ANAK ANAK PIJIOMBO (Part 20)

SANG PENUNJUK JALAN

 

 

 

Mendengar penuturan komandan polisi yang cukup beralasan, warga pun kembali terdiam. Kesempatan itu dimanfaatkan komandan polisi untuk kembali memberikan penjelasan terkait tugas yang hendak mereka laksanakan.

“Untuk itu Saudara-saudara mari kita berbagi tugas. Sepuluh orang anggota saya akan menyisir bukit dan tepian hutan tempat adanya gua yang jadi sarang anggota komplotan pencuri itu. Tentu saja dengan Ega sebagai penunjuk jalan. Separo warga nanti bisa membantu penyisiran sedang yang setengahnya lagi tetap berjaga-jaga di perbatasan daerah sini. Sebab ada kemungkinan mereka akan beraksi lagi malam ini. Dua orang anggota polisi nanti akan mendampingi warga yang berjaga di sini.”

“Siaap Paak!” sahut warga serempak.

“Nah sekarang silakan kalian berbagi tugas tapi sebisanya kita harus cepat bertindak sebelum terlalu malam!”

Sejenak warga berbagi tugas. Dengan dipimpin oleh Pak Anto sebagai orang yang dituakan, dalam sekejap pembagian tugas sudah selesai dilakukan. Pak Anto, ayahnya Panjul, serta 15 warga lainnya yang akan mendampingi polisi dalam penyisiran. Sementara warga yang lainnya akan berjaga di tempat-tempat yang dianggap rawan. Baik di desa Pijiombo maupun Genjong.

“Warga sudah siap, Pak!” kata Pak Anto pada komandan polisi.

Dengan senyum komandan polisi menjawab.

“Baiklah, kita berangkat. Ega, Adib, kalian jadi penunjuk jalan!”

“Siap Pak!” sahut Ega dan Adib dengan wajah sedikit tegang.

Dengan langkah tegap dan tertib, sepuluh anggota polisi termasuk sang komandan berangkat menyusuri jalan berbatu dan mendaki jurusan ke perkebunan Sirah Kencong. Adib dan Ega berjalan di sisi sang komandan polisi yang sesekali mengajukan pertanyaan.

“Ega, berapa kira-kira jumlah anggota komplotan pencuri itu?”

“Saya kurang tahu pasti jumlah mereka, Pak. Tapi sepertinya lebih dari dua empat,” sahut Ega bersemangat.

“Apakah di setiap lorong gua ada pintu keluarnya?”

“Tidak, Pak. Pintu gua hanya ada dua.”

“Di bagian mana pintu itu?”

“Pintu depan dan pintu rahasia yang kami temukan di belakang bukit.”

“Maksudmu di sisi barat bukit yang terdapat akses ke kota lewat desa Semen?”

“Sepertinya begitu, Pak.”

“Selain itu adakah kalian lihat adanya barang bukti, semisal ternak hasil curian mereka?”

“Ada, Pak.”

“Apa saja?”

“Ada empat ekor sapi dan beberapa ekor kambing. Semuanya diikat dan disembunyikan di bagian tengah gua. Termasuk si Giras.”

“Si Giras? Siapa dia?”

“Itu Pak, kambing kesayangan Panjul.”

“Ooh.” Bapak polisi tersenyum sambil mencatat apa-apa yang dikatakan baru saja dikatakan Ega.

Sejenak mereka berhenti berbincang. Wilayah perkebunan teh mulai tertutup kabut. Udara bertambah dingin. Terpaksa mereka memperlambat langkah kaki agar tidak terpeleset saat menginjak bebatuan yang licin.

“Ega, apa kau yakin dengan semua yang baru saja kau katakana pada Pak Polisi?” Adib bertanya lirih.

“Ya iyalah, kan aku melihat dengan mata kepalaku sendiri. Memang kenapa?”

“Soalnya aku pernah dengar kata orang, kalau bicara dengan polisi itu harus hati-hati. Kalau sampai apa yang kita katakana keliru, kita bisa dipenjara karena dianggap memberi keterangan palsu.”

“Apa yang kau dengar itu tidak sepenuhnya benar, Dib,” sahut Pak Polisi yang ternyata mendengar ucapan Adib. Padahal Adib bicaranya sudah lirih, loh. Pendengaran Pak Polisi memang peka ternyata.

“Ma-maaf, Pak.” Adib berkata terbata-bata.

“Tak mengapa, tapi harus kalian tahu bahwa dalam menangani suatu perkara, kami para polisi tetap menerapkan azas praduga tak bersalah.”

