Tarian Ajeng di Negeri Impian (Part. 6)

Bab 6

Bersyukur itu Menenangkan

“Siap!” seru Ajeng saat mengigau.

Bunda yang hendak membangunkan Ajeng untuk salat Subuh, sampai-sampai terlonjak karena kaget.

“Astagfirullah! Ajeng, Ajeng … mimpi apa, sih, sampai mengigau gitu?” Bunda mengurut dada. “Jeng … bangun, Sayang! Udah subuh.”

Bunda mengguncang badan Ajeng pelan. Anak yang tengah berpetualang di Negeri Impian pun, akhirnya membuka mata.

“Hooaam … Bunda?” Ajeng menguap dan menggeliatkan tubuh.

Bunda kemudian duduk di tepi ranjang. “Mimpi apa tadi, Ajeng? Kayaknya seru?” tanyanya penuh selidik.

Ajeng meringis lalu tersenyum malu. “Mimpi indah pokoknya, Bun.”

Bunda sampai geleng-geleng.

“Oya, hari ini Ajeng sudah mulai berangkat sekolah. Nggak apa-apa, ‘kan?”

“Alhamdulillah. Ajeng malah seneng, Bun.”

“Alhamdulillah, syukurlah. Tapi nanti Ajeng berangkatnya diantar Bunda, ya.”

Ajeng mengangguk. Dia tahu Bunda tak tega jika Ajeng jalan kaki sendirian seperti biasanya.

***

Sesampainya di depan sekolah, teman-teman yang melihat Ajeng mulai berangkat, seketika berlari mendekat.

“Ajeeng!” teriak Mita, sahabat Ajeng.

Dibantu teman-teman, Ajeng turun dari motor Bunda.

“Terima kasih, Anak-Anak, sudah membantu Ajeng. Oya, titip Ajeng, ya. Dia belum boleh banyak bergerak sebetulnya,” kata Bunda saat akan pergi.

“Sama-sama, Tante. Tenang, kita akan menjaga Ajeng.”

Ajeng tersenyum senang karena memiliki teman-teman yang baik dan perhatian.

Kebetulan hari ini ada pelajaran PJOK (Pendidikan Jasmani, Olahraga, dan Kesehatan). Karena belum bisa mengikuti, Ajeng pun hanya membaca buku di bawah pohon sembari memandangi teman-temannya berolahraga di tengah lapangan.

“Aku rindu berolahraga.” Ajeng menghela panjang.

Tiba-tiba, dia dikejutkan oleh suara seseorang yang menyapanya dari belakang.

“Hai, Ajeng,” sapa seseorang. “Oya, kenalin … namaku Cindy. Aku murid baru.” Cindy mengulurkan tangan, menyalami Ajeng.

Hampir tiga minggu Ajeng tidak masuk sekolah. Dia jadi tidak tahu, ada murid baru di kelasnya. Ternyata, murid baru itu juga tak mengikuti pelajaran PJOK karena keterbatasan fisik.

“Hai, Cindy. Gimana kamu tahu namaku?” tanya Ajeng heran.

“Namamu sudah kudengar dari semenjak baru masuk sekolah ini, kamu cukup populer, Jeng. Mereka bilang, kamu penari tradisional yang hebat.”

Ajeng mengerutkan dahi. “Iyakah? Nyatanya, sekarang aku nggak bisa menari lagi, kakiku cidera,” jawab Ajeng sedih.

Cindy membesarkan hati Ajeng. Kaki Ajeng masih bisa sembuh, sedangkan dia selamanya akan ada di kursi roda.

“Emang, kaki kamu kenapa, Cin?” Sekilas, Ajeng menatap Cindy yang duduk di kursi roda.

Wajah Cindy yang ceria mendadak berubah muram. Dia mulai menceritakan tentang penyakit cerebral palsy yang dideritanya semenjak dalam kandungan.

“Apa itu cerebral palsy?”

Ajeng merasa baru mendengar, atau mungkin memang dia tidak tahu.

“Cerebral palsy itu penyakit yang menyebabkan gangguan perkembangan otak, yang membuat aku lumpuh dan tak bisa sembuh,” jelas Cindy sambil tersenyum.

Ajeng begitu malu terhadap diri sendiri. Allah hanya memberinya cobaan kecil, tetapi dia sering mengeluh dan merasa cita-citanya hancur. Sementara Cindy, teman barunya itu tampak begitu tegar meski penyakit yang diderita membuatnya sulit beraktivitas. Bahkan, bicaranya kurang jelas karena penyakit itu.

