ANAK ANAK PIJIOMBO (Part 4)

MENUNGGU ADU SAMBIT

 

 

Jilan dan Ega sudah duduk di plester panjang yang membentang di sekeliling Jeding Ombo. Letaknya di sebelah utara Loji yang merupakan rumah peristirahatan peninggalan jaman Belanda. Sedang Jeding Ombo itu adalah dua buah kolam berukuran 3 x 6 meter yang menjadi tempat penampungan air yang dipergunakan untuk menggerakkan turbin. Satu-satunya sumber penerangan bagi warga dusun Pijiombo.

Panjul tersenyum begitu melihat kedua temannya. Mereka selalu menepati janji yang sudah disepakati sedari pulang sekolah. Dengan wajah ceria Panjul segera menghampiri mereka.

“Kalian sudah lama menunggu?” Panjul bertanya seraya mengambil duduk di antara mereka berdua.

“Belum, kami juga baru datang kok,” sahut Ega sambil menatap Jilan.

Jilan tersenyum sambil mengangguk. Sehingga poni di dahinya bergoyang-goyang secara ritmis.

“Sebaiknya kalian berdua mencari rumput saja dahulu sambil menunggu orang-orang adu sambit layang-layang,” saran Jilan.

“Wah, ide yang bagus itu Jilan,” puji Panjul senang.

“Iya dan kita cari rumputnya di sisi utara bukit saja jadi sekalian bisa sambil menunggu layang-layang putus yang kita inginkan,” dukung Ega pula.

“Setuju jadi sambil menyelam minum air, iya kan?” Jilan berkata dengan mata berbinar.

“Ngaco ah, di sana kan bukit, mana bisa buat menyelam. Kalau mau menyelam dan minur air yang di Jeding Ombo ini saja,” seloroh Ega.

“Aah, dasar kau dodol, Ega! Maksud Jilan itu sambil kita cari rumput sekalian kita nunggu layang-layang yang kalah adu sambitan,” sambar Panjul seraya menjendulkan kepala Ega.

Bukannya marah, Ega malah nyengir kuda.  

“Ya sudah kalau begitu yuk kita berangkat!” sahut Jilan seraya bangkit mendahului kedua temannya.

Panjul segera menyusul bangkit dan berdiri. Kemudian diraihnya tangan Ega dan ia tarik agar cepat ikutan bangkit juga. Dasar Ega, ia malah balas menarik tangan Panjul. Tak ayal Panjul jadi terhuyung dan nyaris jatuh terduduk kembali.

Jilan hanya tersenyum saja menyaksikan tingkah konyol kedua temannya itu. Sambil geleng-geleng kepala Jilan melangkah menapaki jalan menanjak dan berbatu yang merupakan satu-satunya akses menuju perkebunan teh Sirah Kencong.

Tak mau ketinggalan Panjul dan Ega segera menyusul langkah Jilan sambil membawa serta keranjang rumput miliknya. Sepanjang perjalanan mereka lalui sambil bersenda gurau. Hanya sesekali mereka berhenti guna menyambut dan menjawab tegur sapa warga yang kebetulan berpapasan.

Sepanjang jalan senyum dan tawa mereka berderai riang. Wilayah desa Pijiombo sebagian besar adalah pegunungan yang diapit oleh perkebunan kopi, cengkeh, serta teh, sungguh merupakan anugerah terindah dari Tuhan. Selain tanahnya yang subur, desa Pijiombo ini juga dikaruniai sumber daya alam yang melimpah. Warga yang sebagian besar bekerja di perkebunan, rata-rata memiliki kesibukan sampingan memelihara ternak. Sebab rumput di daerah ini dapat mudah ditemui di sembarang tempat.

Bukan itu saja, desa Pijiombo juga banyak menghasilkan sayuran yang tumbuh secara liar. Semua itu karena warga desa Pijiombo benar-benar hidup bersahabat dengan alam. Mereka sadar benar bahwa alam dan manusia sudah seharusnya selalu berdampingan. Jika manusia peduli dengan kelestarian alam maka alam akan memberikan berkah dan manfaat untuk kehidupan. Sebaliknya jika alam diabaikan maka yang akan alam berikan hanyalah bencana.

