Kisah Nyonya Cap

Kota Harmonali dilanda gerimis berhari-hari. Di mana-mana banyak orang flu. Di ujung jalan, seorang anak SD sedang bersin. Penjual lemper di dekat lampu merah, tengah batuk. Seorang pengamen diam-diam membalikkan badan menghadap pohon besar dan menyusut ingus dengan tisu kotor. Dokter dipenuhi pasien yang terkena flu, apotek dibanjiri pengunjung yang membeli obat flu, dan virus influenza tampaknya gemar berdiam di tubuh orang terjangkit flu.

Nyonya Cap adalah salah satu pasien yang mengantre di apotek, untuk membeli obat flu. Sebelumnya dia sudah ke dokter. Dokter menyuruhnya minum yang banyak, istirahat yang cukup, makan yang banyak, minum obat, dan terakhir: jangan banyak bicara. Anjuran terakhir ini dirasa berat oleh Nyonya Cap karena dia termasuk orang yang mania bicara.

Pada penarik becak, dia bicara kalau punya emas satu lemari. Ketika membeli kue donat dia bilang pada penjualnya kalau biasa makan donat terenak. Saat membeli baju, dia berkata pada pelayan toko kalau sering membeli pakaian mahal. Pada siapa saja Nyonya Cap bicara. Kecuali pada benda mati, tentu saja.

Setelah mendapatkan obatnya, Nyonya Cap mampir ke supermarket. Dia ingin sekali membeli buah melon. Saat itu ada seorang pelayan berdiri di samping tumpukan melon.

“Saya mau beli melon. Yang paling murah. Soalnya kemarin saya habis beli melon paling mahal. Berhari-hari saya makan melon mahal, sampai bosan. Rasanya sih memang enak. Manis seperti disuntik cairan gula. Dagingnya selembut puding busa. Saya sangat menikmatinya. Sekarang saya mau membeli melon yang biasa-biasa saja. Tenggorokan saya sedang sakit, lidah saya terasa pahit, percuma beli melon paling mahal kalau lagi sakit. Saya tak suka kalau terlalu besar karena…”

UHUK! UHUK! UHUK!

Nyonya Cap batuk-batuk sampai bahunya berguncang-guncang hebat. Nona pelayan yang berseragam putih hitam hanya bisa mengerjap-ngerjap memandangnya. Dalam hati ia membatin, kebanyakan bicara sih.

Nyonya Cap melupakan melonnya, sambil berjalan terbungkuk-bungkuk, dan batuk dia menuju ke rak air mineral. Ada seorang ibu memilih-milih minuman di sana. Mulailah dia berkomentar.

“Astaga! Kenapa harus bingung memilih minuman? Bukankah semua air kemasan ini berisi air putih? Apa Anda mencari yang harganya paling murah? Kasihan sekali! Kemarin saya habis minum air paling mahal. Rasanya sungguh seperti embun gunung di pagi hari. Sejuuuukkk sekali. Benar-benar nikmat dan saya…”

UHUK! UHUK! UHUK!

Lagi-lagi Nyonya Cap batuk. Wajahnya sampai merah padam. Ibu yang sedang memilih minuman hanya melongo. Buat apa minum air paling mahal kalau jadi batuk, kata si ibu dalam hati.

Nyonya Cap berjalan dengan kepala pening, terbungkuk-bungkuk dan batuk-batuk lebih parah dari sebelumnya. Ia melupakan air mineral dan ingin membeli tisu. Tapi karena sambil batuk dan berjalan membungkuk disertai kepala pusing, Nyonya Cap tak memerhatikan kemana ia melangkah.
Tanpa sengaja Nyonya Cap menabrak perempuan berambut coklat yang tengah makan es krim. Es krim duriannya terlempar.

Seorang perempuan cantik lewat di situ dan terpeleset. Ikan gurame belanjaannya terlontar mengenai wajah pelayan yang tengah mengepel.

Sang pelayan kaget. Alat pelnya menyeruduk ember berisi cairan pembersih lantai. Isi ember pun tumpah. Dua orang yang sedang jalan-jalan di sana terpeleset, menabrak rak sabun, rak panci, dan rak piring. Barang-barang di dalam rak kocar-kacir di lantai, bahkan beberapa piring ada yang pecah.

Pak Satpam Supermarket kaget melihat banyak barang bertebaran di lantai.

“Tolong jelaskan, kenapa bisa begini?” tuntut Pak satpam yang badannya mirip algojo.

“Saya terpeleset gara-gara licin,” lapor pria yang menabrak rak piring.

“Ada air tumpah lalu kami jatuh,” imbuh pria berkumis yang menabrak rak panci dan sabun.

“Maaf, saya tanpa sengaja menumpahkan ember karena kaget ada ikan terbang mengenai wajah saya,” timpal nona pelayan yang mengepel.

“Itu ikan saya! Saya terpeleset es krim hingga gurame di keranjang saya melayang,” aku si perempuan cantik.

UHUK UHUK UHUK!

“Maaf, itu es krim saya yang jatuh. Tiba-tiba ada lagi batuk-batuk, menabrak saya. Dia,” sahut perempuan berambut coklat sambil menunjuk Nyonya Cap yang masih batuk-batuk sampai berjongkok.

Pak Satpam menghampiri Nyonya Cap dan mengajaknya ke ruangan Pak Kepala Supermarket. Di sana Nyonya Cap diminta mengganti kerusakan piring yang pecah dan membantu membersihkan supermarket.

“Saya.. UHUK UHUK! Tidak mau! UHUK UHUK,” teriak Nyonya Cap.

“Kalau Anda tidak mau, terpaksa Anda harus tinggal di sini sampai besok,” tegas Pak Kepala Supermarket.

Nyonya Cap tak punya pilihan lain. Akhirnya ia bersedia membayar dan membantu para pelayan membereskan kekacauan sambil batuk-batuk dan bersungut-sungut. Nasihat dokter terngiang di telinganya. Jangan banyak bicara.

(Dimuat Majalah Bobo, Agustus 2012)

Bagikan artikel ini:

6 pemikiran pada “Kisah Nyonya Cap”

Tinggalkan komentar