Kucing Belang

Saat pertama Ayah membawa kucing belang itu ke rumah, aku sedang kesal karena tidak dibolehkan ibuĀ  bermain di lapangan. Aku menutup telinga saat terdengar gesekan sandalĀ  dua sahabatku yang akan ke lapangan, _padahal kami berjanji mengumpulkan batu untuk kami lempar ke dalam kolam_. Mereka riang sekali. Sementara aku terduduk sepi di ruang tamu. Aku mendengar suara kucing dari dalam keranjang dan suara Ayah yang memanggilku untuk membantunya.

Aku menoleh. Seekor kucing keabuan dengan loreng oren di wajahnya membuatku terkesima. Ayah menyuruhku mengendong kucing itu. Aku tidak menolak dan merasa senang saat bulunya yang halus menyentuh lenganku.

“Meong…”

“Kau suka melihatnya?” tanya Ayah. Aku mengangguk cepat.

“Tapi sayang sekali, kucing itu bukan punya kita.” Ibu datang dan melihat kucing dengan tatapan tidak senang.

“Tidak apa-apa, Kita bisa bermain sebentar ya Pus?”

Ayah membersihkan keranjang kucing lalu berbisik pada ibu. Aku yakin mereka akan membuat kucing ini pergi.

“Meong.”

Iya tidak apa-apa. Aku akan membuat kenangan dengan kucing ini sebelum ia dikembalikan kepada pemiliknya. Satu dua tiga, kucing melompat dari gendongan dan berlari kesana kemari. Aku mengejarnya dan mendapati barang-barang di meja berserakan. Benang wol ibu berjatuhan dan buku-buku juga bergeser dari tempatnya. Semua jadi kacau dan membuatku berdebar mengejarnya.

Saat Ayah dan Ibu melihat kejadian itu, aku menghela napas lalu berkata. “Aku tidak mau kucing, Ayah. Ibu bisa membawanya keluar. Aku akan baca buku saja di kamar dengan secangkir susu dan roti panggang.”***

Bagikan artikel ini:

Tinggalkan komentar