Ajakan Jati

 

Besok adalah hari Lebaran Ketupat. Ragil sudah membayangkan rasa ketupat yang disiram dengan kuah opor ayam hangat buatan Ibu, pasti lezat! Masakan Ibu memang tidak pernah mengecewakan. Sejak Subuh tadi beliau sudah sibuk membuat ketupat dengan menggunakan daun kelapa yang masih muda, atau biasa disebut daun janur. Melihat tangan terampil Ibu yang sudah berhasil membuat banyak ketupat, Ragil jadi penasaran ingin membuat ketupat juga. Ia mengambil dua bilah daun janur kemudian menirukan gerakan tangan Ibu. Namun meskipun sudah mencoba berkali-kali, Ragil tak kunjung berhasil. Ternyata membuat ketupat tidak semudah yang terlihat. 

“Ragil bantu Ibu memasukkan beras saja ke dalam ketupatnya,” kata Ibu halus.

Beliau kemudian mengambil sebaskom beras yang sebelumnya sudah direndam dengan air dan menyerahkannya pada Ragil. “Tapi mengisinya hati-hati dan jangan terlalu penuh, ya,” jelas Ibu. Ragil mengangguk cepat. 

Ketika sedang sibuk memasukkan beras ke dalam ketupat, Ragil tiba-tiba teringat ajakan Jati untuk menyaksikan Pesta Lomban besok pagi. Pesta Lomban merupakan pesta yang diadakan masyarakat Jepara tiap tahunnya sebagai bentuk sedekah laut, wujud syukur atas berkah hasil laut. Nantinya akan ada upacara pelarungan kepala kerbau ke tengah lautan dengan diiringi ratusan kapal nelayan. Setelah Upacara Larung selesai, akan digelar juga Festival Kupat Lepet di Pantai Kartini Jepara. Masyarakat Jepara dari semua penjuru akan berkumpul di sana. Kemarin Jati menceritakannya dengan penuh semangat. Ragil jadi penasaran setelah mendengarnya. Meskipun lahir di Jepara, ia belum pernah menyaksikan Pesta Lomban sebelumnya.

“Ibu, besok pagi Ragil izin pergi ke dermaga, ya, bareng Jati,” kata Ragil.

“Kamu mau ikut Pesta Lomban, ya?” 

“Iya, Bu. Ragil, kan, belum pernah melihat Pesta Lomban secara langsung. Terus kemarin Jati bilang kalau pamannya punya kapal, jadi kami bisa melihat larung kepala kerbau dari dekat!” 

“Jadi kalian akan ikut naik kapal juga?” Ibu menatap Ragil sungguh-sungguh. 

“Iya, Bu.” Ragil mengangguk penuh semangat. 

“Biasanya ketika kepala kerbau dilarungkan ke tengah laut, para nelayan bakal ikut terjun dari kapal, berebut kepala kerbau. Kamu tidak usah ikut terjun, ya, diam saja di atas kapal,” pesan Ibu. 

Ragil mengerutkan dahi. Jati belum menceritakan bagian ini sebelumnya. “Kenapa nelayan berebut kepala kerbaunya, Bu? Memangnya akan diapakan kepala kerbaunya?” 

“Menurut kepercayaan, siapapun yang bisa mendapatkan kepala kerbau itu akan mendapat banyak keberkahan, kemakmuran, serta rezeki yang berlimpah. Itulah sebabnya kepala kerbau akan diperebutkan banyak orang. Tapi ingat, ya, Gil, kamu tidak usah ikut terjun.”

Menarik! Ragil mengangguk paham mendengar penjelasan Ibu, “Tidak usah khawatir, Bu. Aman pokoknya.”

***

Keesokan harinya Ragil dan Jati pergi ke dermaga dengan menaiki sepeda. Dermaga sudah dipadati pengunjung ketika mereka tiba di sana. Ramai sekali. Orang-orang berkerumun memenuhi sepanjang sisi dermaga untuk menantikan Upacara Larung dimulai. Beberapa kapal tampak sudah berlayar bebas di laut.

“Ayo, Ragil. Kita musti cepat! Kapal Paman bisa penuh kapan saja,” kata Jati sambil mempercepat langkah. Ragil buru-buru mengikuti dari belakang, melewati kerumunan orang. 

Tak lama kemudian seorang lelaki berkulit gelap dari salah satu kapal melambai-lambai ke arah mereka. “Ayo, cepat naik! Kapal sudah mau jalan!” 

Jati dan Ragil segera naik ke atas kapal yang hampir penuh, bergabung dengan penumpang lainnya. Ketika kapal utama yang mengangkut kepala kerbau serta sesajen mulai berlayar, suasana semakin ramai. Orang-orang bersorak sorai. Ratusan kapal nelayan bergerak mengiringi kapal utama menuju ke tengah lautan, begitu pula kapal yang dinaiki Ragil dan juga Jati. Luar biasa! Ragil terkagum-kagum melihatnya. Ia membayangkan dirinya adalah seorang pelaut yang sedang dalam perjalanan menuju Pulau Harapan bersama rombongannya. 

