Misteri Monster Berbintil di Pulau Terpencil – Part 5

Part 5 – Tanjung Lesung yang Eksotik

“Mat, bangun, Mat! Aku sudah tidak tahan!” Dudung menggunjang-guncang lengan Matahari dengan keras.

“Hah? Ada apa? Kita sudah sampai?” Matahari bangun dengan wajah bingung. Ia mengucek-ucek matanya.

Dudung menutup mulutnya erat-erat. Wajahnya pucat pasi.

“Eh, kamu kenapa, Dung! Mau muntah, ya? Kamu bawa kantong plastik tidak?” kantuk Matahari langsung hilang.

Dudung melambaikan tangan. Mukanya semakin pucat.

“Aduh, tahan dulu. Bahaya kalau kamu muntah. Bisa kena ke hantaran-hantaran ini,” Matahari segera mencari kantong plastik di ranselnya. Tidak ada. “Pak sopir, berhenti! Dudung mabuk darat!” seru Matahari.

Dudung meringis, malu diumumkan seperti itu. Ibu-ibu segera menolong Dudung. Entah mereka dapat dari mana kantong plastik itu. Seorang Ibu mengoleskan minyak kayu putih di perut dan dada Dudung.

Orang-orang di bus segera menghubungi orang-orang yang ada di mobil depan lewat ponsel. Mereka mengabarkan Dudung muntah. Ummi mengusulkan Dudung bertukar tempat duduk dengan Bunga.

Mobil dan bus berhenti. “Bunga, bangun!” Ummi mengguncang bahu anak perempuannya itu. Bunga sedang tidur pulas di samping Abi yang pegang kemudi mobil.

“Hah! Ada apa, Mi? Kita sudah sampai? Mancing! Hore, mancing!” wajah ngantuk Bunga berubah ceria.

“Dudung mabuk kendaraan! Kamu dan Dudung tukar tempat duduk,” jelas Ummi.

Karena bus penuh berisi hantaran. Bunga tidak bisa mencari posisi nyaman untuk tidur seperti di mobil tadi. Di bus Bunga harus memangku hantaran dengan hati-hati. Hantaran itu tidak boleh rusak.

“Kenapa, sih, bus ini penuh hantaran?” keluh Bunga saat kendaraan mereka kembali melaju.

“Lho, mana kutahu. Kan, kamu yang tadi menyuruhku memasukkan hantaran di sini. Sekarang, pangku, deh, hantaran itu,” jawab Matahari tertawa.

Bunga meringis. Demi Pamannya, kali ini dia rela memangku hantaran selama perjalanan.

Setelah empat jam perjalanan, bus harus isi bensin. Mobil di depan juga ikut mampir ke pom bensin. Dudung orang pertama yang lari ke toilet pom bensin. Dia sudah tidak tahan untuk membuang mualnya lagi.

“Mana Dudung?” tanya Ummi Bunga.

“Di toilet,” jawab Abi.

“Mat! Coba dilihat Dudung di toilet. Apa dia baik-baik saja?” suruh Ambu.

Walaupun enggan, Matahari tetap melaksanakan juga perintah itu. Matahari kembali dari toilet dengan wajah tegang, “Dudung tidak ada di toilet!”

Semua kaget. Mereka menyebar mencari Dudung. Seluruh wilayah pom bensin ditelusuri. Semua orang yang ada ditanyai, tapi Dudung tidak ada!

“Dudung di sini!” teriak Bunga kencang dari jendela bus.

Semua segera menghampiri bus. Dudung sedang asik tertidur pulas di tepi hantaran. Pintu bus terbuka lebar sehingga dia masuk saja.

“Ada apa, sih, teriak-teriak? Ribut amat!” Dudung terbangun.

“Bagaimana, Dung? Sudah lebih sehat sekarang?” tanya Ummi sambil meraba dahi Dudung.

Dudung mengangguk. Wajahnya terlihat ngantuk sekali.

“Untung hantaran Paman tidak ada yang rusak, Dung,” ujar Paman Bunga.

“Tenang, Paman. Kalau hantarannya ada yang rusak, kita batalkan saja acara pernikahan Paman,” jawab Dudung sambil mengucek-ngucek salah satu matanya.

“Enak saja!” seru Paman Bunga diikuti tawa orang-orang.

Perjalanan itu akhirnya sampai di tujuan. Pantai Tanjung Lesung cantik sekali. Pasirnya putih dengan laut biru berkilauan tertimpa cahaya matahari. Mungkin karena tidak berhadapan langsung dengan samudera lepas, laut di sini begitu damai. Irama debur ombaknya menenangkan hati.

“Krakatau! Mana Gunung Krakataunya?” Dudung heboh.

“Gunungnya sudah pindah, Dung,” jawab Bunga.

“Pindah ke mana?” tanya Dudung dengan mata membulat.

“Ke hatiku,” celetuk Lilis.

“Kalian, nih, becanda mulu! Oh, itu dia! Itu pasti Krakataunya!” tunjuk Dudung pada sebuah gunung di ujung laut.

“Sebenarnya itu bukan Gunung Krakatau, Dung! Gunung Krakatau sudah musnah tahun 1883 karena letusannya sendiri yang dahsyat,” jelas Bunga.

“Lho, kalau gitu itu gunung apa?” tanya Dudung.

“Itu daratan yang muncul setelah terjadinya letusan Gunung Krakatau. Mereka terdiri dari empat pulau yaitu Gunung Anak Krakatau, Pulau Rakata, Pulau Panjang, dan Pulau Sertung,” jawab Bunga, “Keempat daratan itu dikenal sebagai wilayah yang dilindungi bernama Cagar Alam Krakatau.”

