereka. Dengan cepat, mereka pun sampai di penginapan. Tak perlu diperintah, Ajeng merebahkan tubuhnya di atas ranjang empuk di kamar hotel begitu tiba.
“Anak Ayah capek, ya.” Ayah mendekat lalu mengusap kepala Ajeng lembut. “Gimana kakinya, Sayang?”
“Alhamdulillah, udah mendingan, Yah. Tapi, Ajeng ingin cepat-cepat sembuh. Ajeng bosan pakai tongkat terus waktu berjalan. Ajeng juga rindu ingin menari,” keluhnya panjang lebar dengan mata berembun.
“Sabar, ya, Sayang. Ajeng pasti sembuh dan bisa menari lagi. Oya, sekarang Ajeng sama Bunda istirahat dulu aja. Karena nanti malam ….” Ayah berhenti berbicara, membuat Ajeng penasaran.
“Nanti malam kenapa, Yah?”
“Akan ada kejutan buat anak Ayah.”
Penasaran dengan kejutan dari san
g ayah, justru membuat Ajeng tak bisa memejamkan mata. Rasanya Ajeng ingin buru-buru malam tiba.