“Gil, setelah ini kepala kerbau akan dihanyutkan. Orang-orang akan terjun dari kapal untuk mendapatkannya. Dengar-dengar siapapun yang bisa mendapatkan kepala kerbau itu akan punya banyak uang, loh! Kalau punya banyak uang, kita bisa membeli lego, robot, tamiya, atau mainan apapun. Ah pasti seru!” ucap Jati penuh semangat, Ragil mengangguk tak kalah semangat. 

“Memangnya kamu berani terjun?” tantang Ragil. 

“Mengapa tidak? Aku, kan, jago berenang.”

“Aku lebih jago!”

Ragil sama sekali tidak mengingat pesan Ibu. Ketika miniatur kapal berisi kepala kerbau dan ubo rampe sesajen lainnya dilarungkan, orang-orang mulai terjun dari kapal, Ragil dan Jati pun melakukan hal yang sama.

BYURRR!

Air memasuki hidung Ragil ketika ia terjun dari kapal. Karena banyaknya orang yang berebut kepala kerbau, Ragil kesulitan menjaga keseimbangan, sementara kakinya tidak cukup panjang untuk menyentuh dasar laut. Sepertinya ia akan tenggelam! Ragil mulai panik dan berusaha untuk meminta tolong. Sekarang tidak hanya hidung, air laut juga mulai masuk melalui mulutnya! Ia semakin panik. Untung saja tak lama kemudian beberapa orang menyadari bahwa Ragil membutuhkan pertolongan. Mereka segera membawa Ragil dan Jati ke atas kapal. Ternyata Jati pun mengalami kejadian serupa, nyaris tenggelam karena kesulitan menjaga keseimbangan. 

Ragil pulang ke rumah dalam keadaan basah. Ibu yang mendengar cerita bahwa Ragil nyaris tenggelam kelihatan sangat khawatir, begitu pula dengan Ayah. Tanpa bertanya macam-macam dulu, mereka menyuruh Ragil bergegas mandi. 

Seusai mandi dan mengganti baju, Ragil segera berjalan menuju meja makan. Ibu sudah menyiapkan ketupat dan juga opor ayam di atas meja. Aromanya harum sekali, perut Ragil otomatis berbunyi. Ia memang belum sempat makan karena buru-buru berangkat ke dermaga tadi pagi. 

“Jadi kamu hampir tenggelam karena terjun dari kapal, Gil? Dengan siapa?” tanya Ayah setelah Ragil duduk di kursi. Ibu masih diam, hanya melirik sambil memotong-motong ketupat. 

“Dengan Jati, Yah. Jati yang salah karena menantang Ragil duluan. Kalau Jati tidak mengajak Ragil terjun, tentu saja Ragil akan tetap diam di atas kapal,” jelas Ragil. 

“Kenapa malah menyalahkan Jati? Kemarin Ibu sudah mengingatkan kamu untuk tidak terjun, berarti kamu yang salah karena tidak mengingat pesan Ibu.” Kali ini giliran Ibu yang menjawab. 

“Tapi Jati menantang Ragil, Bu.” 

“Kalaupun Jati yang mengajak duluan, kamu bisa saja menolak, Gil, karena Ibu sudah memperingatkan kamu kemarin,” kata Ibu. Beliau kemudian meletakkan potongan ketupat yang sudah di potong-potong ke atas piringnya. “Kamu tahu makna ketupat ini?”

Ragil menggeleng. 

“Ketupat diambil dari kata ngaku lepat, artinya mengakui kesalahan. Mulai sekarang kamu harus belajar mengakui kesalahan dan ambil pelajaran dari kesalahan yang kamu lakukan, tidak perlu membela diri dengan menyalahkan oranglain begitu,” tegas Ibu. 

Ayah mengangguk-angguk sembari mengusap kepala Ragil. “Betul kata Ibu, Gil, nasihat seperti ini jangan hanya masuk telinga kanan keluar telinga kiri, ya,” tambah Ayah. 

Ragil sudah menyadari kesalahannya. Tadi ia memang melupakan pesan Ibu. Bahkan sebetulnya ia duluan yang menantang Jati terjun dari kapal. Dalam hati ia berjanji untuk selalu mengingat pesan Ibu.

“Iya, Bu. Ragil yang salah karena sudah melupakan pesan Ibu. Ragil janji tidak akan mengulanginya lagi,” kata Ragil dengan kepala menunduk.

“Sudah, sekarang saatnya makan. Ini pelajaran berharga buat Ragil,” celetuk Ayah sembari meletakkan paha ayam piring Ragil beserta kuah opor di atasnya. Mereka pun makan bersama-sama.

“Cerpen ini diikutsertakan dalam Lomba Cipta Cerpen Anak Paberland 2024”

Bagikan artikel ini:

Tinggalkan komentar