Dika sudah bisa mencuci piringnya sendiri usai makan, ia juga mulai belajar menyapu halaman seperti Ibu. Iya, seperti Ibu, menyapu halaman dengan sangat bersih, sampai tak ada satu daun pun yang tertinggal.
Pagi ini, Dika bangun lebih pagi. Sebenarnya, ia kesal bangun terlalu pagi. Namun, ayam jago milik Pak Sosro terus saja berkokok, kandangnya dekat dengan halaman belakang rumah Dika. Suara ayam itu sangat keras hingga membisingkan telinga Dika.
“Wah, anak Ibu sudah bangun, jam lima pagi lho Dik, kamu hebat sekali,” kata Ibu sambil tertawa renyah melihat Dika yang mencari gelas untuk minum.
“Ibu sedang apa di dapur? Ibu memasak pagi-pagi?”
“Kamu sarapan jam enam, semua lauk dan sayur sudah siap, tentu Ibu harus memasak pagi-pagi Dik,” kata Ibu sembari mengacak-acak rambut Dika.
“Ah Ibu, rambutku jadi berantakan,” gerutu Dika.
Setelah minum segelas air putih, badan Dika terasa segar. Ia mencuci muka dan bersiap sembahyang di kamar. Tak berapa lama, Ibu mengetuk pintu kamar Dika.
“Dik, ke pasar yuk,”
Dika mengangguk cepat, “Siap Bu, Dika sembahyang dulu,”
Suara motor yang dipanaskan terdengar oleh Dika. Ayah tampaknya sedang mengecek bannya, mungkin khawatir kempes. Sementara Ibu, sibuk mencatat ini itu dan menghitung uang di dompet. Dika merasa Ibu akan belanja banyak barang, catatannya cukup panjang.
Benar saja, sesampainya di pasar, Dika cukup kewalahan membantu Ibu membawa berbagai barang. Ibu tak hanya belanja sayur, ayam dan ikan, ada krupuk, buah hingga sembako.
“Belanja banyak sekali Bu,” kata Dika sambil menenteng nanas kupas dan kerupuk.
“Lho, kamu lupa ya Dik? Nanti sore kan ada weh-wehan,”
Dika kaget, dia benar-benar lupa acara nanti sore, “Wah, aku lupa Bu, kita bikin apa Bu? Makanan yang seru ya bu, biar banyak yang mau tukar makanan denganku,”
Ibu tersenyum, “kita buat nasi ayam dan es buah nak,”
“Asik, itu enak Bu, terimakasih,” kata Dika tersenyum lebar.
Sesampainya di rumah, Dika langsung mandi dan sarapan. Ibu masih menyiapkan segala sesuatunya untuk acara weh-wehan. Ayah membantu memotong buah-buah, adik yang baru bangun ikut mencicipi buah yang ayah potong.
Weh-wehan adalah tradisi masyarakat daerah Kaliwungu, kabupaten Kendal, daerah asal Dika dan keluarga. Weh-wehan diadakan setahun sekali saat peringatan hari lahir Nabi Muhammad.
Setiap Weh-wehan datang, rumah-rumah akan menyajikan makanan dan minuman terbaik untuk diberikan. Anak-anak akan memutari gang demi gang untuk bertukar makanan. Para orang tua dan kerabat lainnya akan duduk di depan rumah, dengan meja penuh makanan. Biasanya, tetangga akan datang silih berganti mengantarkan makanannya yang kemudian ditukar dengan yang kita punya.
“Nih dek, nasi ayamnya sudah jadi,” kata Ibu pada dek Nia yang sedang menonton televisi.
“Enyaknyaa..”
Piring berisi nasi dan ayam katsu yang dibawa Ibu seketika ludes oleh dek Nia. Dika tak mau ketinggalan, ia bergegas ke dapur untuk makan siang.
“Cicipi juga es buahnya Dik,” kata Ayah.
“Baik yah, sepertinya kok segar sekali,” ujar Dika, air liurnya hampir menetes melihat warna-warni es buah buatan Ayah.
