ANAK ANAK PIJIOMBO (Part 1)

EJEKAN SEORANG TEMAN

Senin pagi.

Tepat pukul 07.15 suasana di SD Negeri Pijiombo sudah terlihat sepi. Semua siswa sudah masuk kelasnya masing-masing. Begitu pula bapak-ibu pengajar, semua sudah begitu bersemangat memberikan materi pelajaran. Termasuk Bu Devi yang menjadi wali kelas V. Dengan suaranya yang khas ia menjelaskan materi IPA yang hari itu membahas tema Pelestarian Alam.

Sambil menempelkan beberapa gambar hewan langka di papan tulis, Bu Devi mulai menjabarkan materinya.

“Anak-anak, sekarang ini sudah banyak sekali berbagai jenis binatang yang telah mengalami kepunahan. Kepunahan ini disebabkan oleh perilaku manusia yang mengekploitasi alam secara berlebihan. Terutama karena adanya perburuan liar terhadap beberapa jenis hewan, baik untuk diperdagangkan maupun untuk dimakan. Ada pula yang diburu untuk dijadikan bahan obat-obatan.

Misalnya harimau Jawa yang banyak diburu untuk diambil kulitnya. Burung merak yang diburu untuk diambil bulunya yang indah. Serta beberapa jenis binatang yang diburu untuk diambil dagingnya. Karena itulah pemerintah mengeluarkan Undang-Undang perlindungan terhadap beberapa jenis hewan agar selamat dari kepunahan.”

Sampai di sini Bu Devi berhenti sejenak. Sesaat diawasinya para siswa yang pada serius memperhatikan ulasannya. Sambil mendengarkan, beberapa siswa nampak mencatat poin-poin penting dari apa yang disampaikan gurunya.

Bu Devi tersenyum. Sungguh bahagia rasanya memiliki siswa yang rajin dan tekun dalam mengikuti pelajaran.

“Nah, selain harimau Jawa dan merak, hewan apakah yang sudah masuk kategori punah?” tanya Bu Devi sambil mengedarkan pandangan pada seluruh siswanya.

“Landak, Bu,” sahut siswa bertubuh gendut yang duduk di deret bangku depan.

Bu Devi mengacungkan jempolnya sambil tersenyum.

“Bagus sekali Gino, jawabanmu benar. Hayo, siapa lagi yang tahu?”

“Trenggiling, Bu.” Kali ini siswi yang rambutnya berkepang dua menjawab.

“Benar sekali Mimin, ada yang punya jawaban lain lagi?”

Secara bergantian siswa mengangkat tangan dan kemudian memberikan jawabannya dengan penuh semnagat. Dan hampir semua jawaban mereka benar adanya. Hanya ada beberapa siswa yang menjawab kurang tepat. Tapi Bu Guru tetap memberikan pujian pada siswanya meski jawaban mereka kurang benar. Sebab bagi seorang guru keberanian siswa mengemukakan pendapat itu sudah merupakan nilai tersendiri.

Di antara para siswa yang sedang pada bersemangat menjawab pertanyaan gurunya itu, Panjul yang tampaknya sedari tadi diam saja. Padahal Panjul adalah siswa terpandai di kelas V ini. Namun pagi ini ia sama sekali tak bisa berkonsentrasi. Pikirannya tetap saja tertuju pada peristiwa tidak mengenakan yang terjadi kemarin sore di lapangan pinggir desa.

Betapa tidak!

Minggu sore kemarin saat adu sambit layang-layang di lapangan desa, Panjul kalah. Dalam waktu singkat layang-layangnya putus setelah adu sambit dengan layang-layang milik Adib. Sehingga layang-layangnya jatuh melayang mengikuti hembusan angin.

Ya sebenarnya sih kalah dalam adu sambit layang-layang adalah hal biasa bagi anak-anak seusia Panjul. Tapi kali ini bagi Panjul serasa menjadi hal yang luar biasa. Sebab saat layang-layangnya putus itu Adib pakai mengejeknya dengan sebaris kalimat yang sangat menjengkelkan.

“Ciee … layang-layang cemen saja dibawa ke mari, sekali sambit, putus klepek-klepek …,” ejek Adib lengkap dengan cibiran sinisnya.

Tak cukup sampai di situ, Adib juga mengejeknya dengan sikap yang teramat menyebalkan. Adib berdiri mengangkang lalu membungkukkan badannya. Lewat sela selakangannya Adib mengolok serta menjulur-julurkan lidahnya dengan posisi wajah terbalik tentu saja.

