Mencari Ibu

Sejak pagi Ibu pergi. Dia bilang tidak akan lama. Namun, sampai sekarang Ibu belum juga pulang.

“Jangan tinggalkan rumah. Di luar sana banyak hal berbahaya untuk anak sekecil kamu,” begitu pesan Ibu sebelum pergi.

Aku tidak bisa menyalahkan Ibu berkata demikian. Ibu sering bercerita tentang keadaan di luar rumah yang sering tidak bisa diduga. Karena itu, aku tidak pernah keluar selain bersamanya. Jadi, aku tetap menunggu. Namun, pikiranku semakin cemas tidak karuan.

Lama-lama aku tidak tahan. Kali ini aku harus melanggar perintah. Aku mau mencari Ibu!

Untuk kali pertama aku merasakan berjalan seorang diri. Aku merasa takjub dengan yang kulihat. Kakiku melangkah di atas trotoar pertokoan yang ramai dengan pejalan kaki dan gerobak-gerobak pedagang. Kendaraan berlalu-lalang memadati jalan raya. Sebentar-sebentar terdengar bunyi klakson mereka yang membuatku terlonjak kaget. Meskipun demikian, aku terus berjalan sambil terus memanggil-manggil Ibu. Sesekali aku berhenti untuk bertanya.

“Hei, aku sedang mencari ibuku. Kamu melihatnya?” Aku bertanya pada seorang anak perempuan mungil bertopi kuning. Mungkin dia seusiaku. Sayangnya, bukan jawaban yang kudapat melainkan tatapan heran dari matanya yang kecil dan sipit.

“Om, aku sedang mencari ibuku. Om tahu dia?” Aku bertanya pada seorang petugas kebersihan yang sedang menyapu jalan.

“Ibu tahu di mana ibuku?” Selanjutnya aku bertanya pada seorang perempuan tua penjual kue yang sedang duduk sambil berkipas-kipas di bangku halte bus yang sepi.

“Kakak-kakak, apakah kalian melihat ibuku?” tanyaku pada lima anak perempuan yang duduk sambil makan di dekat sebuah gerobak penjual bakso.

Tidak ada satu pun yang menjawab. Bahkan aku diusir oleh salah satu di antara lima anak perempuan tadi. Ugh, aku jadi ingin balik marah. Memangnya aku salah apa?

Aku kembali berjalan. Baru beberapa langkah, mendadak aku berhenti. Mataku melotot.

Kulihat di depan sebuah mini market, empat anak laki-laki berseragam putih-merah bergerombol sambil terbahak-bahak. Aku mengenal mereka, Kino dan gengnya. Mereka kerap mengganggu anak-anak di lingkungan tempat tinggalku. Aku juga pernah menjadi korban mereka. Entah apa salahku, mereka menendangku. Untungnya, Ibu melihat perbuatan mereka dan langsung mengejar. Kino dan gengnya pun lari tunggang-langgang. Aku selamat, tetapi setelah insiden itu, Ibu semakin ketat menjagaku.

Sayangnya, kali ini aku bertemu geng bengal itu. Seorang diri pula. Ternyata Kino keburu melihatku.

“Heh, guys, ada si kurus!” Kino menyeringai seraya menunjuk ke arahku.

Duh, gawat! Aku segera kabur berbalik.

“Kejar!” teriak Kino.

Aku berlari secepatnya. Tidak kupedulikan lajuku yang menyenggol para pejalan kaki. Di belakangku, Kino dan gengnya tidak kalah kencang memburu seraya berteriak-teriak seperti orang kesetanan. Semakin lama, mereka semakin dekat.

Kuterobos perempatan yang ramai. Ciiiit! Aku mendengar bunyi rem sebuah mobil boks berdecit sangat dekat dengan telingaku. Orang-orang di sekitar perempatan itu kontan menjerit. Sebelum kendaraan itu benar-benar menyenggol tubuhku, aku sudah tiba di seberang jalan. Aku selamat. Sementara itu, Kino dan gengnya terhadang badan mobil boks yang berhenti di jalan.

Sepertinya geng Kino tidak mengejar lagi. Aku memutuskan berhenti dan duduk di lantai pelataran sebuah toko. Napasku tersengal-sengal. Air mataku pun mulai mengalir deras.

“Ibu! Ibu di mana?” tanyaku sesenggukan. Perasaan takut dan menyesal karena tidak mematuhi pesan Ibu bercampur di dalam benakku.

“Anakku! Apa yang kamu lakukan di sini?”

Sebuah suara melengking dari belakang membuatku sontak menoleh. “Ibuuu!” Aku langsung menghambur ke arah Ibu dan menangis sejadi-jadinya.

“Kenapa kamu ada di sini? Bukannya Ibu menyuruhmu tetap tinggal di rumah?” Ibu bertanya.

“Ibu nggak pulang-pulang,” jawabku.

“Huh, kamu itu susah diberitahu. Bagaimana kalau kamu kenapa-kenapa?” omel Ibu.

“Aku minta maaf, Bu. Tapi aku takut sendirian.”

Kudekatkan tubuhku ke tubuh Ibu. Terdengar helaan napas Ibu. Mungkin dia juga merasa bersalah karena telah meninggalkanku sendirian.

.           “Ayo, kita pulang,” ajak Ibu.

Sepanjang perjalanan, aku menceritakan pengalamanku mencari Ibu.

“Aku bertanya pada orang-orang apakah mereka melihat Ibu. Tapi mereka semua tidak menjawab pertanyaanku,” keluhku.

Ibu tertawa. “Tentu saja mereka tidak akan pernah bisa memahamimu, Nak. Mereka itu manusia, punya bahasa sendiri. Sedangkan di mata mereka, kita ini hanya bisa mengeong.”

Oooh…. barulah aku paham. Ternyata itu jawaban sebenarnya. Sedetik kemudian, aku pun tertawa. Ah, yang penting aku sudah bertemu Ibu. Aku melangkah riang. Ekor kecilku yang bulat menari-nari di udara.

Mengenang Grey, kucing kecil kami, yang subuh tadi pergi untuk selamanya. Run free in heaven. Salam untuk Oreo dan Binkie di sana.

Bagikan artikel ini:

Tinggalkan komentar