Tarian Ajeng di Negeri Impian (Part. 11)

Bab 11

Kejutan dari Ayah

“Kalian sudah siap?” tanya Ayah.

“Siap, Yah. Tapi, Bunda masih ngaca,” sahut Ajeng sambil terkikih.

Ayah mendekati Bunda. “Bunda udah, yuk. Acaranya sebentar lagi dimulai.”

“Sebenarnya acara apa, sih, Yah? Kok, pakai rahasia-rahasia segala,” cecar Ajeng.

Ayah hanya tersenyum lalu mencubit pipi gadis bergaun merah muda itu dengan gemas.

“Nanti juga Ajeng tahu. Sekarang pakai ini dulu, ya.”

“Hah! Buat apa, Yah?”

Kebingungan tampak jelas ketika Ayah akan menutup mata Ajeng menggunakan sapu tangan. Meski penasaran, Ajeng tetap menurut. Apalagi saat Ayah menggandeng dan menuntunnya ke suatu tempat. Banyak tanya di lontarkan Ajeng, tetapi tak satu pun dijelaskan Ayah maupun Bunda.

Setibanya di tempat yang sudah dipersiapkan sebelumnya, Ayah memberi aba-aba ketika akan membuka penutup matanya. Ajeng pun mengangguk cepat.

“Tiga … dua … satu …!” Ayah menghitung mundur, kemudian ….

“Selamaaat ulang tahun, Ajeng!” seru semua orang.

Satu per satu menyalami Ajeng. Mata Ajeng membelalak dengan mulut menganga, tak percaya. Semua saudaranya hadir di sana. Sambil mengedarkan pandangan ke sekitar, Ajeng tiba-tiba tak bisa berkata-kata.

“Ini, tanggal berapa emang?” tanya Ajeng seraya menatap Bunda.

“Tanggal 17 September, Sayang. Ajeng lupa?”

Ajeng mengangguk, kemudian memeluk Ayah dan Bunda penuh haru. Dia tak menyangka, atap gedung hotel akan disulap dengan dekorasi indah berhias pita dan balon serba merah muda, seperti warna favorit Ajeng. Lampu kelap-kelip pun turut mempercantik panggung yang ada di sudut atap.

Mendadak lampu mati. Semua orang menjerit hingga lampu kembali menyala. Kini Ajeng dibuat terkejut kembali. Beberapa penari mengenakan kebaya, rok batik, dan selendang tampak berdiri di atas panggung.

Diiringi musik degung, para penari mulai berlenggak-lenggok di atas panggung. Degung sendiri merupakan kumpulan beragam alat musik tradisional seperti kendang, kecapi, gong, saron, dan lain sebagainya. Ajeng yang paham dengan gerakan dan musik pengiring dari tari tradisional itu, dengan mudah menebak nama tariannya.

“Ini Tari Jaipong asal Karawang, Jawa Barat, kan, Yah?”

Ayah mengangguk seraya tersenyum. Jika anak lain lebih suka pertunjukan sulap atau acara panggung modern di acara ulang tahun mereka, tidak dengan Ajeng. Dia lebih suka pertunjukan seni tradisional.

Mata Ajeng berbinar menyaksikan tarian dengan gerakannya yang sangat enerjik, unik, dan sederhana. Tarian yang menjadi gabungan dari pencak silat, wayang golek, ketuk tilu, dan tarling itu mampu membuat Ajeng terpesona. Seandainya kaki Ajeng tak cidera, mungkin saat ini dia akan ikut tampil di atas panggung.

“Ajeng suka?” tanya Ayah yang kemudian merangkul bahu putrinya.

“Suka banget, Yah. Makasih, ya.”

“Iya, Sayang. Ajeng tahu pencipta tarian ini?”

“Tahu, dong. Tari Jaipong diciptakan oleh Gugum Gumbira dan H. Suanda pada tahun 1975, Yah.”

“Wah, anak Ayah pinter.” Ayah kemudian memeluk Ajeng erat dari samping.

“Walaupun Ajeng nggak bisa ikut menari, tapi Ajeng senang, Yah, Bun. Ini hari ulang tahun Ajeng paling istimewa,” ungkapnya.

Gerakan Tari Jaipong begitu memukau. Para penonton yang terdiri dari saudaranya sendiri, ikut bersorak gembira sambil bertepuk tangan. Riuh suara tawa makin menggema ketika beberapa anggota keluarga ada yang ikut menari.

“Ha ha ha! Pade Dirga lincah banget, lihat deh, Bun, Yah. Kalian nggak ingin ikut menari?” tawar Ajeng pada kedua orang tuanya.

