Tradisi Sinoman di Kampung Nenek

Oleh: Aurel Nautika Alkayis

Hai namaku Aurel aku adalah seorang pujakesuma perempuan Jawa kelahiran Sumatra. Aku tinggal di kecamatan Rimbo Bujang, Kabupaten Tebo, Provinsi Jambi. Aku akan menceritakan liburanku di tempat Nenek beberapa waktu yang lalu.
Nenekku tinggal di bawah kaki gunung Lawu, gunung dengan ketinggian kurang lebih 3.265 mdpl yang terletak di Jawa Tengah. Tepatnya di Kabupaten Karanganyar. Gunung Lawu sendiri terletak di antara perbatasan dua provinsi yaitu, Jawa Tengah dan Jawa Timur. Kebanyakan penduduknya bermata pencaharian sebagai petani. Sejauh mata memandang terlihat hamparan padi yang sangat luas. Selain itu penduduk di sana juga ramah sekali dan suka bergotong royong. Udara yang cukup dingin membuatku kerasan tinggal di sana tidak seperti di tempat tinggalku. Cuacanya panas sekali.

Suatu hari Nenek mengajakku ke acara pernikahan saudaranya. Dengan memakai baju gamis brokat berwarna biru kesukaannya dan jilbab dengan warna yang sama, Nenek terlihat sangat anggun dan berwibawa.

Tempat pesta yang akan kami tuju berada di antara dua bukit yang penuh dengan pohon pinus. Kami harus melewati beberapa kelokan dan tanjakan untuk sampai ke tempat pesta. Di kanan dan kiri jalan nampak tanaman sayuran seperti wortel, kentang dan kol. Ada juga tanaman ubi ungu khas Tawangmangu. Sampai di tempat pesta aku melihat banyak sekali tamu yang datang, suasananya sangat ramai sekali. Terdengar suara musik dengan bahasa Jawa yang aku sama sekali tak paham artinya. Maklum saja aku lahir dan besar di Sumatera. Di sana aku juga melihat banyak aneka hidangan.
Aku sempat terheran-heran melihat banyak sekali remaja muda-mudi yang membantu membawakan hidangan. Ada yang membawa gelas berisi teh, ada yang membawa piring berisi nasi rendang, kerupuk udang, dan sambal goreng ati khas Solo. Ada juga yang membawa piring berisi lemper, kacang mete, dan kue bolu.

Sebab rasa penasaran aku pun bertanya kepada Nenek. “Nenek mereka lagi ngapain?”
“Mereka sedang mengantar makanan,” jawab Nenek.
Aku masih belum mengerti penjelasan Nenek. Akan tetapi tidak lagi bertanya, melainkan menikmati kemeriahan acara.
Akhirnya kami pun pulang, setelah sampai rumah Nenek, aku bertanya kepada ibu. “Ibu, tadi saat kami menghadiri acara pesta pernikahan, aku melihat banyak sekali remaja muda-mudi yang membantu membawakan hidangan. Mereka itu sedang ngapain?”
Ibuku menjawab, “Itu namanya tradisi sinoman, Kak.”
“Apa itu tradisi sinoman, Bu?” tanyaku lagi. Aku benar-benar penasaran.

Sambil tersenyum ibu menjawab, “Itu adalah tradisi gotong royong dimana masyarakat saling membantu ketika ada warga atau tetangga yang sedang menggelar hajatan seperti pernikahan, hari besar, acara keagamaan, dan bahkan acara kematian.”
“Apakah ada manfaatnya, Bu?” Aku terus bertanya pada Ibu. Karena ini adalah hal baru bagiku.
“Tentu saja ada. Manfaatnya adalah membuat masyarakat saling mengenal satu dengan yang lainnya, hingga mempererat hubungan persaudaraan dan silaturahmi,” jelas Ibu.

“Oo …, jadi begitu penjelasannya, aku jadi mengerti.”
“Ayah dulu juga pernah jadi sinoman lho, Kak, ketika Ayah tinggal di Jawa,” timpal Ayah sembari meminum kopinya di ruang tengah.
“Sinoman itu bisa melatih kita berorganisasi, karena dalam sinoman dibagi menjadi beberapa bagian tugas. Misalnya bagian distribusi yang bertanggung jawab dalam pendistribusian makanan, ada lagi bagian pemetaan tamu dan lain-lain. Sinoman ini juga punya paguyuban lho, Kak. Biasanya terdiri dari anak-anak muda yang disebut karang taruna,” Imbuh Ayah.
“Apakah mereka dibayar, Yah? Kan capek pastinya mondar-mandir membawa baki berisi penuh dengan makanan?” tanyaku penasaran.
Dengan tersenyum Ayah menjawab, “Kakak tahu tidak tujuan dari gotong royong itu apa?”
Seketika aku ingat pelajaran Pancasila yang membahas tentang gotong royong. Manusia tidak dapat hidup sendiri tanpa bantuan dari orang lain. Gotong royong merupakan kebiasaan masyarakat Indonesia yang dapat menumbuhkan persatuan dan kesatuan bangsa. Dalam gotong royong Masyarakat bekerja sama melakukan kegiatan demi tujuan bersama secara sukarela tanpa mengharapkan imbalan. Gotong royong dilakukan untuk membantu salah satu warga di suatu tempat untuk meringankan bebannya. Misalnya bergotong royong dalam melakukan persiapan acara pernikahan.
“Seingatku tujuan gotong royong adalah untuk mencapai tujuan bersama tanpa mengharapkan imbalan, Yah,” jawabku dengan penuh semangat.
“Betul sekali, Kak. Itu artinya para sinoman ini mereka tidak digaji ataupun dibayar. Mereka melakukan dengan ikhlas dan tanpa pamrih.”
“Lalu kenapa di Sumatera tempat tinggal kita tidak ada sinoman, Yah?” tanyaku.
“Karena sinoman ini adalah kearifan lokal yang dimiliki masyarakat Jawa khususnya daerah Jawa Tengah, Kak. Jadi hanya bisa kita temui di daerah Jawa Tengah dan sekitarnya.”
“Oh, begitu. Aku jadi penasaran dengan kearifan lokal daerah lain, Yah. Kan Negara Indonesia ini sangat luas dan beragam adat istiadatnya.” timpalku.
“Betul sekali, Kak, mempelajari kebudayaan daerah lain adalah termasuk wujud cinta kita kepada Tanah Air Indonesia.” Kata ibuku, sambil membawa singkong goreng kesukaan Ayah dan menutup pembahasan kami tentang tradisi sinoman.
Kini aku jadi tahu kearifan lokal bukan hanya tentang makanan khas, pakaian adat atau cerita rakyat saja. Tradisi dan kebudayaan yang menjadi ciri khas suatu daerah juga termasuk dalam kearifan lokal.

“Cerpen ini Diikutsertakan dalam Lomba Cipta Cerpen Anak PaberLand 2024”

Bagikan artikel ini:

3 pemikiran pada “Tradisi Sinoman di Kampung Nenek”

Tinggalkan komentar