Juara Sejati

 

Abi adalah seekor kambing gunung yang tangkas dan pemberani. Ia suka memanjat dinding – dinding gunung batu. Ia melompat dari batu yang satu ke batu yang lain dengan lincahnya. Tak pernah terbersit ketakutan di wajahnya.

Namun, Abi juga terkenal angkuh. Ia suka memamerkan ketangkasannya agar dipuji orang.

“Aku adalah kambing terhebat di lembah ini. Aku satu – satunya kambing yang berhasil menaklukan gunung itu”. Kata Abi sambil menunjuk ke arah Gunung Lakaan[1].

“Aku tak heran dengan kehebatanmu memanjat. Tuhan memberimu kaki – kaki yang kuat dan lincah” Puji seekor sapi.

“Kaki – kakiku yang kuat dan lincah ini bukanlah pemberian Tuhan, melainkan hasil latihanku yang tak kenal lelah.” Kata Abi sambil meloncat – loncat menunjukan kebolehannya.

“Wah, luar biasa sekali. Engkau pantas disebut kambing gunung terhebat”. Puji seekor kuda.

Pujian itu membuat Abi menjadi semakin sombong. Ia jarang berdoa dan lebih sering menghabiskan waktu dengan berlatih dan terus berlatih.

Selain Abi, ada juga kambing gunung yang lain. Namanya Bere. Ia adalah seekor kambing gunung yang pemalu. Mengapa ia pemalu? Ternyata satu kaki depannya lebih pendek dari tiga kakinya yang lain. Walaupun pemalu, Bere suka membantu sesama. Ia percaya bahwa semua makhluk adalah ciptaan Tuhan. Karena itu baginya menolong sesama berarti membantu Tuhan.

Kakinya itu patah ketika menolong Bobi, sahabatnya.  Bobi terjebak di sebuah tebing di lereng Gunung Lakaan. Tebing itu sangatlah terjal. Bere mampu memanjat dan menurunkan Bobi dengan selamat. Namun keberhasilannya harus dibayar mahal. Satu kaki depannya terpaksa diamputasi.

Suatu hari para kambing sejagat akan melaksanakan perlombaan panjat tebing di lereng Gunung Lakaan. Abi ikut mendaftar. Ia sangat yakin akan memenangkan perlombaan itu dengan mudah. Namun Bere tak ikut mendaftar. Ia tahu bahwa ia tak mungkin menang hanya dengan mengandalkan tiga kakinya.

Tanpa sepengetahuan Bere, Bobi mendaftarkannya untuk mengikuti perlombaan itu. Bobi percaya bahwa Bere mampu mengalahkan Abi. Sebab Bobi pernah melihat betapa tangkasnya Bere.  Bere meloncat seperti seorang penari, lincah dan cekatan.

Niat baik Bobi, ditolak oleh Bere. Alasannya ia malu diejek oleh kambing – kambing gunung yang lain. Tetapi Bobi tidak berputus asa. Ia terus menerus memotivasi Bere.

“Aku tak setangkas dulu, Bobi. Aku kini hanyalah kambing gunung yang malang. Kaki – kakiku tak bisa melompat dan memanjat.” Kata Bere.

“Janganlah Engkau merendah, Bere. Aku yakin, engkau masih setangkas dulu. Engkau hanya butuh berlatih.” Bobi memberi semangat.

“Otot – ototmu perlu dilatih agar bisa luwes. Jika engkau mau aku akan menemanimu berlatih”. Lanjut Bobi.

“Apa engkau yakin menemaniku berlatih?” Tanya Bere tak percaya.

“Ya, aku sangat yakin.” Jawab Bobi sambil menepuk punggung Bere.

Sejak hari itu, Bere dan Bobi pun berlatih. Mereka memanjati bukit – bukit batu yang ada di lereng Gunung Lakaan. Mulai dari bukit –bukit batu yang rendah, hingga bukit batu yang tinggi. Sekalipun kadang – kadang ia tergelincir tetapi Bere mampu memanjati semua bukit batu  itu dengan baik.