“Nggak, Sayang. Lihat mereka menari aja, Bunda udah seneng.”

Takut kaki Ajeng akan bertambah sakit, Bunda meminta Ajeng untuk duduk di kursi di antara mereka. Kejutan untuk Ajeng pun masih berlanjut, di tengah pentas Tari Jaipong tiba-tiba masuk seorang penari yang tak asing wajahnya. Ajeng hingga mengucek mata, barangkali salah lihat. Untuk memastikan, dia sampai bertanya pada sang ayah.

“Yah, penari yang baru naik panggung seperti Kak Sandra, ya?”

“Bukan seperti lagi, Jeng. Itu emang Sandra, penari Jaipong terkenal yang sudah go internasional,” jelas Ayah.

Mata Ajeng terbelalak mendengar penjelasan Ayah. Dia tak menyangka, penari sekelas Sandra bersedia memeriahkan pesta ulang tahunnya yang ke-12. Ayah kembali memberi tahu, Kak Sandra mau mengisi acara itu karena orang tuanya berteman dengan ayah Ajeng.

Setelah acara pentas usai, Ajeng bertepuk tangan paling keras. Dia berdiri dan menghampiri Kak Sandra yang baru turun dari panggung.

“Ini beneran Kak Sandra, ya?” Ajeng langsung menyalaminya.

“Iya, Ajeng. Selamat ulang tahun, semoga apa yang dicita-citakan Ajeng tercapai. Satu lagi, semoga kaki Ajeng cepat pulih kembali, biar bisa duet sama Kakak.”

Hampir saja Ajeng melompat gembira jika tak ingat kakinya cidera. Pipi Ajeng seketika menghangat, mendengar ajakan Kak Sandra. Hatinya pun langsung berbunga-bunga dan cahaya bintang seolah-olah ada di matanya.

“Terima kasih buat doa dan kehadirannya, Kak. Ajeng seneng banget.”

“Ajeng katanya suka menari tradisional, ya. Sudah belajar tari apa saja?”

“Banyak, Kak. Tapi, yang paling bisa Tari Gambyong. Malah Ajeng pernah dipilih ikut lomba tingkat provinsi, tapi sayang ….” Ajeng yang tak melanjutkan ceritanya. Dia justru menunduk sedih.

“Kenapa, Jeng?”

Diceritakan dari awal tentang kecelakaan yang menimpanya, tetapi Kak Sandra langsung menghibur Ajeng.

“Apa yang bagi kita buruk, belum tentu buruk. Contohnya ….” Sandra berpikir sejenak, kemudian melanjutkan, “Mungkin, jika Ajeng tak pernah mengalami kecelakaan, Ayah nggak akan membuat kejutan. Atau mungkin, Kakak nggak bersedia hadir.”

Senyum lebar seketika menghiasi wajah ayu Ajeng. Sembari mengangguk, Ajeng menggenggam tangan Kak Sandra. Dia mengucapkan terima kasih karena sudah menghiburnya.

“Jangan sedih lagi. Sekarang Kakak ingin tahu, Ajeng kan katanya suka tari tradisional. Tahu enggak gerakan-gerakan pada Tari Jaipong?”

“Tahu dong, Kak.”

Ajeng lantas menjelaskan tentang empat gerakan pada Tari Jaipong. Pertama; Bukaan, gerakan pembuka saat pementasan dimulai yang dilakukan penari dengan berjalan mengitari panggung, sembari memainkan selendang yang ada di leher.

“Kedua apa, Jeng?”

Kembali Ajeng menerangkan, tentang gerakan kedua yaitu Pencungan; gerakan tari yang cepat, penuh semangat hingga membuat para penonton ikut menikmati tariannya. Lalu ketiga; Ngala, gerakan seperti patah-patah. Gerakan ini yang menambah keunikan Tari Jaipong. Kemudian terakhir; Mincit, gerak yang menjadi perpindahan dari satu gerakan ke gerakan lain.

Begitu detail Ajeng menjelaskan membuat Kak Sandra berdecak kagum.

“Kamu betul-betul calon penari tradisional yang hebat, Jeng. Kakak jadi nggak sabar, ingin cepat-cepat kamu sembuh dan kita duet bareng,” tukas Kak Sandra.

Asyik bertukar ilmu dan cerita dengan Kak Sandra, Ajeng sampai tak menyadari kalau waktunya sudah menunjukkan jam sepuluh malam. Acara pun segera ditutup dengan menyanyi

kan lagu Selamat Ulang Tahun dan Potong Kue. Tentu, potongan pertama Ajeng diberikan untuk Ayah Bunda.

Bagikan artikel ini:

Tinggalkan komentar