Layang-layang Iyang

Sore itu Iyang menangis keras-keras. Layangannya hilang. Setelah bertanya pada Ibu, Iyang jadi tahu, layangannya sudah dibuang oleh bibi. 

Bibi  minta maaf. Bibi baru mulai bekerja kemarin, jadi ia belum tahu kalau Iyang suka berkreasi dari barang bekas pakai.

Namun, Iyang masih marah. Layangan itu dibuatnya dengan susah payah. Iyang membuat gambar rancangan, mencari bahan dari plastik-plastik bekas di dapur, bahkan sempat berdebat dengan Ibu saat akan meminta sapu lidi.  Sehari penuh Iyang membuatnya. Sampai tidak sempat main bersama teman-teman. 

Pagi esoknya, jam sudah menunjukkan pukul 6. Seharusnya Iyang sudah mandi dan siap untuk sarapan, tapi Iyang tidak mau sekolah. Iyang masih kesal. Ia ingin mogok sekolah saja. Apalagi ini hari Senin. Hari Senin ada upacara. Upacara berarti berdiri lama. Iyang makin malas. 

Iyang melirik ayah yang sedang serius melihat layar ponsel. Iyang mendengkus. Hatinya makin kesal. Ayah pasti tak peduli. Bagi Iyang, Ayah sama sekali tak menyayanginya. 

Akan tetapi, Ibu mengingatkan bahwa hari ini ada pelajaran Bahasa Sunda. Pelajaran kesukaan Iyang. Iyang teringat janji Bu Guru untuk membacakan fabel baru. Walau tidak terlalu paham artinya, Iyang suka fabel dalam bahasa Sunda, apalagi kalau dibacakan, karena logatnya lucu. Akhirnya, Iyang berangkat sekolah. 

Namun, saat upacara Iyang malah muntah-muntah. Ibu guru pun menelepon ke ponsel Ibu. Sayangnya, ibu sedang keluar untuk olah raga.  Ayah yang akan menjemput.

Tiba-tiba, Iyang jadi gelisah. Ayah jarang bicara. Iyang pikir, jangan-jangan Ayah akan mengira Iyang pura-pura. Ayah selalu serius bekerja. Saat sakit pun, Ayah masih bekerja dari rumah.  Iyang juga yakin Ayah akan menjemputnya dengan terburu-buru karena harus langsung ke kantor. 

Ayah menjemput dengan motor vespa tua. Iyang tidak mengerti kenapa ayahnya memakai vespa itu, padahal ada motor biasa yang lebih bagus, nyaman, dan pasti lebih cepat.

Ternyata, Ayah tidak langsung pulang ke rumah. Iyang diajak mampir ke warung bubur ayam. Ayah menyuruh Iyang makan yang banyak. Bubur ayam yang hangat dan teh manis yang juga hangat membuat badan Iyang terasa lebih nyaman. 

“Masih mual?” tanya Ayah. Iyang menggeleng. Iyang memang sudah merasa lebih baik. Saat upacara tadi, Iyang mengingat lagi nasib layang-layangnya. Lalu tiba-tiba ia jadi kesal, lalu perutnya terasa mual. Entah bagaimana, ia jadi muntah-muntah. 

Ayah kembali mengajaknya naik vespa. Semilir angin sepoi-sepoi membuat Iyang merasa nyaman. Lalu, ayah menepi di samping lapangan bola. Ayah menyuruh Iyang menunggu, karena Ayah mau ke warung sebentar, tak jauh dari sana.

Mata Iyang melebar saat melihat Ayahnya kembali sambil menenteng sesuatu. 

Layang-layang! 

“Ayo, main!” kata Ayah.

Iyang tersenyum lebar. Sejak kecil, Iyang sangat ingin main layang-layang, namun tak ada yang menemani. Semua kakaknya perempuan, mereka tak ada yang mau main layang-layang. Teman-teman di kelas pun tak ada yang suka main layang-layang, mereka lebih suka main game. Membosankan. 

Ayah mengajari Iyang cara main layang-layang. Iyang senang sekali. Awalnya, Iyang kesusahan membuat layangannya terbang, namun Ayah sabar sekali mengajarinya. Akhirnya layang-layang mereka terbang tinggi! Tinggi sekali! 

Hari mulai terik. Ayah bilang, mereka harus segera pulang. Iyang mengangguk. Sebelum pulang, Iyang memeluk Ayahnya.

“Terima kasih, Ayah!” kata Iyang sambil memeluk Ayahnya erat-erat. 

“Iyang, lain kali, bilang aja, ya, kalau mau main sama Ayah. Ayah memang sibuk, tapi insyaallah, Ayah akan cari waktunya.” Ayah tersenyum mengusap kepala Iyang.

Iyang melepas pelukannya. “Lho, kok Ayah tahu?”

“Tahu, lah. Ini kan, layanganmu yang dibuang Bibi kemarin?” 

Ayah menunjukkan foto di ponselnya. Pipi Iyang memerah. Dia tak sangka, Ayah memotret layangan buatannya. Iyang memang menghias layangannya dengan gambar ayah dan dirinya sedang main layang-layang. 

Mereka pun pulang ke rumah. Sekarang Iyang tahu, ternyata Ayah sayang kepadanya. 

 

___
F
eatured Image designed by brgfx / Freepik

Bagikan artikel ini:

Tinggalkan komentar