Hikayat Putri Bintang

Oleh: Noor H. Dee

 

Pada zaman dahulu kala, hiduplah seorang nenek sebatang kara. Suaminya telah lama meninggal dan dia tidak memiliki seorang anak. Nenek itu tinggal di sebuah gubuk reyot beratapkan seng dan beralaskan tanah. Agar bisa bertahan hidup, nenek itu harus bekerja serabutan seperti mencuci pakaian milik warga kampung sebelah, mencabuti rumput liar yang tumbuh di halaman rumah orang, dan sesekali menjadi kuli panggul di pasar.

Hingga suatu malam, nenek itu pulang dalam keadaan letih. Seluruh tubuhnya terasa remuk. Sambil merebahkan tubuhnya di atas tikar, dia menatap bintang-bintang di langit malam melalui atap seng gubuknya yang berlubang.

“Ya Tuhan, aku mohon,” kata nenek itu lirih. “Berikanlah aku seorang anak.”

Tidak lama kemudian, sebuah bintang jatuh dari langit malam dan masuk ke dalam gubuk reyot tempat nenek itu tinggal. Bintang itu berubah wujud menjadi seorang gadis yang cantik jelita.

Nenek itu gembira bukan main. Dia segera memeluk gadis itu dan berkata, “Aku akan menamakanmu Putri Bintang.”

Hari demi hari pun berlalu. Semenjak kehadiran Putri Bintang, kehidupan nenek itu bisa dibilang lumayan menyenangkan. Dia tidak perlu lagi bekerja serabutan. Seluruh pekerjaannya sudah dia serahkan kepada Putri Bintang. Setiap hari nenek itu selalu berada di dalam gubuk, menghabiskan waktu hanya dengan rebahan di atas tikar.

Setiap hari Putri Bintang selalu bekerja membanting tulang demi membantu nenek itu. Dia mencuci pakaian milik warga kampung sebelah, mencabuti rumput liar yang tumbuh di halaman rumah orang, dan sesekali menjadi kuli panggul di pasar. Ketika malam tiba, Putri Bintang akan pulang ke gubuk dan memberikan beberapa lembar uang kepada nenek itu.

“Duhai, Putri Bintang yang cantik jelita, kamu terlihat letih sekali hari ini. Beristirahatlah, Nak, sebab besok kamu akan bekerja kembali,” ujar nenek itu sambil menghitung uang pemberian Putri Bintang.

Ketika Putri Bintang tertidur, nenek itu merasa kasihan. Dia segera menatap bintang-bintang di langit malam melalui atap seng gubuknya yang berlubang.

“Ya, Tuhan, aku mohon,” kata nenek itu lirih. “Berikanlah aku seorang anak lagi.”

Permohonan nenek itu segera terkabul. Sebuah bintang jatuh ke dalam gubuk reyot itu dan menjelma seorang gadis yang cantik jelita.

“Aku akan menamakanmu Putri Bintang juga,” kata nenek itu.

Waktu demi waktu berlalu. Nenek itu sekarang memiliki dua putri bintang yang selalu membantunya bekerja serabutan. Tentu saja hidup nenek itu kini lebih menyenangkan dari sebelumnya. Uang yang dihasilkan oleh kedua putrinya kini lebih banyak. Dia mulai merenovasi gubuknya sehingga tidak reyot lagi. Dinding kayunya sudah diganti semen. atap sengnya sudah diganti genting, dan lantai tanahnya sudah diganti keramik. Namun, dia masih tidur bersama kedua putrinya di dalam satu kamar yang sempit.

“Ya Tuhan, aku ingin membangun dua kamar di dalam rumahku, jadi aku mohon, berikanlah aku seorang anak lagi,” kata nenek itu penuh harap.

Sebuah bintang jatuh ke dalam rumah nenek itu dan menjelma seorang gadis yang cantik jelita. “Aku akan menamakanmu Putri Bintang juga,” kata nenek itu sambil tersenyum.

Begitulah. Setiap malam bintang demi bintang jatuh ke dalam rumah nenek itu sampai tak ada lagi bintang yang tersisa di langit malam. Semua bintang itu kemudian berubah menjadi gadis jelita. Semua putri bintang itu bekerja serabutan seperti mencuci pakaian milik warga kampung sebelah, mencabuti rumput liar yang tumbuh di halaman rumah orang, dan sesekali menjadi kuli panggul di pasar—bahkan sekarang sudah ada yang bekerja di sawah, peternakan, dan juga perkebunan. Mereka bekerja setiap hari demi menyenangkan hati nenek itu.

“Duhai, Putri-Putri Bintangku yang cantik jelita, sayangilah tubuh kalian dengan beristirahat yang cukup. Tidurlah sekarang sebab besok kalian harus bekerja kembali,” kata nenek itu dengan penuh perhatian, sambil menghitung berlembar-lembar uang hasil keringat putri-putri bintang.

Hingga suatu malam, nenek itu memohon lagi kepada Tuhan, “Ya Tuhan, aku ingin sekali memiliki rumah seluas istana, lengkap dengan kolam renang dan pacuan kuda. Jadi, aku mohon, berikanlah aku seorang anak lagi.”

Tidak lama kemudian, karena tidak ada lagi bintang di langit malam, rembulan pun jatuh menimpa rumah nenek itu.

(*)

Lukisan karya Sandro Boticelli yang berjudul “Trial of Moses karya Sandro Boticelli”

Bagikan artikel ini:

Tinggalkan komentar