Karena itu Panjul, Ega, Jilan serta anak-anak desa Pijiombo yang lainnya begitu menyayangi lingkungan tempat tinggalnya. Sebab di desa kecil ini yang namanya kecanggihan teknologi belum sempat meracuni. Mereka benar-benar masih hidup dalam kesederhanaan. Di mana yang namanya gotong royong menjadi ciri khas adat ketimuran masih tumbuh subur di tempat ini. Permainan tradisional juga masih kental dan kerap dimainkan. Tidak seperti anak-anak kota yang telah diracuni oleh aneka game online yang menjadikan anak kota cenderung individualis.

Lantaran ditempuh dengan riang, perjalanan menapaki jalan mendaki dan berbatu itu serasa ringan. Dalam waktu kurang dari setengah jam, mereka sudah sampai di tempat yang diinginkan. Sambil menunggu mulainya orang main adu sambit layang-layang, Panjul dan Ega terlebih dulu mencari rumput.

Jilan membantu mengumpulkan rumput mereka secara bergantian. Sehingga dalam waktu yang tak terlalu lama, keranjang Panjul dan Ega sudah penuh dengan rumput yang menghijau. Separo dari janji sepulang sekolah, sepertinya sudah terlaksana sebagian.

Mereka pun tersenyum senang.

“Andai saja setiap hari kita bisa merumput bersama seperti ini, pekerjaan bisa cepat selesai jadi kita punya waktu lebih banyak untuk bermain,” kata Ega sambil menyandarkan punggungnya pada sebatang pohon.

“Betul Ega, aku setuju itu. Kalau kita bisa selalu bekerjasama begini, pekerjaan kita menjadi lebih ringan. Enak, kan?” Ega selonjor di rerumputan.

“Iya, enak di kalian tapi gak enak di aku.” Jilan menatap puncak gunung Kelud yang tampak menjulang.

“Maksudmu?” Panjul dan Ega bertanya serempak.

“Kalian enak dapat rumput buat makanan ternak kalian. Sedang aku, hanya dapat capeknya doang.” Jilan cemberut.

“Loh, kalau kau mau bagian rumputnya juga boleh kok,” seloroh Panjul cengengesan.

“Iya, nanti aku rebus terus buat kasih makan kamu, gitu? Sudah tahu aku gak punya ternak kok suruh bawa rumput.” Wajah Jilan cemberut.

“Jadi kau gak ikhlas nih, membantu kami?” goda Panjul lagi.

“Kalau aku gak ikhlas membantu, aku sudah turun sedari tadi,” sahut Jilan ketus.

“Sudah, sudah, gak usah bertengkar. Lebih baik sekarang kita tunggu adu sambit layang-layangnya.” Ega melerai agar perdebatan tak berkepanjangan.

Tanpa bicara lagi, Ega mengeluarkan botol minumannya. Ia minum beberapa tegukan kemudian ia ulurkan pada Jilan. Tanpa menyahut Jilan menerimanya dan langsung meminumnya pula.

Begitu ia selesai minum, ia ulurkan kembali botol itu pada Ega. Tapi Ega tak menerimanya. Ia justru mengerling pada Panjul. Paham dengan isyarat yang diberikan Ega, Jilan pun memberikan botol itu pada Panjul tanpa berkata-kata.

Panjul juga meneguk isi botol itu beberapa tegukan saja. Sekadar untuk membasahi kerongkongannya.

Mereka merasakan kesegaran yang sama. Medkipun botol itu hanya berisi air putih, tapi saat diminum di atas bukit seperti ini rasanya sudah sangat luar biasa. Mengalahkan rasa es campur yang diminum di dalam rumah berAC.

Untuk beberapa saat lamanya mereka masih sama-sama terdiam. Hanya pandangan mereka yang sama-sama menatap langit. Memandang gumpalan awan putih yang berarak pelan.

Panjul membuka lengannya lebar-lebar sambil terlentang di rerumputan. Embusan angin yang semilir mempermainkan ujung bajunya. Ujung rambutnya juga ikut melambai-lambai seiring dengan gerakan pucuk-pucuk ilalang di lereng bukit.

Sementara di langit sebelah selatan, belum nampak adanya sebuah layang-layang yang terbang. Mungkin sebentar lagi. Sekarang masih waktunya orang makan siang dan istirahat. Yang jelas mereka akan tetap menunggu sampai ada orang yang adu sambit layang-layang.

Besar harapan Panjul untuk mendapatkan layang-layang sesuai dengan yang ia inginkan.

 

 

Bersambung …

 

Bagikan artikel ini:

Tinggalkan komentar