ANAK ANAK PIJIOMBO (Part 33)

MEMINTA PERSETUJUAN NENEK

Jam 10 malam.

Meskipun acara pagelaran seni Kuda Lumping belum lagi selesai, Adib dan neneknya sudah pulang ke Genjong mengingat besuk Adib harus masuk sekolah. Tentu saja ajakan Adib pulang itu sangat menggembirakan neneknya. Sebab biasanya kalau sudah nonton suatu hiburan, Adib suka lupa waktu. Tak peduli besuk akan bangun kesiangan dan terlambat sekolah, yang penting ia harus menonton sampai bubarnya acara itu.

Hmm, sang nenek tersenyum. Sepertinya Adib mulai memiliki sikap tanggung jawab pada kewajibannya bersekolah. Siapapun yang telah merubah Adib jadi seperti ini sang nenek tentunya akan sangat berterima kasih.

Sepanjang jalan di bawah sinar rembulan, mereka menapaki jalan setapak yang membentang di sisi timur gapura Pijiombo. Hanya itu satu-satunya jalan yang menghubungkan dusun Genjong dengan Pijiombo. Makanya meskipun kondisi jalan itu kadang licin dan berbatu, tapi tetap saja orang harus lewat situ.

Sepanjang jalan itu pula Adib senantiasa memegangi medali yang ia terima dari Bapak Komandan Polisi. Seolah ia tak mau jika medali itu sampai lepas dari lehernya. Sementara tangan kanannya memegang erat bingkisan dalam kardus besar yang dibungkus kertas warna merah menyala.

Begitu sampai di rumah, tanpa berkata-kata Adib langsung masuk ke kamarnya. Perlahan ia lepas medali itu dari lehernya. Cup! Lantas dikecupnya medali berbentuk bintang itu dengan penuh perasaan. Sedang kardus bingkisan itu ia taruh di atas meja kecil yang ada di sudut kamarnya.

Sambil menarik napas dalam-dalam, perlahan ia rebahkan diri di ranjangnya. Sejenak pikirannya melayang pada suatu hal yang sedari tadi mengganjal di hatinya. Dan sebelum matanya sempat terpejam, sang nenek datang untuk menyelimuti tubuhnya.

“Segeralah tidur Dib karena besuk kau harus sekolah,” kata sang nenek.

“Iya, Nek. Tapi sebelumnya ada suatu hal yang ingin aku bicarakan sama Nenek,” kata Adib menahan kepergian neneknya.

Sejenak sang nenek tersenyum baru kemudian duduk di tepi ranjang tempat Adib berbaring dengan nyaman.

“Soal apa yang ingin kau bicarakan malam-malam begini, Dib?”

Adib menatap neneknya dengan bimbang. Hingga sang nenek balas menatapnya dengan gelengan pelan.

“Katakanlah Dib, supaya kau bisa segera tidur dengan nyenyak,” lanjut si nenek seolah paham dengan keraguan yang sedang melanda hati cucunya.

Adib menghela napas berat dan dalam, baru kemudian berkata pelan.

“Nek, seandainya Adib minta pindah sekolah ke Pijiombo boleh enggak?”

“Kau serius ingin sekolah di Pijiombo?” balik tanya neneknya.

“Iya Nek, aku ingin selalu kumpul dengan teman-teman Pahlawan Kecil. Saya rasa akan lebih menyenangkan kalau aku bisa satu sekolahan dengan mereka,” jawab Adib penuh harap. Harapan indah agar neneknya mengabulkan apa yang dia minta.

Sang nenek nampak berpikir sesaat. Sejurus lamanya ia pandangi wajah sang cucu yang malam ini tampak jauh lebih hebat dari seorang Adib yang ia asuh selama ini. Pengalaman berpetualang di Sirah Kencong dengan anak-anak hebat dari Pijiombo itu telah memberikan dampak positip bagi Adib.

“Bagaimana, Nek? Boleh apa enggak?” desak Adib penasaran.

“Sebenarnyalah Dib, dari dulu nenek kurang setuju waktu bapak dan ibumu mendaftarkan kau sekolah di Sengon. Nenek lebih sreg bila kau sekolah di Pijiombo. Tapi karena waktu itu bapak dan ibumu ngotot ingin agar kau sekolah di Sengon, ya terpaksa nenek mengalah. Jujur saja nenek lebih suka kau sekolah di Pijiombo yang lebih dekat sehingga nenek lebih mudah mengawasimu. Jadi sekarang kalau kau minta pindah sekolah ke Pijiombo tentu saja nenek setuju. Besuk akan nenek urus kepindahanmu itu. Tapi ingat…” sang nenek seolah sengaja menggantung kalimatnya.

