ANAK ANAK PIJIOMBO (Part 17)

USAHA MELOLOSKAN DIRI

 

 

 

Panjul mendengus kesal. Dengan bantuan sinar bulan menjelang purnama, ia sempat mengelilingi bukit kecil tempat adanya gua yang dijadikan sarang bagi komplotan pencuri ternak. Dan sepertinya malam nanti mereka benar-benar sudah siap beraksi. Di sisi utara bukit yang agak tersembunyi, telah siap sebuah truk. Tentunya kendaraan itu yang akan digunakan oleh orang-orang jahat itu untuk mengangkut hasil curian mereka kepada seorang penadah yang ada di kota.

Di sisi lain, di suatu tempat yang terlindung bebatuan yang tertutup semak belukar, sebuah pengeras suara juga sudah dipersiapkan. Pastinya alat itu yang akan dipergunakan untuk memperkeras suara auman harimau yang nanti akan mereka putar. Sehingga warga Pijiombo dan Genjong akan ketakutan dan komplotam pencuri itu akan dengan mudah menjarah ternak yang mereka inginkan.

Sungguh licik! Mereka telah mengatur siasat sedemikian rupa untuk memuluskan aksi kejahatannya. Mereka juga memilih tempat persembunyian yang sempurna. Sebab tak akan pernah ada orang yang menyangka jika di bukit yang jauh dari pemukinan itu bakal ada sarang komplotan pencuri yang siap mengincar ternak warga kapan saja. Kiranya keluguan warga dua desa yang masih terpencil itu benar-benar mereka manfaatkan dengan sebaik-baiknya.

Kini Panjul sudah berada di depan lubang yang tadi sore ia ciptakan bersama Jilan dan Ega. Dengan sikap waspada ia melongokkan kepala ke mulut lubang itu. Dari situ ia dapat melihat dengan jelas suasana di dalam gua. Ia sempat melihat si Giras yang sudah tergeletak lesu di lantai gua.

Pada sebuah batu besar yang ada di bawah obor yang nyalanya nampak meliuk-liuk karena terpaan angin malam yang dingin, dilihatnya Jilan terduduk berselonjor dengan tangan dan kaki yang masih terikat. Di bagian pinggang Jilan nampak sebuah tali tambang dengan ukuran sebesar jempol kaki orang dewasa, membelit tubuh Jilan pada batu tempat tubuhnya bersandar. Di pelipis kanan serta pipi kiri Jilan nampak ada luka memar akibat tamparan tangan yang keras.

Sekitar enam meter dari tempat Jilan berada, tampak dua orang anggota komplotan pencuri sedang berjaga. Mereka duduk pada sebongkah batu sambil menikmati sebotong rokok. Asap yang keluar dari mulut mereka, membumbung ke udara, meliuk-liuk sebentar kemudian pudar tanpa sisa. Salah seorang dari mereka sesekali tampak menguap panjang kemudian kembali menghisap rokoknya sambil terkantuk-kantuk.

Wuuss!

Astaga! Panjul tersentak. Seekor kelelawar berukuran besar tiba-tiba terbang melesat kencang menuju lubang tempat kepalanya menyembul. Dengan sigap Panjul menarik kepalanya dari mulut lubang itu. Tapi tak ayal salah satu sayap kelelawar itu sempat menyenggol ujung hidungnya.

“Sialan!” umpat Panjul dengan suara tertahan.

Sejenak Panjul mengusap ujung hidungnya yang terasa perih. Tampaknya kuku kelelawar itu sempat menggores hidungnya hingga menimbulkan segurat luka. Sambil meringis menahan sakit ia kembali melongokkan kepala.

Kali ini dilihatnya salah satu penjaga itu sudah tak ada di tempatnya. Mungkin sedang kebelet pipis atau sengaja memeriksa sisi gua yang lain. Panjul tak peduli dengan semua itu. Baginya itu adalah sebuah keuntungan. Segera saja ia manfaatkan kesempatan itu untuk mencoba menerobos masuk ke dalam gua.

Mula-mula Panjul dengan mudah memasukkan tubuhnya dari bagian kepala hingga pangkal lengannya. Namun karena body tubuhnya yang agak gendut selanjutnya ia sudah kesulitan untuk mendorong tubuhnya lebih ke dalam lagi. Hingga beberapa bagian tubuhnya sempat tergores bebatuan yang coba diterobosnya.

Sakit? Sudah pasti.

