Kisah Sebutir Nasi

 

Di sebuah desa kecil, di tepi hutan yang rimbun, hiduplah seorang tukang kayu dengan ketiga anaknya. Istrinya telah tiada, sehingga ia harus merawat ketiganya sambil bekerja. Meskipun ia tukang kayu satu-satunya di desa tersebut, tetapi hidupnya jauh dari cukup. Penghasilannya hanya bisa untuk makan sehari-hari.

Sudah beberapa hari tukang kayu itu tidak bekerja. Tak ada satu penduduk desa pun yang membutuhkan jasanya. Mereka sedang sibuk panen raya. Hasil bumi yang melimpah membuat semua perhatian penduduk tercurah pada lahan masing-masing. Pagar yang miring, dinding yang melapuk, kursi yang patah, atau atap yang bocor sementara mereka abaikan. Tentu saja, itu membuat tukang kayu tidak mendapatkan penghasilan untuk beberapa hari lamanya. Sementara beras sudah tak ada, uang pun tiada juga. Beras terakhir sudah dimasak dua hari lalu. Kemarin, mereka terpaksa menyantap ubi jalar sisa yang ditemukannya di sudut dapur. Itu pun hanya cukup untuk sarapan dan makan siang ketiga anaknya. Ia mencukupkan diri dengan hanya minum air putih.

“Ayah, aku lapar,” kata si bungsu yang sedang sakit.

“Perutku terus berbunyi, Ayah,” sahut anak kedua.

“Aku lemas, Ayah” sambung anak ketiga.

Tukang kayu itu hanya bisa memeluk mereka bertiga sambil meminta untuk bersabar. Diam-diam ia menangis. Tak tega melihat ketiga anaknya yang kelaparan. Ingin rasanya ia mengetuk pintu salah satu rumah penduduk dan meminta beras barang seliter. Namun, ia terlalu malu untuk melakukannya. Selama ini, meskipun hidup dalam kemiskinan, tetapi pantang baginya untuk meminta-minta.

Tiba-tiba terdengar pintu diketuk. Tukang kayu bersegera membuka, berharap ada upah yang bisa diterima hari ini. Ternyata tamu yang datang menyampaikan undangan dari kepala desa untuk berkumpul di rumahnya. Semua kepala keluarga wajib datang.

Tukang kayu memberi tahu ketiga anaknya bahwa ia harus ke rumah kepala desa. Ia menduga ada pembagian bahan makanan seperti yang biasa dilakukan.

“Semoga ada makanan yang bisa Ayah bawa,” katanya.

Sesampainya di rumah kepala desa, tukang kayu terperanjat melihat jamuan yang melimpah ruah. Rupanya kepala desa mengadakan syukuran atas keberhasilan panen tahun itu. Semua kepala keluarga dipersilakan untuk makan dan minum sepuasnya. Tentu tukang kayu pun merasa sangat bersemangat. Dua hari sudah perutnya hanya berisi air. Melihat makanan enak yang begitu banyak, perutnya berbunyi keras tak terkendali.

Namun, saat  tangannya hendak mengambil piring, tetiba terbayang ketiga anaknya yang kelaparan di rumah. Ia menghentikan gerakannya dan tidak jadi mengambil makanan. Kepala desa yang melihat hal tersebut mendekati dan bertanya apakah tukang kayu sakit.

Tukang kayu hanya menggeleng mendengar pertanyaan kepala desa. Terpaksa ia mengambil makanan untuk menghormati kepala desa dan menyantapnya dengan tanpa selera. Tukang kayu buru-buru menghabiskan makanan dalam piringnya, hingga tak sadar ada sebutir nasi tertinggal di sudut bibirnya. Ia pun bersegera pulang ke rumahnya.

Sesampainya di rumah, ketiga anaknya menyambut dengan antusias. Mereka merubung tukang kayu yang terduduk lemas.

“Ayah tidak membawa makanan?” tanya anak pertamanya.

Tukang kayu memeluk mereka bertiga dan menyampaikan permohonan maaf sambil menangis. Tiba-tiba anak bungsunya berseru, “lihat! ada nasi di pipi Ayah!”

Serentak ketiga anaknya melihat ke arah yang ditunjuk si bungsu dan berebut untuk mengambilnya.

Bagikan artikel ini:

Tinggalkan komentar