“Apa bedanya Gunung Krakatau dan Gunung Anak Krakatau? Tidak mungkin gunung bisa punya anak! Bunga ini ada-ada saja,” Matahari ketawa meremehkan.

“Iyalah gunung tidak mungkin punya anak! Itu hanya istilah saja agar gunung itu mudah diingat,” ujar Bunga. “Gunung Anak Krakatau itu muncul sekitar 40 tahun setelah letusan Gunung Krakatau yang terjadi pada tahun 1883. Karena itu dia dijuluki ‘anak Krakatau’. Dia gunung yang aktif, artinya ada lava yang rutin keluar dari kawahnya. Lava ini adalah magma atau cairan di dalam bumi yang keluar dari kawah gunung dan panasnya bisa lebih dari seribu derajat selsius.”

“Kamu, kok, tahu banyak tentang Krakatau?” tanya Dudung.

“Rajin baca, Dung! Membaca itu jendela dunia. Dengan membaca bacaan yang bermutu, wawasanmu akan bertambah luas,” ujar Bunga.

“Kalau Gunung Anak Krakatau itu wilayah cagar alam, kita bisa berkunjung ke sana, dong?” tebak Lilis.

“Iya, besok kita ke sana, yuk, Bung!” ujar Matahari.

“Ayo, yuk! Aku janji tidak akan mabuk lagi, kok,” wajah Dudung berubah ceria.

“Kamu tidak jadi wisata kuliner, Dung?’ celetuk Lilis.

Dudung meringis, “Wisata kuliner tetap harus jalan, dong!”

“Hei, tidak semudah itu ke sana! Kalau mau masuk wilayah Cagar Alam Krakatau, apalagi mau ke Gunung Anak Krakataunya, harus mengurus surat izinnya di kantor Balai Konservasi Sumber Daya Alam di Bandar Lampung atau di singkat kantor BKSDA,” ujar Bunga

“Kok, Lampung? Jauh amat di Sumatera!” protes Matahari.

“Gunung Anak Krakatau itu masuk dalam di Provinsi Lampung, tepatnya di Kabupaten Lampung Selatan. Nanti saat kita mengurus surat izin itu, petugas di kantornya akan mengeluarkan SIMAKSI atau Surat Izin Masuk Konservasi. Tanpa surat izin itu, kita tidak boleh ke Gunung Anak Krakatau. Banyak, sih, agen-agen pariwisata yang menawarkan ke Gunung Anak Krakatau dengan harga terjangkau tanpa SIMAKSI, tapi itu sama saja kita melanggar hukum, kita bisa ditangkap polisi,” lanjut Bunga.

“Ya, sudah, deh, kita di sini saja, nggak usah jauh-jauh ke gunung sana. Nanti tahu-tahu kita masuk penjara,” ujar Lilis dengan wajah muram.

“Padahal seru kalau kita bisa ke sana,” Matahari menatap gunung itu dengan pandangan penuh harap.

“Anak-anak!” tiba-tiba terdengar suara Pamannya Bunga. “Ayo, istirahat dulu di penginapan. Dudung sekamar dengan Matahari, Bunga dengan Lilis.”

Anak-anak senang sekali dapat penginapan yang asri. Ada shower (alat mandi dengan pancuran), kasur empuk, televisi kabel, juga wifi gratis!

“Pamanmu keren, Bunga!” seru Matahari di depan kamar Bunga dan Lilis yang bersebelahan dengan kamarnya.

“Tumben kamu panggil aku dengan nama ‘Bunga’, biasanya ‘Bung’,” Bunga tersenyum. “Pasti gara-gara kamarnya nyaman, ya?”

Matahari meringis, “Ho oh!”

“Eh, kita lihat sunset, yuk. Kata Pamanku sunset di pantai keren,” ajak Bunga.

Sunset? Apaan itu?” Dudung menatap wajah Bunga serius.

“Matahari terbenam,” jawab Lilis.

Langit merah jingga berbaur dengan kemilaunya laut. Burung-burung laut bergerombol terbang rendah di kaki langit. Sesekali terdengar suara kicauan mereka di antara suara deru debur ombak.

Angin bertiup sepoi-sepoi membuat rambut keempat anak itu melambai-lambai. Rambut panjang Lilis dan pitanya yang berwarna-warni bagai menari-nari bersama angin. Pemandangan sunset di Pantai Tanjung Lesung sangat indah.

“Keren!” Lilis berdecak kagum.

“Cakep!” seru Dudung.

“Top banget!” ujar Bunga.

“Terima kasih. Aku tahu, aku memang keren, cakep, dan ngetop banget,” jawab Matahari kalem.

Bunga, Lilis, dan Dudung saling berpandangan. Mereka berlari menjauhi Matahari.  “Bukan temannya Matahari!” seru ketiganya bersahut-sahutan sambil tertawa-tawa.

“Hei! Jangan gitu, dong! Jangan tinggal aku!” Matahari berlari menyusul ketiga temannya.

Ke manakah keempat anak itu akan menghabiskan liburannya di Tanjung Lesung?

(Bersambung…)

Misteri Monster Berbintil di Pulau Terpencil
Novel Petualangan Anak 10-12 Tahun
Penulis: Tethy Ezokanzo dan Wahyu Annisha

Bagikan artikel ini:

Satu pemikiran pada “Misteri Monster Berbintil di Pulau Terpencil – Part 5”

Tinggalkan komentar