Part 18 – Pulang ke Bandung
Sudah seminggu sejak peristiwa itu. Lilis dan Bunga sudah kembali ceria. Dudung yang sempat tak mau makan, kini ia makan apa saja, lahap. Matahari pun kembali ke sifat aslinya yang jahil.
Saat sore hari mereka kumpul di rumah Bunga. Kebetulan pohon mangga dan pepaya di depan rumah Bunga sedang panen. Bunga usul mereka rujakan.
“Kita bikin bumbu rujak pakai resep Ummiku, ya?” tawar Bunga.
“Apa itu?” Lislis penasaran.
“Selain pakai gula merah, cabe, terasi, garam, juga pakai kencur, dan kacang tanah goreng. Ditambah sedikit pisang batu. Kalian anak-anak laki-laki bantu mengulek bumbu,” Bunga memberi perintah.
“Siap!” jawab Matahari.
“Cabenya jangan banyak-banyak, aku tidak suaka makan pedas!” ujar Lilis sambil mengupas mangga dan pepayanya.
“Nggak sekalian mangga dan pepayanya juga jangan banyak-banyak, Lis? Bisa dikasih ke aku, kok,” canda Dudung.
“Eh, kalian masih ingat saat kita ditanya-tanya polisi di Kantor Polisi di Pamarayan, Banten?” tanya Matahari.
“Mana Lilis dan Bunga ingat, mereka, kan, nangis terus di kantor polisi. Akhirnya hanya anak-anak laki-laki saja yang ditanya-tanya Pak Polisi,” ujar Dudung.
“Ya, bagaimana nggak nangis. Ditangkap, diikat, ketemu makhluk aneh mengerikan berbintil-bintil coklat dan bermata hitam, dikurung di mobil pick up, hampir dijadikan sandera, ada banyak polisi! Wah, pokoknya aku nggak mau lagi, deh! Kebayang kalau tidak bisa pulang ke Bandung lagi!” Lilis terbayang saat-saat tidak mengenakkan itu.
“Aku ditanya Pak Polisi, apa saja yang dikerjakan monster-monster itu di Pulau Pamali. Aku jawab, aku dan Ujang sempat menguping pembicaraan dua monster berbintil. Aku ceritakan semua ini pembicaraan mereka berdua. Saat itu aku heran, monster-monster itu ternyata bisa ngobrol, kupikir mereka alien yang ngomongnya pakai batin,” ujar Matahari.
“Telepati, maksudmu?” ujar Bunga
“Ya, itu, telepati. Tapi Pak Polisi hanya mengangguk-angguk saja sambil terus mengetik jawaban aku.”
“Mereka sedang mencatat laporan kita,” ujar Bunga lagi.
“Aku juga sempat pikir mereka alien! Ternyata bukan, ya?” tanya Lilis.
“Monster-monster itu hanya orang biasa. Begitu penjelasan Polisi tadi pagi dengan Abah lewat ponsel. Ya, seperti dugaan aku karena suara mereka suara manusia banget,” jawab Matahari.
“Jadi mereka monster gadungan!” seru Bunga kesal.
“Monster-monster gadungan itu membicarakan apa saat kamu nguping, Mat?” Dudung penasaran.
“Tentang kita. Kita mau dijual ke luar negeri.”
“Hah!” Lilis, dan Bunga tersentak.
“Untung, tidak jadi!” Lilis mengelus dada. “Monster-monster gadungan itu menangkap banyak burung di Pulau Pamali? Tapi untuk apa burung-burung itu?”
“Hmm… kalau aku tebak mereka itu pemburu burung-burug liar, tepatnya burung-burung endemik di Jawa Barat ini,” jawab Bunga.
“Endemik apaan sih?” tanya Lilis.
“Endemik artinya hanya bisa ditemukan di tempat tertentu saja. Jika disebut burung endemik Jawa Barat berarti burung-burung itu hanya bisa ditemukan di Jawa Barat saja,” jelas Bunga.
“Kok bisa kamu berpikir mereka pemburu burung?” tanya Lilis
“Untuk apa burung dikandangkan? Burung-burung dikandangkan itu bisa jadi diternakkan untuk dijual seperti ternak ayam, atau diteliti seperti di tempat penelitian khusus burung, atau dibudidayakan agar bisa mempunyai anak untuk dijual, atau hendak dijadikan sebagai pet atau hewan kesayangan karena hobi memelihara burung. Kalau menurutku, burung-burung itu ditangkap di alam lalu akan dijual lagi kepada para pecinta burung. Harganya pasti mahal karena itu burung-burung langka. Tidak mungkin untuk dijadikan hidangan karena dagingnya sedikit. Jadi burung penelitian juga tidak mungkin, karena di sana tidak ada tempat penelitian burung,” jawab Bunga.
“Hei, Pak polisi tadi pagi juga bilang begitu ke Abah. Para monster di Pulau Pamali itu adalah para pria yang memburu burung-burung langka. Burung-burung ini dijual ke penadah yang ada di Jakarta,” ujar Matahari.
“Berarti pria-pria kekar di mobil pick up itu juga termasuk orang-orang penadah, ya?” tanya Dudung.
“Mereka kaki tangannya, pokoknya ikut terlibat,” jawab Matahari lagi.
