ANAK ANAK PIJIOMBO (Part 10)

MEMASUKI SARANG PENCURI

 

 

 

Dengan tetap saling berpegangan mereka melangkah hati-hati secara perlahan menyusuri lorong gua itu. Sesekali langkah mereka harus terhenti ketika ada kelelawar yang terbang rendah melintasi mereka sambil mengeluarkan suaranya yang khas. Berulangkali pula mereka harus melompat atau menepi untuk menghindari bebatuan yang menyembul dari dasar gua.

Sampai di ujung ternyata lorong gua itu terbagi ke dalam dua arah yang berlawanan. Satu menuju ke samping kanan dan yang satu ke kiri. Tepat di atas pertigaan lorong gua itu terdapat lubang di atas langit-langit gua yang memungkinkan masuknya cahaya matahari. Akar-akar tumbuhan di atas gua tampak menjuntai seperti jari-jari raksasa yang siap mencengkeram siapa saja.

Sepertinya lubang itu yang menjadi tempat keluar masuknya kawanan kelelawar ketika keluar gua untuk mencari makanan.

Sampai di sini mereka harus berhenti untuk beberapa saat guna memutuskan arah mana yang harus mereka tuju selanjutnya.

“Harus ke mana kita sekarang, Panjul?” tanya Ega berbisik.

Panjul tak langsung menjawab. Terlebih dulu ia menoleh ke lorong di sisi kanan baru kemudian menoleh ke lorong sisi kiri yang nampak lebih terang.

“Semakin ke dalam sepertinya gua ini semakin seram saja,” keluh Jilan makin ciut nyalinya.

Belum sempat Panjul menenangkan keresahan Jilan, tiba-tiba terdengar derap langkah kaki yang tampaknya akan menuju ke arah mereka. Buru-buru Panjul mengajak kedua temannya untuk bersembunyi di balik batu besar yang ada di dinding gua. Jantung mereka terasa berdegup lebih kencang saat percakapan kedua orang itu semakin dekat.

“Jon, sebaiknya sebelum petang kau periksa pengeras suaranya agar nanti saat kau putar suara auman harimau bisa terdengar keras sampai ke rumah warga desa. Sehingga mereka ketakutan dan bersembunyi di dalam rumah. Dengan begitu kita bisa leluasa mengambil ternak mereka,” kata orang yang bertubuh tinggi besar dengan rambut gondrong sepundak.

Sayang mereka tak dapat melihat wajahnya karena orang itu mengenakan topi koboi yang bagian tepinya lebar.

“Beres Kris, semua sudah aku persiapkan dari kemarin. Tapi ngomong-ngomong bukankah masih kurang dua hari lagi waktunya kita setor tenak-ternak hasil curian kita itu,” sahut orang bertubuh gempal dan berkepala botak.

“Iya memang harusnya begitu. Tapi kata Bos sudah terjadi perubahan rencana. Jadi malam nanti kita harus beraksi agar bisa menggenapi jumlah ternak sesuai yang diminta.”

“Wah, berarti kita akan segera dapat jatah uang lagi dong,”

“Pastinya begitu!”

Sampai di sini percakapan mereka berhenti. Sebab ketika kedua orang itu sudah sampai ke dekat tempat persembunyian mereka, tanpa sengaja kaki Jilan menginjak batu sebesar genggaman tangan. Akibatnya batu itu pun jatuh menggelinding dan menimbulkan suara yang menimbulkan rasa curiga.

“Berhenti dulu, Kris! Kau dengar suara itu?”

Kedua orang itu langsung menghentikan langkah. Jarak kedua orang itu dengan tempat persembunyian mereka hanya tinggal satu setengah meter saja. Tentu saja tubuh mereka jadi gemetar saking takutnya. Untunglah tempat persembunyian mereka suasananya gelap sehingga kedua orang itu tak sempat memergoki mereka.

“Iya aku juga mendengarnya, Jon.”

“Bagaimana kalau kita periksa dulu, jangan-jangan ada orang yang telah menyusup ke dalam gua. Bisa tamat riwayat kita!”

“Iya, ayo kita periksa!”