“Apa itu, Pak?”

“Ketika mendapatkan jawaban dari seorang tersangka, kami tidak serta merta percaya begitu saja. Semua harus ada saksi dan bukti. Karena itu kami mencatat dan menyelidiki kebenarannya terlebih dahulu.”

“Supaya adil ya, Pak?” Ega memberanikan diri bertanya.

Pak Polisi mengangguk sambil tersenyum.

“Kalian memang anak-anak Pijiombo yang cerdas.”

“Kalau besar nanti saya ingin jadi polisi, Pak.” Adib mengangkat kepalan tangannya tinggi-tinggi.

“Bagus! Dengan jadi polisi kamu bisa mengayomi dan melindungi masyarakat. Sebuah pekerjaan yang mulia. Karena itu kau harus rajin belajar agar keinginanmu tercapai.” Pak Polisi berkata sambil mengusap kepala Adib.

He he! Adib tersenyum bangga. Ia menepuk-nepuk dadanya sendiri. Ega hanya tersenyum menyaksikan tingkah temannya yang rada konyol itu.

                                                          ***

 

Rombongan warga berjalan di belakang pasukan. Wajah-wajah mereka tampak tegang. Hanya Pak Anto dan ayahnya Panjul yang terlihat dilanda kecemasan. Namun demikian mereka tetap waspada terhadap segala kemungkinan.

Sepanjang jalan Adib sering tersenyum riang. Sepertinya ia begitu bangga bisa menjadi bagian dari petualangan ini. Layaknya adegan film detektif di tivi, mata Adib seringkali menyelidik ke sekitar jalan yang dilalui. Meski sebenarnya di dalam hati ada rasa takut yang menghantui.

Saat langkah mereka tiba di kaki bukit tempat di mana Ega, Jilan, dan Panjul menunggu layang-layang putus tadi siang, sejenak mereka berhenti. Dua orang polisi nampak memeriksa keadaan dengan menggunakan teropong yang bisa berfungsi dalam kegelapan.

Demi melihat dua buah keranjang berisi rumput yang masih berdiri di bawah sebatang pohon, ayahnya Panjul buru-buru menghampiri. Dalam sorotan cahaya bulan, ia dapat melihat dengan jelas bahwa salah satu keranjang itu adalah milik anaknya.

“Iya benar, ini keranjang rumput yang biasa dipakai oleh anakku,” kata lelaki itu sambil memeluk salah satu keranjang.

“Panjul dimanakah sekarang kau berada, Nak?” Lanjut ayahnya Panjul dengan penuh kesedihan.

“Pak Kamto yang sabar ya, sebentar lagi anak-anak kita pasti ditemukan,” hibur Pak Anto coba menenangkan.

Sementara di sudut lain, sambil duduk di sebongkah batu, komandan polisi sedang membagi anggotanya menjadi tiga bagian. Mereka sudah berbagi tugas untuk mengadakan penyergapan dari tempat dan arah yang sudah ditentukan.

Penyergapan diatur sesuai arahan Ega sebagai penunjuk jalan. Secara dfetail Ega menceritakan posisi pintu gua beserta letak lorong-lorong yang bercabang di dalamnya.

Dengan cepat seorang polisi berusia muda menggambar sketsa gua lengkap dengan letak pintu dan lorongnya. Sketsa itu menyerupai sebuah demah. Dilengkapi dengan titik-titik kumpul yang nantinya dipakai sebagai posisi dari pasukan polisi.

Ega dan Adib mencermati semua itu dengan seksama. Mereka merasa bangga bisa berada di tengah para penegak hukum yang hendak meringkus komplotan penjahat. Dalam pandangan mereka berdua, persiapan penyergapan yang akan dilakukan para polisi mirip dengan persiapan menjelajah yang pernah mereka lakukan saat berkemah. Dalam kondisi seperti itu, kekompakan menjadi kunci utama. Kecerdasan saja belumlah cukup, harus disertai dengan keterampilan membaca suasana.

Terlebih lagi bagi Ega yang diberi kepercayaan menjadi penunjuk jalan. Kesempatan berharga itu benar-benar ingin ia manfaatkan tanpa kesalahan. Ia bertekad akan membantu tugas polisi sampai semua anggota komplotan tertangkap dan diadili.

Panjul dan Jilan pasti akan merasa bangga nantinya setelah mengetahui bahwa dirinya yang jadi penunjuk jalan dalam operasi penyelamatan mereka.

 

 

Bersambung ….

 

 

 

 

 

 

Bagikan artikel ini:

Tinggalkan komentar