Tamu di Pagi Hari

Sudah sepuluh menit Naya habiskan untuk menunggu Bunda yang berjanji akan  menemaninya pergi ke toko buku. Naya mulai tidak sabar. Tiap sebentar jam tangan diliriknya. Naya berjalan mondar mandir, dari ruang tamu ke ruang tengah.

Akhirnya Naya naik ke lantai dua, menuju kamar Bunda dan mengetuk pintu kamar. “Bun, ayo dong. Sudah siang nih.”  Naya menunggu sejenak. Tidak terdengar suara Bunda dari dalam kamar. “Bun…Bunda….” Tetap tidak ada sahutan.

Naya membuka pintu kamar Bunda dan melongokkan kepalanya. Bunda tidak ada di sana. Kamar Bunda kosong, tetapi terdengar suara air mengalir dari dalam kamar mandi. “Hm, berarti Bunda masih di kamar mandi,” pikir Naya.

Tiba-tiba bel rumah berbunyi. Dengan cepat, Naya turun ke lantai bawah. Sebelum membukakan pintu, Naya mengintip sejenak dari balik tirai.

Seorang perempuan tinggi, berkaca mata hitam besar dan memegang payung berdiri di dekat pintu pagar.

“Siapa ya?” pikir Naya. Dia belum pernah melihat perempuan ini. Naya berjalan mendekati pagar. “Tante cari siapa?” tanya Naya ke perempuan itu. Sepintas perempuan ini mirip artis top.

“Ini rumah Ibu Riani, kan?  Saya Tante Tisna, teman kuliahnya dulu.”  Suara Tante Tisna terdengar merdu.

“Iya. Sebentar ya, Nte.”  Naya membukakan pintu pagar untuk Tante Tisna dan mengantarnya ke ruang tamu.

“Wah, rumah ini rapi sekali. Tante baru sekali ini ke sini,” kata Tante Tisna sambil melihat ke sekeliling rumah. “Eh, Ibu ada kan?”

“Ada, Nte. Bunda lagi mandi.”

“Ibu kalau mandi lama ya?  Eh, Bunda, maksud Tante,”  kata Tante Tisna membetulkan. “Dulu, Bunda sering terlambat kuliah gara-gara terlalu lama di kamar mandi.”

“Oh?  Bunda tidak pernah cerita, Nte.”  Ternyata Tante Tisna tahu banyak tentang Bunda.

“Iya. Walau sering terlambat kuliah, Bunda selalu dapat nilai bagus.”

Naya tersenyum. Dia mengakui kalau Bunda pintar. Banyak penghargaan yang diterima Bunda sebagai arsitek.

“Seluruh dosen di fakultas sastra memujinya,” lanjut Tante Tisna.

“Mereka semua kenal Bunda?” tanya Naya. “Bunda hebat, dikenal oleh dosen dari fakultas sastra, padahal Bunda kuliah di fakultas teknik,” pikir Naya.

“Oh iya. Bunda dulu terkenal di fakultas sastra,” ujar Tante Tisna.

“Hmm, pantas saja,” pikir Naya. Hampir setiap kali bepergian, Bunda bertemu temannya.

“Bunda masih suka berenang?  Dulu Bunda rajin berenang. Setiap minggu pasti Bunda berenang.”

Naya mengangguk. “Sekarang Bunda jarang berenang, Nte.”

“Eh, kamu kelas berapa?” tanya Tante Tisna.

“Kelas enam, Nte.”

“Oh, sudah kelas enam ya?”  Tante Tisna tampak terkejut. “Tante kira masih kelas tiga.”

Naya hanya tersenyum saja. Sudah seringkali orang mengira kalau dia anak kelas dua atau tiga. Dan setiap kali dia mendengar komentar seperti itu, Naya hanya berkata dalam hati, “Badan sih boleh kecil, tapi otak tetap besar.”

“Tidak sangka anak Bunda Riani sudah kelas enam. Sepertinya baru delapan tahun lalu Bunda melahirkan. Waktu kamu lahir, tante datang ke rumah bersalin.  Ah,… waktu cepat berlalu,”  lanjut Tante Tisna.

Tiba-tiba terdengar suara langkah kaki Bunda mendekati ruang tamu. Ketika melihat Tante Tisna, Bunda tampak terkejut. “Siapa ya?” tanya Bunda sambil menjulurkan tangan untuk bersalaman dengan Tante Tisna.

Tante Tisna juga tidak kalah terkejut. Namun dia berdiri, menyambut uluran tangan Bunda. “Saya Tisna. Saya kira ini rumah Riani, teman kuliah saya dulu.”

“Saya Riani. Tapi sepertinya kita belum saling kenal.”

“Iya. Maaf, saya sepertinya salah alamat. Eh, ternyata ini bukan rumah Riani yang saya kenal. Maaf. Kalau begitu, saya permisi. Maaf… maaf.”  Tante Tisna tampak gugup.

“Ah, tidak apa-apa,” jawab Bunda tersenyum.

Kemudian Bunda dan Naya mengantarkan Tante Tisna ke luar.

Setelah Tante Tisna pergi, Naya tertawa. “Hahaha.”

Bunda mencolek pundak Naya dan berkata, “Lain kali, panggil Bunda dulu, sebelum mempersilakan tamu yang tidak dikenal untuk masuk ke dalam rumah.”

Bobo No. 34/XXXVIII 2 Des 2010

Bagikan artikel ini:

Tinggalkan komentar