Misteri Monster Berbintil di Pulau Terpencil – Part 16

Part 16 – Disekap

Tang ting tang ting tung…

Kakek mengangkat ponselnya sambil menatap anak-anak yang juga sedang menatap dirinya. “Ya, Halo! Oh, sudah siap, ya? Baik! Baik! Paket akan segera dikirimkan. Lima paket sekaligus. Bungkus yang baik, ya!” Kakek tadi tertawa renyah.

Kata ‘lima’ itu membuat anak-anak saling bertatap-tatapan. Alis Matahari bertaut. Dahi Ujang mengkerut. Dudung terbelalak. Lilis dan Bunga kembali berlinangan air mata.

BRAK!

Tiba-tiba Kakek itu menggebrak meja. Kelima anak itu kaget bukan kepalang. Wajahnya berubah tegang. “Ikat mulut dan tangan mereka lagi seperti semula. Ini sudah waktunya!” perintahnya pada para monster.

“TIDAK! TIDAK! AKU TIDAK MAU!” kelima anak itu memberontak, tapi apa daya monster-monster itu lebih kuat.

Matahari dan teman-temannya digendong paksa di pundak monster-monster itu. Sekuat apa pun anak-anak itu menolak tetap saja tidak berpengaruh. Monster-monster itu terlalu kuat! Untung mata mereka tidak ditutup. Mereka dibawa keluar dari ruangan Kakek itu.

Terdengar dari jauh suara burung riuh rendah, ramai sekali. Mungkin teriakan-teriakan dari anak-anak itu membuat burung-burung jadi panik.

Matahari kini memilih menghentikan teriakannya karena percuma jauh dari orang lain. Mending dia hemat energy untuk mencari cara meloloskan diri. Matahari fokus memperhatikan ruangan yang mereka lewati. Monster-monster itu menggendong mereka melewati tempat tadi Matahari, Dudung, dan Ujang ditangkap, di ruangan kandang burung bersekat kawat jala tebal yang berlobang-lobang kecil.

Dari kawat jala terlihat sinar matahari di luar sana sudah terang, mungkin kini sudah pukul 6.00 pagi. Pantas saja burung-burung ini sudah bangun, apalagi Dudung, Lilis, dan Bunga masih menjerit-jerit dan meronta-ronta, tentu mengganggu tidur mereka.

Ujang melihat Matahari tak lagi meronta-ronta. Ia pun berusaha tenang walaupun hatinya tak tenang.

Monster-monster itu terus berjalan menggendong anak-anak di pundak mereka. Rupanya bukan hanya teriakan anak-anak itu saja yang membuat burung-burung panik, tapi ada monster-monster lain yang sedang sibuk memasukkan burung-burung dari karung ke dalam kandang. Suara burung di ruangan itu semakin riuh.

Mereka melewati ruang lorong yang sempit itu lagi, lalu tiba di pintu yang dibuka dari luar dengan cara ditarik itu. Terdengar kicauan burung-burung yang ada di hutan. Mungkin mereka mendengar ramai kicauan temannya yang ada di dalam bangunan. Tercium bau tanah. Mungkin tadi hujan sempat turun.

Monster-monster itu terus menggendong mereka ke dalam hutan. Kali ini langkah mereka lebih hati-hati karena tanah yang licin sehabis hujan. Digendong dengan langkah yang hati-hati, Bunga, Lilis, dan Dudung tambah menjerit-jerit.

Mereka sampai di pinggir pantai. Pantai ini terletak di sisi lain dari Pulau Pamali. Pantas saja kemarin Ujang dan teman-temannya tidak tahu ada dermaga kecil di sini untuk perahu atau kapal berlabuh. Di pinggir dermaga sudah ada monster-monster berbintil yang lain. Beberapa ada yang duduk memperhatikan laut. Mereka seperti sedang menunggu sesuatu.

Entah mengapa di pantai itu para monster menaruh anak-anak terpisah. Dudung, Lilis, dan Bunga saling berdekatan. Mungkin karena ketiga anak itu terus menerus memberontak. Beberapa monster terus mengawasi gerak-gerik ketiga anak itu.

Matahari dan Ujang ditaruh di ujung lain. Mungkin karena Matahari dan Ujang bersikap tenang. Ada dua monster yang bertugas menjaga Matahari dan Ujang. Sejak di bangunan kayu tadi para monter tidak ada yang bercakap-cakap, tapi kedua monster penjaga Matahari dan Ujang ini kini malah asik minum air kelapa sambil berbisik-bisik.