“Ingat apa, Nek?” tanya Adib penasaran.

“Kau harus lebih rajin belajar jika sudah sekolah di Pijiombo nanti. Karena di situ anaknya pinter-pinter. Malu jika kau kelihatan malas sendiri,” sahut neneknya sambil menowel dagu Adib.

“Pasti itu Nek, aku janji akan lebih rajin nanti!”

Sang nenek mengangguk-angguk.

“Tapi Nek, bagaimana dengan bapak dan ibuk? Apakah mereka akan menyetujuinya?” Mata Adib mengerjap-ngerjap. Ada keraguan membayang di wajahnya.

“Ya, nanti akan nenek bicarakan dulu dengan mereka.”

“Bagaimana kalau mereka gak setuju, Nek?”

“Kita belum mencobanya. Kenapa kau malah pesimis begitu, heh?”

“Ya, aku takut bapak dan ibuk gak akan menyetujuinya.”

“Soal itu serahkan saja pada nenek. Semua pasti beres.”

“Bener, Nek?”

“Iya.”

“Nenek janji?”

“Ya sudahlah, sekarang kau tidur saja, besok nenek akan urus semuanya,” kata sang nenek untuk mengakhiri percakapannya.

“Terima kasih, Nek,” ucap Adib seraya mulai memejamkan mata.

Sang nenek yang sudah sampai di ambang pintu kamar, berhenti sejenak untuk menoleh kepada cucunya. Seulas senyum tergambar di wajah yang mulai keriput itu. Satu anggukan mantap dari sang nenek membuat hai Adib lega seketika.

Perlahan mata Adib mulai terpejam dan bersiap terbang kea lam mimpi yang indah.

***

Esok harinya ketika Adib sudah berangkat sekolah, nenek Salmah pergi ke Pijiombo. Ia ingin membicarakan perihal permintaan Adib tadi malam dengan Bu Etti. Ibunya Jilan itu memang masih kerabat jauh dengan neneknya Adib.

Ketika nenek Salmah sampai di sana, Bu Etty sedang menyirami tanaman bunga yang ada di depan rumahnya. Setelah saling mengucap salam dan bersalaman, mereka duduk di bangku kayu panjang yang ada di depan rumah.

“Tumben sepagi ini sudah sampai ke mari, ada apa Budhe?” tanya Bu Etty sambil menghidangkan secangkir kopi.

“Ada suatu hal yang ingin aku diskusikan denganmu,” jawab neneknya Adib seraya membuka penutup cangkir.

“Soal apa, Budhe?”

“Adib.”

“Ada apa dengan Adib?”

“Semalam ia meminta ijin padaku untuk pindah sekolah ke SD Negeri Pijiombo. Bagaimana menurutmu?” Wanita 60 tahun itu menatap Bu Etty lekat-lekat.

“Wah, bagus itu Budhe. Kan jarak tempuh ke Pijiombo lebih dekat daripada ke Sengon. Lagipula Adib juga sudah kenal hampir dengan semua anak di sini, pasti ia akan lebih senang nantinya,” sahut Bu Etty bersemangat.

“Aku mikirnya juga gitu. Dari dulu aku inginnya Adib sekolah di sini, tapi bapak dan ibunya dulu yang ingin agar Adib sekolah di Sengon.”

“Kalau begitu ya segera diurus saja kepndahan Adib. Mumpung belum ulangan tengah semester, Budhe.”

“Mauku juga begitu. Tapi ….”

“Tapi kenapa, Budhe?”

“Aku gak tahu caranya.”

Bu Etty tersenyum. Perlahan ia pegangi pundak nenek Salmah.

“Soal itu biar aku yang urus, Budhe. Besok aku akan ke SD Sengon untuk mengurus kepindahan Adib.”

“Bener? Apa persyaratannya?”

“Setahuku tidak ada persyaratan, Budhe. Nanti pihak sekolah yang akan memberikan surat kepindahan.”

“Syukurlah kalau begitu. Adib pasti akan senang mendengarnya.”

Nenek Salmah tersenyum membayangkan kebahagiaan cucunya. Ia seruput kopi hangat.

Bersambung …

Bagikan artikel ini:

Tinggalkan komentar