Dengan bantuan sorot lampu senter yang dipegang orang bernama Jon, mereka mulai memeriksa keadaan di sekitarnya dengan seksama. Jilan hampir menjerit keras sewaktu salah satu orang itu berada tepat di hadapan batu tempat persembunyian mereka. Untunglah dengan sigap Panjul segera menutup mulut Jilan dengan telapak tangannya. Sehingga suara Jilan tak sampai terdengar oleh kedua komplotan pencuri itu.

“Bagaimana Jon, apa kau temukan sesuatu yang mencurigakan?”

“Tidak Kris, tidak ada apa-apa. Kau sendiri bagaimana?” balik tanya si Jon.

“Tidak ada juga. Mungkin yang kita dengar tadi hanyalah suara kelelawar yang terbang dan menabrak akar pohon yang menjuntai itu.”

“Bisa jadi.”

“Kalau begitu ya sudah ayo kita ke markas saja.”

“Ya.”

Kedua anggota komplotan pencuri itu meneruskan langkah menuju ke lorong gua bagian sisi kanan. Kini yang tampak tinggal kepulan asap rokok yang mereka hisap sambil berjalan.

Oh! Mereka kembali bisa bernapas lega. Nyaris saja kedua anggota komplotan pencuri itu mengetahui keberadaan mereka.

“Ega, Jilan, barusan kalian dengar sendiri kan, bahwa ternak warga yang hilang selama ini ternyata bukan dimangsa harimau tetapi mereka curi. Dan auman harimau yang ditakuti warga itu ternyata hanya kaset yang mereka putar untuk memuluskan aksi jahat mereka. Itu artinya kita sudah memasuki sarang pencuri sekarang,” kata Panjul sambil tetap mengawasi kedua arah lorong gua.

“Iya, terus kita harus bagaimana?” tanya Ega.

“Menurutku sebaiknya kita segera keluar dari tempat ini saja,” usul Jilan jelas takutnya.

“Tidak bisa begitu, Jilan. Alangkah baiknya kita selidiki dulu ternak hasil curian mereka. Syukur-syukur kalau kita bisa membebaskan ternak warga sebelum sempat mereka jual.”

“Aku setuju ide Panjul itu. Ini pasti akan menjadi petualangan yang sangat seru!” Ega mendukung pendapat Panjul dengan penuh semangat.

Panjul tersenyum.

Perlahan ia mengajak kedua temannya menyusuri lorong sisi kiri guna memeriksa ternak warga yang telah dicuri. Terlanjur basah memasuki sarang pencuri membuat mereka tak menyia-nyiakan kesempatan untuk jadi seorang detektif seperti adegan film di tivi.

Jilan merengut kecewa. Meskipun ia suka dengan tantangan, tapi untuk berhadapan langsung dengan komplotan pencuri yang membahayakan tetap saja ia merasa takut. Namun, nasi telah menjadi bubur. Ia sudah kepalang basah. Akan lebih baik kalau jebur sekalian. Untuk itu Jilan pun berusaha menenangkan hati dan pikirannya sendiri. Ia yakinkan diri kalau Panjul dan Ega pasti akan melindunginya dari marabahaya.

Mereka melangkah beriringan dengan cara mengendap-endap. Setiap kali terdengar suara sekecil apa pun, bergegas mereka berhenti melangkah dan sembunyi. Demi keamanan, Jilan diposisikan di tengah. Dengan begitu, Ega yang berjalan paling belakang dapat menjaga dan mengawasi Jilan. Sedangkan Panjul, bertugas sebagai pemandu jalan.

Udara pengap dan lembab di dalam gua, membuat tubuh mereka mudah berkeringat. Rasa lelah dengan cepat datang mendera. Panjul cukup menyadari dengan kondisi itu. Untuk itulah ia tak henti-henti memberikan dorongan semangat untuk kedua temannya.

Mereka semakin jauh memasuki lorong dalam gua itu. Semakin ke dalam, udara pengap dan bau kurang sedap semakin mendera. Akar-akar pohon besar yang menembus di beberapa bagian dinding gua, terlihat seperti tangan-tangan raksasa yang siap menangkap mereka. Perlahan tapi pasti, nyali mereka terasa kian menciut.

Meski demikian, anak-anak desa Pijiombo itu tak mau melangkah surut. Mereka bertekat untuk membongkar komplotan pencuri ternak yang selama ini meresahkan warga. Mereka bertekat untuk menyelamatkan ternak para warga.

 

 

Bersambung …

 

 

 

Bagikan artikel ini:

Tinggalkan komentar