Hari perlombaan pun tiba. Kambing – kambing gunung dari segala penjuru negeri berdatangan.  Abi dan Bere pun ikut berbaris di lereng Gunung Lakaan.

“Si malang Bere, ini bukan tempatmu. Kau tak pantas ada di perlombaan ini. Pulanglah, urus saja ladang rumputmu. Hahaha.” Abi mengejek Bere.

Bere tak menggubris. Dengan tenang ia menanti aba – aba dari kepala suku.

“Siapa pun yang tiba pertama di puncak Gunung Lakaan, dia adalah pemenangnya.” Teriak kepala suku.

“Apakah kalian siap?” Tanya kepala suku.

“Siap!” Jawab kambing – kambing gunung itu. Suara mereka bergemuruh.

“Dalam hitungan ketiga, silakan kalian memanjat.”

Kepala suku hening sejenak. Abi dan Bere tampak bersiap – siap. Semua penonton ikut hening.

“Satu, dua, tiga!” Teriak kepala suku diikuti sorak – sorai penonton serta gemuruh lari para peserta lomba.

Para kambing gunung mulai memanjat. Abi terlihat sangat lincah. Ia melompat dari satu batu ke batu yang lain meninggalkan kambing – kambing lainnya. Bere tertinggal jauh di belakang. Ia meloncat dengan sangat berhati – hati. Ia takut jatuh.

“Kau pasti bisa, Bere!” Teriak Bobi memberi semangat.

Bere pun mulai mempercepat langkahnya. Ia melompat dengan sangat lincah seperti penari balet. Para penonton terkesima melihatnya. Lompatannya makin lama makin cepat dan melewati satu per satu kambing yang lain.

“Bere, Bere, Bere!” Para penonton menyorakinya.

Abi tercengang. Ia bertanya – tanya mengapa penonton tak menyorakinya. Padahal ialah yang berada di posisi terdepan. Apakah karena ia kurang tangkas? Karenanya ia memilih melewati jalur – jalur yang sulit. Untuk menunjukan betapa tangkasnya ia.

Abi pun melompat melalui dinding tebing yang terjal. Bahkan saking susahnya keempat kakinya berpijak pada satu titik. Para penonton berteriak.

“Jangan mengikuti jalur itu. Berbahaya!”

Abi tak peduli. Ia terus melompat dan melompat. Melihat aksi Abi. Bere pun mengikutinya di jalur yang sama. Ia melompat,  melompat dan melompat. Ia semakin dekat dengan Abi. Abi yang tak mau kalah berusaha lebih cepat lagi. Lalu tiba – tiba kakinya berpijak pada batu yang rapuh. Jatuhlah Abi.

Bukkk!

Beruntung tubuhnya menimpa sebuah pohon di tebing itu. Ia bergelantungan di antara dahan – dahan pohon.

“Tolong, tolong, tolong!” Teriak Abi meminta pertolongan.

Bere tak lagi memikirkan tentang lomba. Dengan cekatan, ia melompat ke pohon di mana Abi bergelantungan. Ia segera menarik Abi. Menaruh Abi di pundaknya dan membawanya menuruni tebing.

Para penonton bersorak gembira. Mereka memuji perbuatan baik Bere. Lalu kepala suku mendekati Bere dan mengalungkannya sebuah lonceng emas.

“Juara sejati, tak harus juara di gelanggang, tetapi juga juara dalam perbuatan – perbuatan baik serta dalam mengamalkan kasih”. Kata kepala suku kepada Bere.

“Aku tak pantas mendapatkan hadiah ini. Abi lebih pantas mendapatkannya.” Kata Bere.

Bere lalu mengambil lonceng emas itu dan mengalungkannya kepada Abi. Abi sangat bahagia. Ia memeluk Bere sambil meminta maaf.

Sejak saat itu, Abi tak lagi sombong.  Ia menjadi sahabat baik Bere dan Bobi. Mereka bertiga berlatih bersama, membantu sesama dan selalu berdoa kepada Tuhan.

          [1] Gunung Lakaan adalah gunung tertinggi di Kabupaten Belu.

Bagikan artikel ini:

Tinggalkan komentar