“Dasar cemen, layang-layang keokan pakai diadu sambit! Wee …!”

Cemoohan seperti itu jadi sangat membekas di hati Panjul hingga hari ini. Dan yang lebih menjengkelkan lagi, gara-gara ejekan Adib itu, semangat belajar Panjul sampai hilang hari ini. Akibatnya sejak saat ini Panjul sudah menetapkan bahwa Adib akan ia anggap sebagai musuh besarnya. Musuh besar yang harus ia kalahkan bagaimanapun caranya.

“Panjul, hari ini kamu kok bengong saja sih, ada apa?” tanya Ega sambil menyikut lengan Panjul yang duduk di sampingnya.

“Bukan urusanmu!” sahut Panjul sekenanya.

“Iya memang bukan urusanku tapi diliatin terus sama Bu Devi tuh, kamu gak malu apa?” Kembali Ega bertanya dan kali ini sambil mengarahkan pandangannya ke depan kelas.

Mau tak mau Panjul mengikuti arah pandangan teman sebangkunya itu. Benar saja. Pandangan Bu Devi sepertinya memang sedang tertuju ke arahnya. Panjul langsung menundukkan kepala ketika tatapan matanya bertemu dengan Bu Devi. Panjul yakin bu gurunya itu pasti sudah mengawasinya sedari tadi. Sebab ia yang biasanya murid paling aktif di kelas V, hari ini loyo tanpa daya. Tak satu pertanyaan pun yang ia jawab.

Panjul lebih sering mengarahkan tatapan matanya ke luar jendela kelas. Sementara pikirannya terus saja menerawang jauh pada ejekan Adib yang dirasakan Panjul sebagai sebuah penghinaan yang harus secepatnya ia balas.

Akh!

Panjul bernapas lega. Bu Devi tak sempat memberinya suatu pertanyaan tentang materi yang baru saja diulasnya. Andai hal itu terjadi, Panjul yakin ia pasti tidak dapat menjawab pertanyaan gurunya. Akibat melamun, tak satu pun materi yang diajarkan bu guru tadi sempat singgah di otaknya.

Bu Devi meneruskan ulasannya. Para siswa kembali mendengarkan dengan seksama. Begitu pula Panjul. Ia juga berusaha memusatkan perhatian pada pelajaran yang sedang diajarkan. Namun sial, ejekan Adib yang dilakukan seraya menggoyang-goyangkan pantat masih saja terngiang di benaknya. Sehingga Panjul menjadi gelisah duduknya.

Ega yang duduk di sampingnya hanya bisa geleng-geleng kepala menyaksikan tingkah laku Panjul yang tidak seperti biasanya.

“Panjul, kau ini kenapa sih kok jadi aneh begini?” Ega tak dapat menahan dirinya lagi. Sebagai seorang teman, ia tak tega jika Panjul melalaikan kewajiban belajarnya hanya karena sebuah ejekan yang tak penting.

Namun, Panjul yang terlanjur sakit hati tetap saja tak bisa memusatkan konsentrasi. Masih saja pikirannya mencari cara untuk membalas cemoohan Adib tempo hari. Tanpa memedulikan teguran dari Ega, Panjul mengeluarkan pensil dari dalam saku tasnya.

Sambil mencuri-curi kesempatan saat Bu Devi sedang menghadap papan tulis, dengan terampil tangannya membuat sketsa layang-layang dalam buku tulisnya. Ukurannya benar-benar ia hitung dengan cermat.

Kekalahan yang telah meninggalkan kekecewaan mendalam dalam hatinya, membuat Panjul bersemangat untuk membuat layang-layang baru yang ia perkirakan akan mampu menghadapi layang-layang milik Adib.

“Njul, Bu Devi berjalan ke sini, tuh!” Ega berkata lirih sambil menyikut lengan Panjul.

“Apaan sih.” Panjul ngedumel dengan bibir monyong.

“Ada Bu Dev ….” Ega tak sempat meneruskan ucapannya.

Bu Devi sudah berdiri tak jauh dari bangku mereka. Untunglah saat jarak Bu Devi dengan baku mereka tinggal satu bangku lagi, siswa di pojok depan mengangkat tangan dan bertanya.

Bu Devi berbalik badan dan terus melangkah menghampiri siswa itu. Ega dan Panjul bernapas lega.

Bersambung …

Bagikan artikel ini:

Tinggalkan komentar