“Pasukan! Siap Grak!” suara komandan lantang menyiapkan pasukan. Kepala suku mereka yang bernama Geni Biru naik ke atas podium dan bersiap untuk memberi sambutan kepada seluruh pasukan. Mereka adalah Suku Geni, salah satu dari dua suku yang menghuni hutan Alas Gedhe di Pulau So.
“Salam Geni! Pasukanku yang amat aku cintai, aku hendak memberi pengumuman. Aku akan pergi selama 3 hari untuk keperluan penting,” ujar kepala suku.
“Aku juga ingin meminta tolong kepada kalian semua untuk tetap waspada dan rajin berpatroli demi menjaga desa kita dari serangan Suku Banyu, musuh kita,” tegas Geni Biru.
Daerah kekuasaan Suku Geni dan Suku Banyu dipisahkan oleh deretan semak berduri. Tidak sulit sebenarnya membedakan kedua suku yang berbadan cebol itu. Suku Geni memiliki mata yang berwarna merah menyala, begitu pula warna tubuhnya. Sedangkan Suku Banyu memiliki mata yang berwarna biru laut, sama dengan warna tubuhnya.
***
Sebelum matahari terbit Geni Biru sudah berangkat masuk ke dalam hutan Alas Gedhe. Beberapa hari sebelumnya dirinya menemukan sebuah catatan rahasia yang terselip di dalam kitab kuno milik mendiang ayahnya. “Carilah kebenarannya melalui pohon di tengah hutan,” gumam Geni Biru mengulang-ulang isi catatan itu, dia tidak menyadari di hadapannya ada sebuah lubang yang dalam dan akhirnya terperosok ke dalamnya.
“Tolong! Siapa saja tolong aku!” Geni Biru berteriak sekuat tenaga. Sampai menjelang sore belum ada satu pun makhluk yang menolongnya, kepala suku geni itu sudah mulai putus asa. Dia duduk dengan lesu memandang langit sambil memeluk kantong perbekalannya.
Sesaat matanya silau akibat pancaran sinar yang begitu terang. “Ambil tali itu! Aku akan menarikmu!” Geni Biru meraih tali tersebut dan berhasil selamat.
Pandangan Geni Biru berangsur normal, kini dia dapat mengenali seseorang di hadapannya. Ternyata dia adalah Banyu Bening, kepala suku banyu yang sudah lama menjadi musuhnya. “Kau! Kau! Banyu Bening! Aku tidak sudi ditolong olehmu!” hardik Geni Biru.
“Silahkan kembali ke lubang itu jika kau tidak sudi untuk kutolong!” ketus Banyu Bening kemudian berlalu meninggalkan Geni Biru yang masih saja emosi.
Rupanya untuk menuju pohon yang dimaksud oleh catatan rahasia harus melalui jalan setapak satu-satunya di hutan itu, dengan terpaksa Geni Biru berjalan mengekor di belakang Banyu Bening.
“Jangan terlalu dekat denganku! Aku tak sudi!” ucap Banyu Bening dengan kasar. Geni Biru melengos kemudian cepat-cepat mendahului musuh bebuyutannya. Banyu Bening tidak terima diperlakukan seperti itu kemudian membalas perlakuan yang sama, namun dia tidak sadar ada seekor makhluk buas sedang tertidur di hadapannya.
“Banyu Bening berhenti! Jangan bergerak!” seru Geni Biru.
Terlambat, Banyu Bening terlanjur menginjak ekor makhluk itu yang mulai menggeram kepada mereka berdua dan siap menerkam. “Pergi kau! Makhluk buas!” teriak Geni Biru sambil mengeluarkan api dari tangannya.
“Terima kasih, Geni Biru, kau sudah menolongku,” kata Banyu Bening tulus.
“Sama–sama, anggap saja ini balasan dariku karena kau sudah menolongku tadi,” kata Geni Biru menimpali.
Berkat insiden itu, akhirnya kedua kepala suku itu melanjutkan perjalanan bersama-sama. “Apa yang kau lakukan di hutan ini, Banyu Bening?” tanya Geni Biru mengawali pembicaraan.
“Kau sendiri, sedang apa di hutan ini sendirian tanpa pengawal-pengawalmu?” Banyu Bening balik bertanya.
“Aku sedang mencari kebenaran seperti yang tertulis di kertas ini.” Geni Biru memperlihatkan kertas yang berisi catatan rahasia dari mendiang ayahnya.
Banyu Bening bingung. “Catatan itu sama dengan milikku,” katanya kemudian. Lalu mereka berdua saling mencocokkan catatan itu, isinya sama tetapi tulisan tangannya berbeda, dan ada simbol suku mereka masing-masing.
“Kita harus bergegas mencari pohon yang dimaksud di catatan itu, agar kebenaran segera terungkap,” ucap Geni Biru.
“Tetapi bagaimana cara kita menemukan pohon yang dimaksud di antara ribuan pohon yang ada di hutan ini?” balas Banyu Bening ragu.
“Ketemu!” seru Geni Biru di dekat pohon yang paling besar.
“Ada simbol suku kita di sini!” Geni Biru menunjuk simbol geni dan simbol banyu yang terpahat jelas di atas lubang yang menganga di balik pohon. Kemudian mereka berdua pun masuk ke dalamnya, dan menemukan sebuah peti yang berisi buku kuno. Geni Biru membuka buku itu dan mulai membacanya.
“Suku Geni dan Suku Banyu bersaudara. Kami diciptakan oleh pencipta yang sama. Gara-gara ulah penyihir Lemah Teles suku kami bermusuhan. Namun kini penyihir itu sudah berhasil kami musnahkan, namun kami sudah kehabisan waktu untuk menjelaskan kepada kalian.” Geni Biru berhenti membaca sejenak.
“Semoga kalian selalu hidup dengan rukun anak-anakku wahai Suku Geni dan Suku Banyu, tertanda ayah-ayah kalian Geni Abang dan Banyu Jernih” lanjut Geni Biru.
“Selama ini kita sudah salah paham, Geni Biru. Maafkan aku saudaraku,” kata Banyu Bening sendu.
“Aku pun begitu. Maafkan aku saudaraku,” ucap Geni Biru.
Mereka berdua berpelukan dan bertekad untuk menjelaskan kepada rakyat-rakyat mereka atas kesalapahaman yang sudah terjadi bertahun-tahun.
Syukurlah setelah penjelasan dari kedua kepala suku saat itu. Kini Suku Geni dan Suku Banyu hidup dengan rukun selama lamanya.