I Hate Math

Pak Lukas, guru matematika yang terkenal killer dan ganteng di sekolah, sedang membagikan hasil ulangan tengah semester. Satu persatu siswa dipanggil ke depan. Ada yang bersorak girang, ada juga yang menunduk lesu. Nadin, Haura, Radit termasuk yang berseri-seri melihat angka yang tertera di atas kertas. Mereka bertiga memang pentolan matematika di Kelas XI IPA 2. Sementara Inu, salah satu yang tak bersemangat menerima hasil ulangan.

Selesai membagikan kertas paling terakhir, Pak Lukas keluar kelas bersamaan dengan bel istirahat berbunyi. Beberapa siswa masih betah duduk di bangku sambil ngobrol, bercanda atau menyalin tugas pelajaran selanjutnya.

Kertas bertulis angka 40 membuat bibir Inu mengerucut. Berjalan gontai menuju bangku ketiga dari belakang. Begitu sampai, Inu duduk menelungkup dan meletakkan kertasnya di meja, tangan kanan menutupi angka 40. Nadin yang duduk di sebelah Inu, melirik. Berusaha mengintip. Seperti tahu apa yang dipikir Nadin, Inu segera menggeser kertasnya tepat di depan Nadin.

“Nad, nilaiku jeblok lagi. Parah kali urusan berhitung ini. Kalau Mama sampai tahu, marahnya bisa duakali lipat dari kemarin. Pas nggak sengaja beresin kamarku, lihat hasil ulangan harian math yang nilainya 55. Nah, sekarang..” kalimatnya menggantung. Inu menjawab masih dalam posisi menaruh kepalanya di atas lengan kiri, sambil menatap Nadin dengan tampang sedih.

“Terus?” Nadin menunggu kalimat Inu selanjutnya.
“Nilaiku lebih buruk dari kemarin. Bisa-bisa nggak dikasih makan aku.” Keluh Inu.
“Nggak usah lebay gitu deh, Nu. Mamamu bukannya baik banget. Masa sama anak tunggalnya bisa marah kuadrat sampai nggak ngasih makan.” Nadin mencoba menenangkan.

“Bantulah aku, Nad. Tak maulah nanti UAS lebih parah dari ini.”
Icha dan Valin ikutan nimbrung.
“Kayaknya Inu nggak bisa konsen math karena yang ngajar Pak Lukas yang kece badai ituh. Jadilah nilainya kayak aba-aba gerak jalan.” Icha mulai menggoda.
Inu balas mencebik.

“Iya, harusnya kamu semangat punya guru ganteng kaya Mas Keanu.” Valin makin semangat.
“Mau ganteng, mau jelek, tak ada pengaruhnya buat aku. Math is disaster, math is a monster, mathématiques est difficile, Mathe ist ein Alptraum, I hate math.” Inu makin merana.

Tiga sahabat tergelak mendengar cerocos Inu dalam bahasa gado-gado. Mereka tahu, intinya Inu memang tidak suka dengan matematika. Mungkin sudah phobi duluan, hingga untuk paham saja sulit. Jangankan ujian, mengerjakan soal latihan harian saja dia bisa grogi luar biasa. Keringat mengucur, telapak tangan basah, kadang-kadang bolak balik ke toilet. Beser.

“Sudah-sudah. Kasian Inu. Makin stress dia. Nanti aku minta Haura ngajarin deh. Aku kurang bisa mengajar, nggak cocok jadi guru. Aku pernah lihat Haura menjelaskan soal ke teman-teman. Asyik dan mudh dipahami. Gimana kalau Haura kita ajak belajar bareng, setuju nggak?” Nadin menawarkan solusi.
“Ide brilian itu. Kapan kita mulai belajar bersama?” Inu melompat dari duduk. Nadin mundur, nyaris jatuh.

“Besok! Sekarang ke kantin dulu. Lapar, Nu.” Nadin bergegas menggeret Inu, diikuti dua sahabat lainnya.

Mereka sepakat untuk belajar bersama di rumah Inu besok sore. Sengaja meminta Haura sesuai usulan Nadin. Bersyukur, Haura bersedia direpotkan Four season ini. Istilah teman-teman menyebut Inu, Nadin, Valin dan Icha adalah empat musim. Inu dikenal sebagai musim panas, karena bawaannya keringat terus.

Hampir semua jenis olahraga dia bisa. Nadin dikenal sebagai musim semi, bawaannya foto-foto sama bunga dan pohon membuat akun IG nya seperti akun taman dan hutan. Valin dikenal dengan musim dingin, hobinya yang dingin-dingin terus. Segala macam es, sebut saja. Valin hapal dan sudah pernah mencicipi. Terkahir Icha, disbut musim gugur, karena hobinya mengumpulkan daun-daun kering, ranting, untuk dibuat kreasi.

Dua jam berkutat mengerjakan soal, Inu awalnya bersemangat. Lama-lama dia teriak juga.
“Peningnya kepalaku, belajar math ini. Lama-lama bisa pecah pula.” Inu mulai memegang kepala dengan dua tangan.
“Apanya yang pecah?” Icha bingung.
“Kau punya kepala.” Inu berang.

“Sabaar, atuhlah. Pelan-pelan belajarnya. Insya Allah bisa. Math kuncinya Cuma banyak latihan soal saja. Besok remed math, Inu harus terbiasa mengerjakan soal yang mirip-mirip.” Haura menenangkan Inu.
“Kau tak bohong, kan?” Inu ragu.

Haura kembali membujuk Inu untuk mau mengerjakan dua soal lagi. Tentu saja tetap dituntun Haura.
Remedial math tiba, Inu sudah tidak sepanik biasanya. Satu kelas, yang remed math hanya Inu seorang. Teman-teman menyemangati Inu, yang duduk di bangku paling depan. Berhadapan dengan meja guru.

Pak Lukas yang ganteng dan killer itu ternyata baik hati juga hari ini. Inu hanya mengerjakan 5 soal esai. Dalam waktu 30 menit Inu dapat menyelesaikan soal. Kertas ulangan langsung dikoreksi Pak Lukas.
“Hebat kamu, Ini buktinya kamu bisa. 4 soal jawabanmu benar. Satu soal masih kurang teliti. Nilaimu 80.” Pak Lukas menyerahkan selembar kertas bernilai 80.

Inu melonjak kegirangan.
“Ini benar nilai aku 80, Pak? Tak salah lihat aku, Pak? Besok-besok kalau ulangan jangan banyak-banyak lah, soalnya. Pusing aku!” logat batak Inu membuat Pak Lukas tersenyum lebar.

Nadin, Valin dan Icha menghambur ke bangku depan. Memeluk Inu yang masih tak percaya nilainya bagus.
“Tuh, kan. Ternyata kamu bisa math juga. Benar kata Haura. Math jangan ditakutin. Math mah kudu dikangenin. Kerjakan soalnya, dijamin bisa deh.” Nadin menepuk pundak Inu.

“Alhamdulillah.. ternyata aku bisa math. Tak jadi embargo kalau begini.” Inu masih memandangi angka 80 di kertas ulangannya.

Inu yang sangat benci math, akhirnya bisa juga mengerjakan remedial dengan hasil baik. Ternyata kuncinya mau bersungguh-sungguh dan tak mudah patah semangat. Nilai 55, 40, tidak menunjukkan diri tak mampu. Bisa jadi, saat ulangan Inu kurang fokus. Ternyata matematika tidak sehoror namanya. Math is fun. Apalagi yang ngajar teman-teman sendiri, yang bahasanya satu frekuensi dengan Inu.

Bagikan artikel ini:

Tinggalkan komentar