Obat yang Enak

Sudah sebulan ini Raja Zhorifiandi tidak bisa buang air besar. Perut raja membuncit dan mukanya ditumbuhi banyak jerawat. Mulutnya penuh dengan sariawan. Aroma tidak sedap juga ke luar dari mulut raja.

Beberapa tabib istana menyarankan raja supaya banyak berjalan kaki. Dengan patuh, raja berjalan kaki keliling istana. Namun, itu belum menyembuhkan konstipasinya karena raja hanya berjalan kaki lima menit saja. Tabib lain membuat ramuan obat. Lagi-lagi raja menolak minum ramuan itu karena rasanya sangat pahit.

Setelah membongkar koleksi buku di perpustakaan, Paman Patih menemukan informasi mengenai daun-daun yang bisa menyembuhkan penyakit raja. Daun-daun itu tumbuh subur di pekarangan istana.  Paman Patih memetik daun itu dan menghidangkannya untuk raja.

“Tidak. Aku tidak mau makan itu,” kata raja. Muka raja merah menahan geram.

“Maafkan hamba, Tuan. Tetapi daun-daun ini bisa menjadi obat. Rasanya tidak pahit. Tuan bisa mengunyahnya,” bujuk Paman Patih.

Raja menggeleng kesal. “Mulutku penuh dengan sariawan. Bagaimana aku bisa mengunyah?”  Raja pintar mencari alasan.

Paman Patih tidak hilang akal. Dia teringat Bubur Tinutuan, satu jenis makanan yang dihidangkan ketika dia berkunjung ke kerajaan tetangga. “Hmm, pasti raja mau memakannya,” pikir Paman Patih.

Paman Patih mengumpulkan seluruh koki istana dan mulai membagi tugas.

Ketika koki Ardi sedang menumbuk padi, raja bertanya, “Apakah yang akan kau hidangkan untukku?”

“Bubur Tinutuan, Tuan. Makanan lezat,” kata koki Ardi.

“Bubur ini dapat menghilangkan penyakit Tuan,” kata Paman Patih.

Raja memperhatikan bahan makanan yang ada di dekat koki Ardi. Beras, jagung, singkong, ubi merah dan labu. “Masukkan beras itu dan singkirkan bahan lainnya,” kata raja.

“Tetapi Tuan…,” kalimat koki Ardi terputus.

Dengan cepat raja meninggalkan koki Ardi dan menghampiri koki Rina. “Apakah itu semua untuk Bubur Tinutuan?” tanya raja.

“Benar, Tuan. Daun melinjo, kangkung, bayam dan kemangi. Semua ini bahan untuk membuat bubur yang enak,” jawab koki Rina.

Raja menggeleng cepat. “Jangan masukkan daun-daun itu ke dalam buburku. Aku tidak suka.”

“Tetapi Tuan…,” Koki Rina tidak melanjutkan kalimatnya.

“Tambahkan daging ayam, telur, cakwe dan kacang kedelai ke dalam bubur itu,” kata raja.

***

Pada jam makan siang, seperti biasa raja mengajak Paman Patih makan bersama. “Hmm, sungguh enak bubur tinutuan ini,” puji raja. “Rasanya sama benar dengan bubur ayam.”

“Tuan, ini bukan bubur tinutuan, tetapi bubur ayam. Bubur tinutuan mengandung daun-daun yang bisa menyembuhkan penyakit Tuan,” kata Paman Patih.

“Jadi, penyakitku tidak akan sembuh dengan bubur ini?” Raja memasukkan suapan terakhir ke dalam mulut.

Paman Patih tersenyum. “Tetapi koki istana telah menyiapkan minuman penutup yang lezat.  Rasanya manis. Tuan tidak perlu mengunyahnya.”

“Benarkah? Sekarang saja hidangkan minuman itu.”

Koki Ardi menghidangkan minuman yang berwarna hijau.

Raja memperhatikan isi gelas sekilas dan kemudian meneguknya. “Lezat sekali. Lebih lezat daripada limun.” Raja meletakkan gelas yang telah kosong. Tangannya mengelus-elus perut buncitnya. “Minuman apa ini?” Namun, raja tidak sempat mendengar jawaban Paman Patih. Raja tertidur karena makan terlalu kenyang.

Paman patih dan koki istana menunggu dengan tenang. Benar saja, tidak lama kemudian, raja terbangun. “Eh, minuman apa ini tadi?” tanya raja.

“Minuman ini terdiri dari madu, pepaya dan …”

“Maaf.  Aku harus meninggalkan kalian….”  Setengah berlari, raja menuju toilet sambil memegangi perutnya.

“…dan berbagai macam daun-daun yang berkhasiat,” lanjut Paman Patih. Paman Patih dan koki istana tersenyum lega mengetahui raja sudah bisa buang air besar lagi.

Bobo 15/XLI 18 Juli 2013

Bagikan artikel ini:

2 pemikiran pada “Obat yang Enak”

Tinggalkan komentar