GALENDO, KOTORAN YANG ENAK

Kiki senang sekali bisa berlibur di rumah Nin, ibunya Ayah. Nin adalah sebutan untuk ‘nenek’ dalam bahasa Sunda karena orangtua Kiki berasal dari suku Sunda. Biasanya Kiki berkunjung ke rumah Nin bersama keluarganya di saat lebaran. Tapi pada liburan sekolah kali ini, Ayah mengizinkan Kiki berlibur ke rumah Nin sendirian, tanpa Ayah dan Ibu karena kedua orangtuanya bekerja. Kata Ayah, “Kiki sudah naik ke kelas 6 SD. Jadi Ayah yakin Kiki sudah bisa mandiri dan tidak akan merepotkan Nin selama liburan.”  “Hore, terimakasih Ayah,” seru Kiki.

Dari Jakarta Kiki naik kereta api menuju Garut. Rumah Nin terletak di desa Kadung Ora, sebelum masuk kota Garut. Perjalanan selama hampir 5 jam tidak terasa membosankan. Kiki menikmati pemandangan sepanjang perjalanan yang indah. Turun di Stasiun Leles, Nin sudah menunggu dengan Mang Didin yang akan membantu membawakan koper Kiki. Sejak Aki meninggal, Nin ditemani oleh keluarga Mang Didin. Istrinya Mang Didin, Bi Mar, membantu Nin mengurus rumah dan memasak. Sedangkan Mang Didin membantu mengurus sawah, kebun, dan hewan peliharaan Nin. Ya, rumah Nin yang asri dan teduh dikitari oleh sawah, kebun buah dan sayur serta kolam ikan dan kandang ayam. Udara yang sejuk, menambah kesukaan Kiki dengan suasana di rumah Nin. Mang Didin memiliki anak perempuan sebaya Kiki yaitu Ani. Jika berada di rumah Nin, kadang-kadang Ani juga menemani Kiki bermain.

Hari kedua di rumah Nin, Kiki baru menyadari bahwa ternyata Nin sangat mandiri untuk urusan pangan. Kebutuhan pokok tersedia di sekitar tempat tinggal. Ada sawah, kebun buah, kebun sayur, kolam ikan, dan Nin juga memelihara ayam untuk tambahan kebutuhan protein. Sejak datang, Kiki disuguhi berbagai makanan yang berasal dari sekitar rumah Nin. Ikan dipepes dengan daun pisang, ayam goreng, sayur-sayuran, buah-buahan, dan tentunya nasi dari beras yang dipanen di sawah. Semuanya segar dan alami. Bahkan kebutuhan lainnya seperti minyak goreng, juga dibuat sendiri. Seperti hari ini. Pagi-pagi setelah sarapan dengan nasik kuning buatan Bi Mar, Nin mengajak Kiki dan Ani ke pinggir sawah. Di sana ada beberapa pohon kelapa. Di tanah ada beberapa buah kelapa yang jatuh dari pohon. Nin memilih 6 buah kelapa yang cukup tua lalu mengajak Kiki dan Ani membawa kelapa tersebut ke kios kelapa yang tidak jauh dari rumah. Setelah kelapanya diparut, mereka pulang ke rumah. Nin meminta Bi Mar untuk memeras santan sedangkan Nin menyiapkan wajan besar di tungku. Proses pembuatan minyak kelapa pun dimulai secara tradisional karena masih menggunakan tungku dengan kayu bakar.

“Nah, pembuatan minyak kelapa ini, santannya harus terus diaduk agar tidak pecah.” Kata Nin sambil mengaduk santan di wajan. “Santan pecah itu bagaimana Nin?” tanya Kiki. Kan santan benda cair, bukan benda padat seperti gelas yang bisa pecah, begitu pikirnya. Nin tersenyum. “Ki, pecah santan itu hanya istilah, bukan pecah seperti gelas. Santan jika dipanaskan pada suhu tinggi dan tidak diaduk maka akan menggumpal, berbutir, dan tidak menyatu. Lapisan minyaknya akan terpisah dari bagian yang cair.” “Ooo….” Kiki mengangguk-angguk sambil tersenyum, menyadari ketidaktahuannya.