“Kapal itu punya siapa?” tanya Lilis.
“Tentu punya para pemburu burung-burung itulah!” jawab Bunga.
“Para pemburu burung dan para penadahnya, termasuk semua kaki tangannya, akan disidang dan dijatuhi hukuman penjara. Begitu kata Pak Polisi,” jelas Matahari.
“Tapi mengapa para pemburu burung itu memakai pakaian seperti monster?” tanya Dudung.
“Menyamar! Ya, mereka menyamar! Aku baru ingat sekarang! Aku pernah nonton Discovery Channel, tayangan tivi tentang ilmu pengetahuan, sejarah, dan alam. Ada tayangan cara membuat film dokumenter tentang burung. Para pembuat film itu membuat rumah-rumahan dari dedaunana agar burung yang sedang diamati tidak takut dan mau mendekat. Jika burungnya hidup di rawa-rawa atau di daerah berair, para pembuat film itu akan menyamar menjadi tanaman air dengan kamera anti air agar bisa dapat gambar yang bagus,” jawab Bunga.
“Wah, betul juga, ya!” Matahari, Lilis dan Dudung lega karena akhirnya banyak misteri yang bisa mereka tahu jawabannya.
“Oh ya, Bung, aku ingat! Salah satu monster di pantai itu berbisik pada temannya. Mereka menangkap kau dan Lilis karena mereka kesal, tugas mereka menangkap burung diganggu oleh teriakan kalian dan adanya ular king cobra!” ujar Matahari.
“ASTAGANAGA! KING COBRA?” mata Bunga terbelalak.
“Ular, Bung! Bukan naga!” celetuk Matahari.
“Maksudmu?” dahi Lilis berkerut. Dia masih tak paham.
“Monster-monster gadungan itu sudah mengintai dan mengumpan burung sejak sore untuk ditangkap. Saat malam burung-burung itu sudah masuk area penangkap, tapi malah kalian ada di area itu sambil teriak-teriak. Ditambah lagi ada ular king cobra yang juga ingin memangsa burung-burung itu. Jadi kalian berdua dan king cobra itu diamankan,” jelas Matahari.
“Kau tahu ular king cobra, Lis?” tanya Bunga.
“Ular? Aku tahu ular. Hewan merayap yang berbisa itu, kan?” jawab Lilis polos.
“Ini bukan ular biasa, Lis. Ini king cobra!” jawab Bunga gemas. “Namanya saja pakai kata ‘king’ yang berarti raja. Ukuran ular ini lebih besar dari ular kobra biasa.”
“King cobra itu besar banget! Tiga kali lipatnya dari besarnya ular kobra biasa. Ukuran tubuh king cobra bisa mencapai panjang 5,5 hingga 6 meter. Diameter tubuhnya 10 cm. Bobot tubuhnya bisa mencapai 6 hingga 12 kg. Beda dengan ular kobra biasa yang panjangnya hanya 1,7-2,5 meter. Nah, dari panjangnya saja bisa ketahuan, kan, seberapa besar ular king cobra dibanding kobra biasa?” jelas Matahari
“Bisa racunnya juga sangat berbahaya. Dapat menyebabkan gagal bernapas hingga koit alias meninggoy alias mati alias wafat!” ujar Bunga.
“Astaga!” mata Lilis terbelalak.
“Kenapa kau tahu banyak tentang king cobra, Mat?” tanya Dudung.
“Bacalah! Memang Bunga saja yang suka baca!” jawaban Matahari melirik Bunga. Bunga mendengus.
“Tapi bagaimana mereka tahu ada ular king cobra di sana?” Lilis masih tak mengerti.
“Mungkin mereka dengar suaranya, sedangkan aku dan Lilis tidak,” tebak Bunga.
“Ya, monster-monster itu pasti mendengat suara desisan ular itu! Karena dia ular yang bertubuh besar, pasti desisannya juga terdengar kencang,” tebak Dudung.
“Kau kira ular king cobra mendesis, Dung?” Matahari tertawa.
“Jadi apa, dong? Dangdutan? Hajatan kali, pakai dangdutan!” jawab Dudung.
“Suara ular king cobra mirip kokokan ayam betina kalau sedang menjaga telur atau anak-anaknya,” jawab matahari
“HAH?!” Dudung, Lilis, dan Bunga terbelalak.
“Aku dengar itu! Suara kokokan ayam betina. Saat itu kupikir ada ayam hutan yang sedang mengerami telurnya di sana. Aku tidak sangka itu ular king cobra! Untung aku tidak lihat! Bisa pingsan di tempat kalau aku lihat ular itu!” Lilis merinding sambil memegangi dadanya.
“Jadi ada untungnya kalian diringkus, ya?” ujar Dudung meringis disambut mata Lilis yang melotot.
Tanpa terasa rujak mereka sudah habis. Mereka pun bubar setelah membersihkan semua peralatan ngerujak.
Sesampainya di rumah tiba-tiba Dudung teringat sesuatu. Bunga juga teringat sesuatu Apakah yang Dudung dan Bunga ingat itu?
(Bersambung…)
Misteri Monster Berbintil di Pulau Terpencil
Novel Petualangan Anak 10-12 Tahun
Penulis: Tethy Ezokanzo dan Wahyu Annisha