Kawa, Tak Sembarang Kuda

Ada macam-macam guna kuda di kampungku, untuk ditunggangi dan untuk mengangkut beban. Kuda yang berguna untuk ditunggangi disebut kuda tunggang. Kuda yang berguna untuk mengangkut beban disebut kuda beban. Kuda tunggangku berwarna putih susu. Di kampungku, disebut Kawa. Ia sangat jinak. Ia juga jarang sakit.

Kawa bukanlah kuda yang kekar, seperti kuda-kuda di televisi. Ia hanya kuda Sumba biasa. Badannya cenderung seperti kerdil, tetapi tidak diragukan kekuatannya. Meskipun aku dan Arun adikku berboncengan, ia tetap kuat berlari. Jangan berpikir bahwa ia adalah kuda pacu. Tidak. Ia hanya kuda yang bertugas mengantar saya ke mana pun.

Kampungku tidak bisa dilalui kendaraan bermotor. Kendaraan bermotor hanya sampai di pinggiran desa. Untuk sampai ke rumahku, aku menggunakan kuda. Kawa lah yang selalu menemaniku.

Suatu hari, aku mau ke kota. Satu hari sebelumnya, aku sudah menyiapkan Kawa. Aku memandikannya di sungai. Aku juga memberikannya rumput yang banyak. Aku berbicara dengannya seperti teman.

“Kawa, besok kita ke Hanggaroru, kamu harus kuat ya?” bisikku padanya.

Kawa hanya mengangguk seperti mengerti.

Esoknya aku menyiapkan pelana dan tali kendali untuk kudaku. Dalam perjalanan ini, aku memboncengkan adikku. Selesai makan, kami pun bersiap berangkat. Adikku memakai kursi sebagai tangga untuk duduk di belakangku.

“Jangan buang angin di atas kuda, ya” pesanku pada Arun.

“Kenapa, kak?” tanya Arun.

“Nanti belakang kudanya luka,” jawabku.

Kebiasaan di kampungku, kalau menunggang kuda tidak boleh buang angin. Katanya punggung kuda yang terkena kentut akan luka. Entah benar atau tidak, yang penting itulah yang dipesankan orang-orang tua. Banyak kuda yang luka punggungnya di kampungku. Untuk mengobatinya biasanya menggunakan arang baterai dicampur minyak kelapa. Butuh waktu lama baru sembuh.

Setelah pamit pada papa dan mama, kami pun berangkat. Sepanjang jalan aku bercerita dengan adikku. Kadang-kadang adikku menjerit ketika kuda kularikan kencang. Ia duduk menyamping seperti wanita Sumba pada umumnya ketika menunggang kuda.

Ketika sampai di jalan yang mendaki, adikku terlepas dan jatuh. Ia berteriak memanggilku sambil menangis. Rupanya pelananya licin. Aku berhenti dan turun membenarkan pelana di bagian belakangku.

Aku meminta maaf pada adikku. Kawa menunggu dengan tenang. Aku membimbing adikku mencari pijakan untuk kembali menunggang kuda. Setelah duduk dengan nyaman, aku menarik kendali kuda dan berangkat. Kami tiba di Hanggaroru dengan selamat. Di Hanggaroru, aku menitipkan Kawa pada keluarga pamanku. Sebelum itu, aku membawa Kawa ke padang rumput. Aku juga menitipkan pesan pada sepupuku untuk mengawasi Kawa. Kami lalu berangkat ke kota Melolo dengan menumpang motor ojek.

Menjelang sore, kami pulang dari kota. Aku langsung mencari Kawa. Ternyata Kawa tidak ada di tempat aku mengikatnya. Sepupuku pun bingung, tidak tahu kudaku di mana. Teman sepupuku beramai-ramai mencari Kawa. Begitu pun dengan pamanku, semua sibuk mencari Kawa. Aku sedih takut kudaku dicuri. Aku sangat menyayangi kudaku.

Karena Kawa belum ditemukan, kami terpaksa tidur di rumah paman. Aku tidak bisa tidur malam itu. Pikiranku hanya tertuju pada Kawa. Tidak terasa aku menangis. Pagi hari aku bangun dengan mata bengkak. Paman menyuruhku makan, tapi aku enggan menyentuh makananku. Aku rindu pada Kawa. Adikku tidak berani berkata apa-apa.

Hari ini aku batal pulang ke kampung halamanku. Menjelang siang aku pergi ke tempat aku biasa bermain bersama Kawa. Biasanya ketika di rumah paman, aku menambatkannya di situ sambil bermain. Sambil makan rumput, dia bisa minum air dari selokan itu. Tapi, apakah itu? Bukankah itu Kawa? Aku mengucek mataku tidak percaya. Aku berlari menghampirinya.

Ternyata benar itu Kawa kudaku. Aku periksa Hotu nya. Aku periksa capnya. Benar! Itu Kawa, kuda tunggangku. Rupanya ketika ia tidak merasakan kehadiranku, ia mnecariku. Dan tempat ia mencariku adalah tempat ini. Tempat kami biasa bermain bersama. Aku pulang dengan gembira ke rumah paman.

Aku memeluk Kawa, kudaku. Ternyata ia pun rindu dan setia padaku. Walaupun ia hanya binatang, ternyata ia bisa tahu kebiasaanku. Ia menungguku di tempat kami biasa bermain. Paman dan saudara lain ikut senang ketika Kawa, kudaku ditemukan. Sore hari, aku pamit pada paman sekeluarga. Kami berterima kasih atas bantuan paman dan sepupuku mencari Kawa. Kami pulang dengan gembira ke kampung halaman.

***

Bagikan artikel ini:

Tinggalkan komentar