Ubi Perdamaian

Alkisah ada sebuah desa yang sangat damai. Namanya Desa Ubi, karena di sana, warganya senang menanam dan makan ubi. Penduduknya sehat dan kuat. Mereka bukan desa yang makmur sejahtera, tapi semua warganya cukup makan, cukup pakaian, dan yang paling penting, mereka senang membaca dan menulis.

Akan tetapi suatu pagi yang cerah, sebuah kapal besar merapat. Para penduduk penasaran. Ternyata itu adalah kapal milik seorang saudagar. Dia berkata, dia memiliki makanan terenak dan tersehat di dunia, dan penduduk Desa Ubi harus mulai membeli darinya agar jangan sampai anak-anak mereka menjadi loyo dan bodoh. Apalagi, si Saudagar bilang, makanan ubi yang mereka tanam bisa membuat bau kentut yang tidak sedap.

Warga sangsi. Apalagi selama ini mereka tumbuh sehat dan kuat. Kepala Desa pun menolak tawaran Saudagar seraya menawarkan sepiring kue talam ubi, kolak ubi, dan keripik ubi. Semua makanan kesukaan penduduk desa.

Akan tetapi, bukannya berterima kasih, si Saudgar malah marah. Tanpa menyentuh suguhan makanan itu, si saudagar menyuruh tentaranya untuk menyerang warga kampung. Syukurlah, seluruh warga sudah sarapan. Mereka melawan para tentara saudagar dengan gagah berani.

Namun, suasana jadi mencekam saat para tentara mulai menggunakan senjata. Kepala Desa berpikir keras, lalu dia mendapat sebuah ide.

Warga desa mundur, namun membuat sebuah lingkaran besar mengepung para tentara yang sudah bersiap membidikkan senjatanya. Warga kemudian balik kanan.

Si saudagar tertawa, ia senang, akhirnya warga menyerah.

Tapi dia salah. Sekejap kemudian terdengar suara beraneka rupa :

Prot, Tut, Bruuut, Brotokotok, siuuuuttt…..

disertai aroma busuk kolektif yang luar biasa.

Warga kentut berjamaah dengan kompaknya, maklum, mereka baru sarapan ubi rebus yang nikmat.

Para tentara yang tadinya sangar pun pingsan di tempat.

Tanpa kekuatan tentara, si Saudagar pun takut dan menyerah. Dengan wajah tertunduk ia menandatangani perjanjian bahwa ia tak akan pernah mengganggu Desa Ubi lagi.

Usai menandatangani perjanjian itu, Kepala Desa kembali menyuguhkan hidangan ubi sebagai bentuk perdamaian. Si Saudagar pun mencobanya ragu-ragu.

Alangkah terkejutnya dia, matanya berbinar-binar, air liurnya menderas, ternyata, ia sangat menyukai ubi. Dia juga menyuruh tentaranya makan ubi yang dihidangkan.

Akhirnya, si Saudagar pulang dengan rasa  malu. Kepala Desa memberinya sebuah pohon ubi sebagai cendera mata. Karena terharu dengan kebaikan warga desa, si Saudagar pun berterima kasih, dan berjanji akan mengenalkan ubi ke tempat-tempat yang ia jelajahi. []

Bagikan artikel ini:

4 pemikiran pada “Ubi Perdamaian”

Tinggalkan komentar