Legenda Gunung Pinang

Dahulu kala, hiduplah seorang wanita renta dan anak semata wayangnya Hasan Syarif. Mereka tinggal di sebuah gubuk reyot di pesisir Teluk Banten.

Sepeninggal ayahnya, Hasan melanjutkan pekerjaan sebagai nelayan. Hasan adalah seorang pemuda yang rajin dan tangkas, namun hasil tangkapannya tidak sebanyak nelayan lainnya. Perahu Hasan kecil dan jaringnya robek di sana sini. Hidup yang serba kekurangan justru menambah semangatnya untuk menjadi saudagar kaya dan membahagiakan ibunya.

Suatu ketika Hasan menyampaikan niatnya untuk merantau.

“Ibu, ada kapal besar di Pelabuhan. Kule mau kerja di situ. Kule yakin bisa jadi orang besar. Boleh, Bu?” pinta Hasan.

Semula ibunya menolak, tapi niat Hasan yang membaja mampu meluluhkan hatinya.

Ding, Ibu sedih berpisah denganmu, tapi Ibu restui niatmu merantau ke Malaka,” ucap ibu Hasan.

“Bawalah si Ketut, seringlah berkirim kabar. Pulanglah, bila Ding sudah berhasil!” imbuhnya.

Teuku Abu Matsyah, sang Saudagar kaya sangat menyukai Hasan. Hasan merupakan anak buah yang rajin, pekerjaannya nyaris sempurna dan rapi. Hasan pun menjadi orang kepercayaan Teuku Abu.

Karakter Hasan yang baik dan sopan juga mampu menarik perhatian Siti Nurhasanah, putri Teuku Abu. Melihat gelagat putri kesayangannya, Teuku Abu pun meminta Hasan untuk menikahi putrinya. Hasan sungguh merasa tersanjung karena Nur seorang yang berbudi luhur dan cantik.

Tidak berapa lama setelah pernikahan mereka, Teuku Abu meninggal dunia. Hasan pun melanjutkan usaha dagangnya. Usahanya berkembang dan keuntungannya meningkat dari tahun ke tahun.

Sayang kesuksesan Hasan tidak sampai ke telinga ibunya. Hasan telah lupa berkirim kabar melalui Ketut, Si Burung Perkutut.  Setelah bertahun-tahun merantau, Hasan merindukan Banten. Hasan mengajak istrinya untuk berkunjung ke kampung halamannya.

Kedatangan kapal besar dan megah menarik perhatian para penduduk Banten untuk berbondong-bondong melihatnya. Di antara kerumunan itu, terlihat seorang nenek berpakaian lusuh, dia adalah ibu kandung Hasan.

Perempuan tua itu ragu, benarkah pemuda gagah pemilik kapal itu adalah putranya. Namun saat ia melihat burung perkutut yang bertengger di pundak pemuda itu, keraguannya sirna.

“Hasaaann, Hasaaan. Ini Ibu, Ding. Ini Ibu,” teriaknya.

Mendengar teriakan itu, Hasan sungguh terkejut dan malu.

“Suamiku, bila kau mengenalinya, jawablah panggilannya,” ujar istri Hasan.

“Tidak, Istriku, aku tidak mengenalnya,” jawab Hasan menahan malu.

“Ibu, mohon maaf, sepertinya Ibu salah orang. Suamiku bilang, dia belum pernah bertemu dengan Ibu,” ucap Nur setengah berteriak agar suaranya terdengar.

Ibu Hasan tertunduk dan meneteskan air mata. Hatinya pedih karena anak kesayangannya telah mengingkarinya.

Ia pun duduk bersimpuh memanjatkan doa agar Pemilik Semesta menunjukkan kebenaran yang ada.

“Ya, Tuhanku, bila benar pemuda itu bukan anakku, biarkan kapal itu berlayar. Namun, bila dia anakku, berilah ia pelajaran,” ucap Ibu Hasan.

Tiba-tiba badai muncul seperti ingin menghancurkan kapal Hasan. Seisi kapal dibuat takut dan panik. Kemudian muncul keajaiban, Si Ketut mampu berbicara seperti manusia.

“Tuanku, perempuan tua itu adalah ibumu. Ia, Ibumu,” ujar Ketut berulang-ulang.

“Suamiku, bila memang Ia adalah Ibumu, aku mohon akuilah. Aku tidak ingin suamiku menjadi anak durhaka,” sedu istri Hasan.

Seketika Hasan tersadar, “Maafkan kule, Ibu. Ding salah. Kule mohon ampun, Bu.”

Angin puyuh mengguncang kapal megah itu, semua orang terlempar keluar dan terseret ombak ke tepi pantai. Hasan beserta istri dan anak buahnya selamat. Namun kapalnya terlempar jatuh ke arah selatan dan jatuh tertelengkup. Perahu megah itu telah menjelma menjadi sebuah gunung yang kini disebut sebagai Gunung Pinang.

Sedangkan, Hasan akhirnya tinggal kembali bersama ibu dan istrinya di Banten. Ia mulai berdagang dari awal lagi karena seluruh hartanya telah lenyap bersama kapal yang membatu.

Bagikan artikel ini:

7 pemikiran pada “Legenda Gunung Pinang”

Tinggalkan komentar