Nin, Kiki, dan Ani bergantian mengaduk agar tidak capek. Santan yang sudah mendidih terus diaduk hingga airnya berkurang. Prosesnya tidak terasa melelahkan karena mereka melakukan bergantian, diselingi cerita-cerita Nin tentang berbagai hal. Kiki dan Ani sekalian mendapat pengetahuan juga tentang manfaat minyak kelapa. “Minyak kelapa selain untuk memasak juga bisa digunakan untuk bahan perawatan kecantikan.” Kata Nin. “Juga bermanfaat untuk menurunkan risiko penyakit jantung.” Nin menambahkan. “Waah…. Nin, harusnya Kiki catat ya kegiatan ini. Dijadikan jurnal seperti kegiatan-kegiatan praktek di sekolah.” Seru Kiki. “Boleh Ki. Sebentar ya.” Nin beranjak dari dapur menuju ruang keluarga. Kemudian kembali ke dapur membawa buku tulis dan pulpen. “Kiki boleh tulis semua yang sudah dikerjakan hari ini.” Nin memberikan buku tulis itu pada Kiki. “Terimakasih Nin.” Wajah Kiki berseri-seri karena merasa telah mendapatkan pengetahuan baru dan berharga. Kiki langsung mencatat semua kegiatan yang sudah dilakukan dari pagi.

Tak terasa sudah hampir 1 jam. Santannya sudah mengering. Krim putih di wajan berubah warna menjadi coklat. Di wajan sudah terpisah cairan kuning keemasan yang disebut minyak kelapa dengan ampasnya. Nin mengecilkan api di tungku dengan mengurangi pasokan kayu bakar. “Nah, ampas atau kotoran minyak ini namanya galendo, istilah dalam bahasa sundanya.” Kata Nin. “Ini bisa dimakan dan rasanya enak.” Nin menambahkan. Kiki dan Ani terkesima. “Masa kotoran dimakan Nin?” Tanya Ani. Nin tertawa. “Hehe iya, nanti kita coba ya.” Bi Mar membantu membereskan minyak kelapa yang sudah jadi. Kira-kira ada setengah liter minyak kelapanya dan disimpan di botol.

Setelah bersih-bersih, Nin mengajak Kiki dan Ani ke meja makan. Bi Mar menghidangkan sepiring galendo yang sudah dibentuk menjadi penganan berbentuk lonjong. “Ayo dimakan.” Ajak Nin. Kiki dan Ani ragu-ragu karena ingat bahwa itu adalah kotoran minyak. “Hmm, enak….” Nin mengambil sepotong dan memakannya. Kiki dan Ani mengambilnya lalu memakannya. “Waaah….. kenyal dan manis, rasanya unik.” Seru Kiki. Ani mengangguk sambil mengunyah. “Galendo itu berasal dari kata ‘gale’ yang dalam bahasa Sunda artinya ‘sisa’ dan ‘ndo’ itu artinya makanan.” Nin memberikan penjelasan. “Sebentar Nin, Kiki tulis dulu.” Kata Kiki sambil berlari ke dapur mengambil buku tulisnya tadi. “Bisa diulangi Nin?” pinta Kiki sambil menulis. Nin mengulangi kembali penjelasannya. “Jadi kesimpulannya, galendo itu kotoran yang enak yaaa….” Kata Kiki. “Tepat!” Nin menjawab sambil tersenyum. Kiki dan Ani berseru, “Terimakasih Nin.” “Sama-sama sayang.” Kata Nin. “Yuuk, kita habiskan kotoran yang enak ini.” “Ha…Ha…”Mereka tertawa bersama.

“Cerpen Ini Diikutsertakan dalam Lomba Cipta Cerpen Anak Paberland 2024”

Bagikan artikel ini:

Tinggalkan komentar