Persiapan untuk Weh-wehan sudah hampir selesai. Ibu dan Ayah membungkus sebagian es buah. Sementara itu, Dika membantu mengeluarkan semua box nasi ayam buatan Ibu.
Lihat, rumah Dika sudah siap dikunjungi tetangga. Baki berisi box ayam dan es buah juga sudah disiapkan Ibu. Dika dan dek Nia akan berkeliling membagikan makanan kepada teman-teman mereka.
“Sore nya cerah sekali ya Bu,” Dika menatap langit sambil membawa baki. Ia dan dek Nia sudah mandi dan berdandan rapi sekali.
“Iya, sepertinya teman-temanmu sudah mulai berkeliling Dik,” kata Ibu.
Memang benar, teman-teman Dika sudah melambaikan tangan padanya. Setelah berpamitan pada Ibu, Dika dan Nia mulai berkeliling. Mereka mendapatkan banyak sekali makanan, minuman dan kue yang berbeda. Nia asyik makan agar-agar sambil berkeliling. Ia tak menghiraukan perkataan kakaknya yang sedari tadi menyuruhnya makan sambil duduk.
“Aku mau lagi kak,”
Dika melihat gelas agar-agar Nia yang sudah kosong. “Itu tadi agar-agar terakhir kamu dek, sudah tidak ada lagi agar-agar di baki kita,”
Nia merengek dan mulai menangis, “Aku pengen agar-agar kak,”
“Sudah habis adik,”
“Aku mau agar-agar kak,” tangisan Nia mulai mengeras.
“Yausudah. coba kita cari lagi, siapa yang membuat agar-agar,”
Dika dan Nia kembali berkeliling. Satu persatu teman sudah ditanya Dika, ada yang masih memiliki agar-agar namun tak mau menukarnya, ada juga yang agar-agarnya sudah habis seperti Nia.
Dika mencoba mencari rumah yang membuat agar-agar, satu persatu didatangi namun tak ada hasil. Sejauh ini, hanya bakso bakar, kue brownies, lontong sate ayam, nasi kucing, martabak, dan kue bolu yang mereka temui. Masih banyak rumah tersisa yang belum dikunjugi, tapi Dika sudah lelah sekali.
“Sudah yuk dek, kita pulang ya,”
Nia menarik lengan baju kakaknya, menggeleng dengan cepat dan meneruskan langkah. “Nggak mau, Nia mau agar-agar saja,”
“Nanti dibuatin Ibu di rumah,” bujuk Dika.
Nia tetap menggeleng, “Aku maunya sekarang,”
Dika mendengus kesal, ia mulai kehilangan kesabaran dengan tingkah adiknya. Kemana lagi ia harus mencari agar-agar?
Saat Dika ingin marah, tiba-tiba Wawan lewat didepan mereka membawa baki yang penuh dengan kue. Dika menyapa Wawan dan melihat isi bakinya.
“Apa punya agar-agar Wan?”
Wawan memeriksa bakinya, “Sepertinya ada Dik, tapi ini tinggal satu, kesukaanku pula,”
Dika mengambil dua box nasi ayam yang tersisa di bakinya, “Kalau aku tukar dengan dua nasi ayam maukah?”
Mata Wawan berbinar, perutnya memang lapar, nasi ayam milik Dika terlihat lezat sekali. “Boleh, ditukar dengan dua nasi kan ya?”
Dika mengangguk dan menyerahkan sisa nasi ayam miliknya.
“Terimakasih Kak,” Nia melompat kegirangan dan menerima gelas agar-agar dari Wawan.
Agar-agar merah dinikmati Nia pelan-pelan, ia tidak ingin cepat-cepat menghabiskannya. Dika bernafas lega, akhirnya ia bisa pulang dan beristirahat di rumah. Weh-wehan kali ini sangat menyenangkan, selain mendapat banyak jajanan dan makanan, Dika juga bisa membahagiakan adiknya.
(Cerepen Ini Diikutsertakan Dalam Lomba Cipta Cerpen Anak Paberland 2024)