Tapi Panjul tak mau jera. Ia tarik kembali tubuhnya dari lubang itu. Dengan memanfaatkan cahaya obor yang mulai remang-remang, tangan Panjul mulai beraksi. Ia cabut dan ia singkirkan semua akar tumbuhan yang ada di sekitar lubang itu. Sehingga mulut lubang itu tampak lebih besar dari semula.

Begitu dirasanya lubang itu sudah bisa memuat besar tubuhnya, Panjul segera berusaha kembali memasuki lubang itu. Dan benar saja! Kali ini ia dapat dengan mudah memasuki lubang itu. Sehingga ia dapat memasuki gua itu dengan selamat.

Selanjutnya dengan langkah mengendap-endap Panjul berusaha mendekati tempat Jilan berada. Ia ingin Jilan segera dapat mengetahui keberadaannya supaya Jilan tidak merasa takut sebab sudah tidak sendirian adanya. Sayang sebelum Panjul berhasil mendekati Jilan, si Giras tiba-tiba terbangun dan mengembek dengan keras.

“Embeeek! Embeeek!”

Oh! Mungkin insting si Giras dapat merasakan keberadaan Panjul saat ia melintas di dekat kambing itu. Tak urung si penjaga yang semula terkantuk-kantuk itu jadi terjaga dan langsung mengarahkan sinar senternya ke arah si Giras. Untunglah Panjul dengan sigap bersembunyi sebelum tubuhnya sempat tersenteri.

Mengira bahwa gaduhnya kambing itu karena serangga atau kelelawar yang memang sering berseliweran di dalam gua, sang penjaga kembali ke tempatnya semula. Dengan santai dia sandarkan tubuh ke dinding gua sambil kembali menyulut rokoknya yang sempat mati sesaat.

“Bagaimana keadaan di sini, aman?” tanya teman si penjaga yang sudah kembali ke tempat itu lagi.

“Aman,” sahut si penjaga.

“Kalau begitu kita tinggal ngopi dulu yuk mumpung belum waktunya beraksi,”

“Ayo!”

Beraksi yang mereka maksudkan adalah saatnya menjarah ternak warga yang sudah menggigil ketakutan setelah mendengar auman harimau palsu yang sengaja mereka perdengarkan. Dengan langkah santai dan tetap sambil bercakap-cakap mereka meninggalkan tempat Jilan disekap.

Klitik!

Panjul melempar sebuah batu kerikil ke tubuh Jilan. Tentu saja melemparnya dengan pelan agar Jilan tidak kaget dan kesakitan. Batu kerikil itu tepat mengenai pundak kiri Jilan. Spontan Jilan menoleh dan menajamkan pandangan. Jilan tersenyum manakala matanya langsung dapat menyaksikan sosok Panjul yang sedang bersembunyi di balik tumpukan rumput.

Perlahan Panjul menghampiri Jilan yang masih terikat erat. Hal pertama yang dilakukannya adalah membuka kain yang membekap mulut Jilan.

“Kenapa kau kembali ke mari? Ini terlalu berbahaya!” kata Jilan begitu kain penyumpal mulutnya terlepas.

Karena suara Jilan dirasa terlalu keras, Panjul buru-buru menempelkan telunjuknya ke tengah bibir Jilan.

“Ssst! Jangan keras-keras nanti ketahuan mereka,” kata Panjul seraya mengedarkan pandangan ke sekelilingnya.

Jilan menganggukkan kepala hingga poninya bergerak berombak.

“Aku datang untuk menyelamatkanmu Jilan,” lanjut Panjul setelah merasa aman.

“Kalau begitu cepat lepaskan aku dari tali-tali yang mengikatku ini!”

“Kau sabarlah dulu. Jangan buru-buru. Kita harus mengatur siasat untuk menghentikan kejahatan mereka malam ini.”

Kembali Jilan menganggukkan kepala.

“Kamu kok sendirian di mana Ega?” tanya Jilan kemudian.

“Ega aku suruh mencari bantuan untuk meringkus komplotan pencuri ternak ini.”

“Terus sekarang apa rencanamu?”

“Pertama aku membutuhkan beberapa tali untuk membuat jebakan. Apa kau tahu di mana mereka menyembunyikan tali untuk mengikat ternak yang hendak mereka curi nanti?”

Panjul menatap Jilan lekat sambil mematangkan rencana dalam pikirannya.

 

 

Bersambung …

Bagikan artikel ini:

Tinggalkan komentar