“Aku kagum sama kamu, Cin.”

Dibantu tongkat penyangga, Ajeng berusaha berdiri dan memeluk Cindy. Dia mulai paham apa arti bersyukur. Apa yang dialaminya tak seburuk yang dia kira. Masih banyak orang yang nasibnya jauh lebih menyedihkan, contohnya Cindy.

***

Jam pulang sudah sedari tadi, tetapi Bunda belum juga datang menjemput. Ajeng yang bosan menanti, akhirnya menunggu di ruang baca.

Sebelumnya, Ajeng berpesan kepada sekuriti sekolah, barangkali bundanya mencari, dia ada di perpustakaan. Letak perpustakaan yang berada di sebelah taman, membuat Ajeng bisa membaca sembari menikmati angin yang berembus pelan.

Ketika asyik membaca, Bufi dalam wujud kupu-kupu datang lalu berputar-putar di atas kepala Ajeng. Seketika mata Ajeng terasa makin berat. Dia lantas kembali masuk ke Negeri Impian dan bertemu Bufi, anak manis jelmaan kupu-kupu ajaib.

“Hai, Ajeng. Apa kabar hari ini?”

“Baik, Bufi. Aku bahagia dan itu berkat Cindy, teman baruku di sekolah.”

Bufi tersenyum lebar mendengar celotehan Ajeng tentang Cindy, anak spesial yang mengidap cerebral palsy. Ajeng yang mulai lelah bercerita, kemudian mengajak Bufi mencari makanan.

“Enaknya makan apa, ya, Bufi?”

“Gimana kalau makan rujak cingur? Ditambah minumnya es gudir, siang-siang gini paling cocok minum es.”

Bufi menelan ludahnya sendiri saat membayangkan makanan dan minuman yang disebutnya sendiri.

“Kamu bilang rujak cingur, itu artinya kita ….”

Ajeng sudah tahu tempatnya berada. Senyumnya langsung merekah.

“Kamu suka, ‘kan, Ajeng?”

“Suka suka. Jawa Timur itu memiliki banyak sekali kebudayaan. Aku sudah nggak sabar buat keliling,” ungkap Ajeng senang.

“Tapi kita makan dulu, yuk. Nggak afdal kalau jalan-jalan tanpa icip-icip kulinernya.”

“Siaaap.” Ajeng mengacungkan jempol tangan.

Sebenarnya, kuliner khas Jawa Timur ada banyak macamnya. Akan tetapi, rujak cingur dan es gudir menjadi favorit Bufi dan Ajeng.

“Kita makan di sini aja, Jeng.” Bufi menunjuk sebuah lesehan sederhana yang menyediakan keduanya.

Ketika pesanannya datang, mata mereka langsung berbinar. Beberapa kali mulut mereka juga berkecap seolah-olah tak sabar menikmati.

“Kamu sudah pernah makan rujak cingur sebelumnya, Jeng?”

Ajeng mengangguk sambil mengunyah. “Sudah, waktu Ayah mengajak kami liburan ke Surabaya. Tapi aku belum pernah coba minum es ini,” tunjuk Ajeng pada segelas es yang berwarna hijau dan cokelat.

“Es gudir?” tanya Bufi yang dijawab anggukan Ajeng.

“Kamu tahu nggak, Jeng. Sebelum minuman boba populer, es gudir sudah ada, loh. Sepertinya, minuman boba itu terinspirasi dari es gudir. Karena bahan utama es ini dari agar-agar yang diserut atau dipotong kecil-kecil.”

Ajeng pun coba menyeruput es gudir. Seketika dia mengangguk dan berkata, “Iya, Bufi. Rasanya agak mirip boba, tapi ini lebih enak dan gurih karena pakai santan dan gula merah, seperti es dawet.”

“Lidahmu mulai pandai menebak rasa, ya, Jeng.”

“Kan, kita biasa wisata kuliner,” sahut Ajeng sambil tertawa.

Seusai menikmati kuliner khas Jawa Timur, mereka kembali melanjutkan perjalanan. Kali ini, Bufi akan mengajak Ajeng menyaksikan sebuah tari tradisional yang begitu dikenal di Indonesia, bahkan hingga mancanegara.

“Kita akan melihat tari apa, Bufi?”

“Coba tebak! Pada tari ini, penari utamanya berkepala singa dengan hiasan bulu merak, ditambah beberapa penari topeng. Kamu tahu nggak, ini tari apa?”

“Sepertinya aku tahu,” jawab Ajeng yakin.

Bagikan artikel ini:

Tinggalkan komentar