Matahari menajamkan pendengaran dan pandangannya. Ia pelan-pelan merangkak sambil menggeser kaki dan bokongnya, seperti gerakan ngesot mendekati dua monster itu. Ia ingin lebih jelas mendengar perpincangan keduanya. Ujang memperhatikan Matahari. Matahari memberi kode agar Ujang mengikuti caranya. Maksud Matahari agar mereka tidak terpisah jauh, sehingga monster-monster itu tidak menaruh curiga.

“Hebat, ya, Bos tidak marah dengan kelima anak itu?” bisik salah satu monster.

Matahari terbelalak. Moster-monster itu bisa bicara!

“Mereka masih anak-anak, mereka ke sini juga karena perahunya rusak. Mereka tidak bawa senjata, hanya peralatan kemping, jadi tidak ada yang perlu ditakuti.”

“Kenapa dua anak perempuan itu ditangkap terpisah dari anak-anak laki-laki?”

“Kemarin Grup Dua sedang mengintai sekelompok burung ekek geling jawa, kau tahukan itu burung langka? Kalau dijual ada harganya. Grup Dua dari kemarin siang sudah mengintai burung-burung itu, bahkan umpan serangga mati juga sudah disebar di area jebakan dekat kolam. Sore hari burung-burung itu mendekati serangga jebakan. Grup Dua terus mengintai burung-burung itu, jangan sampai mereka pindah tempat. Kalau sampai lepas intaian, akan menyulitkan untuk mengintai lagi. Apalagi warna bulu mereka hijau, sama dengan dedaunan di hutan.”

“Ya, harus terus diintai karena saat maghrib mereka mencari pohon untuk tempat tidurnya. Kalau tidak diintai, kita tidak tahu di mana mereka tidur, jadi gagal tangkap,” ujar monster yang satunya.

“Betul, saat maghrib burung-burung itu diketahui tidur di area jebakan dekat kolam. Mereka sudah bertengger di pohon-pohon daerah situ. Jadi saat tengah malam, Grup Dua sudah siap menangkapnya. Sayangnya, dua anak perempuan itu masuk ke area jebakan burung. Mereka teriak-teriak mau buang air kecil. Ditambah lagi ada ular king cobra sedang mencari makan di area situ. Ular itu hendak memangsa burung ekek geling jawa yang sedang tidur.”

“Grup Dua jadi menghadapi banyak gangguan.”

“Betul, padahal Grup Dua lagi kejar target jumlah penangkapan. Jadi Grup Dua yang terdiri dari empat orang itu bagi tugas. Darto dan Jay disuruh menangap ular king cobra. Kus dan Ron bagian meringkus kedua anak perempuan itu. Kedua anak perempuan itu lalu dibawa ke markas tempat Kakek Bos. Di sana mereka dipertemukan dengan tiga anak laki-laki itu. Ketiga anak itu ditangkap karena menyusup ke markas. Untung Penjaga markas tahu saat sedang patroli.”

“Mengganggu saja anak-anak itu! Sekarang anak-anak ini mau dibawa kemana?”

“Kakek Bos suruh mereka dibawa ke Jakarta. Penadah burung-burung langka ada yang punya kenalan dengan pencari pekerja ilegal di luar negeri. Kau tahu, kan, pencari kerja ilegal?”

“Ya, ya, mereka tidak perlu surat-surat izin resmi dari pemerintah. Mereka bahkan hanya dijual murah, tapi kalau jumlahnya lima anak, harganya bisa wow,” jawab Monster yang satunya.

“Kayalah Bos kita. Walaupun dia sudah kakek-kakek, tapi cari duitnya licin kayak belut, semua ditabrak. Moga-moga kita juga kecipratan duitnya,” mereka cekikikan.

Mata Matahari dan Ujang terbelalak. Mereka mau dijual ke luar negeri? Mereka harus bisa meloloskan diri atau tidak bisa bertemu keluarga dan teman-teman lagi.

Bisakah kelima anak ini meloloskan diri dan kembali berkumpul dengan keluarganya?

(Bersambung…)

Misteri Monster Berbintil di Pulau Terpencil
Novel Petualangan Anak 10-12 Tahun
Penulis: Tethy Ezokanzo dan Wahyu Annisha

Bagikan artikel ini:

Tinggalkan komentar