BAB IV
Sebuah Tantangan
Salah satu keuntungan menjadi anak yang tinggal di desa adalah; bisa bermain sepuasnya! Mereka bisa bermain layangan di pematang sawah dan lapangan, bermain bola di padang rumput, atau bahkan main petak perang-perangan di kebun-kebun kosong. Beda dengan di kota, kan? Kabarnya, anak kota sudah jarang sekali bermain layangan. Mereka sudah kehilangan tempat yang asyik untuk bermain permainan seru ini.
Di kota sudah jarang sekali lapangan berumput hijau. Tidak ada sawah dimana angin bertiup kencang menerbangkan layang-layang. Tidak ada tempat lagi yang membuat anak-anak bisa bermain dan berlarian sepuasnya. Bermain layangan di kota lebih sering kesalnya daripada asyiknya. Baru saja layang-layang terbang, eh sudah nyangkut di kabel listrik. Kadang kalau bermain bola di pinggir jalan, sering diomeli para pemilik kendaraan yang melintas.
“Kita main layangan di mana sekarang?” tanya Bima sambil merapikan gulungan benang layang-layangnya yang semrawut. “Di sawah?”
“Jangan, kita ke lapangan di belakang surau saja. Di sana pasti banyak anak-anak lain yang bermain layangan juga. Pasti seru banyak lawan buat di adu,” jawab Jali.
“Setuju. Bosan ah di sawah terus. Kemarin kita sudah dari sana,” timpal Jalu.
Akhirnya semua setuju. Dan ternyata usulan Jali tepat. Di tengah lapangan sudah banyak anak-anak lain yang tengah bermain. Layang-layang mereka sudah mengapung di angkasa dengan gagah, meliuk-liuk di terbangkan angin yang bertiup kencang. Segera saja keempatnya mengapungkan layangan masing-masing.
Tidak sulit menerbangkan layang-layang di tempat ini. Dalam sekejap layang-layang mereka sudah mengangkasa.
“Wan, layanganmu mau aku adu?” teriak Jali ke arah Iwan, yang memainkan layangannya di ujung lapang.
“Jangaaaan … aku baru beli layangan ini. Kalau kalah aku nggak punya uang buat beli yang baru,” balas Iwan berteriak.
Jali terbahak. “Payah ah.”
“Adu sama layanganku saja!” teriak seseorang di arah belakang anak-anak itu.
Jali menoleh, dan melihat Sandi menatap ke arahnya. Di tangannya terentang benang yang menyambungkan ke sebuah layang-layang bagus yang sudah mengangkasa. Di sebelahnya berdiri Syamsu. Rupanya dua anak itu sudah berkawan sejak duduk sebangku di kelas tadi pagi.
“Huh, ternyata anak menyebalkan itu ada juga di sini,” dengus Jali.
“Lawan saja, Li, jangan takut. Kamu pasti menang,” kata Jalu menyemangati. Jali mengangguk. Melawan anak kota itu dia pasti menang. Jali yakin, Sandi pasti jarang bermain layang-layang.
“Ayo!” teriak Jali ke arah Sandi. Dia menarik kencang benang layangannya agar menukik dan mendekat ke arah layang-layang Sandi.
Jali adalah pemain layang-layang yang terampil. Dia bisa menarik ulur layangannya agar bisa memenangkan adu layang-layang. Lihat saja, layang-layangnya sudah menukik ke arah layangan Sandi. Setelah itu layangannya berputar-putar, mencoba membelit benang layangan anak kota itu.
“Kena!” pekik Jalu ketika layang-layang Jali sudah membelit layangan lawan. “Tarik, Li, jangan biarkan dia menarik duluan!”
Jali tidak terpengaruh oleh teriakan lantang saudara kembarnya. Dengan tenang dia membiarkan layang-layangnya membelit milik Sandi. Jali cukup yakin benang layangannya lebih tajam dibanding benang Sandi. Untuk adu layangan seperti ini biasanya digunakan benang khusus. Benang layangan dilapisi oleh pecahan beling atau kaca yang dihaluskan. Setelah dicampur dengan kuning telur, campuran ini dioleskan pada benang yang sudah direntangkan. Apabila sudah benar-benar kering, barulah benang ini bisa digunakan.
“Tarik, Li!” teriak Jalu lagi.
Kali ini Jali menurut. Dia menarik benang layangannya dengan cepat. Setelah beberapa saat dia kemudian mengulurnya lagi. Di sisi lain lapangan, Sandi terlihat kewalahan. Dia mencoba menarik-ulur layangannya. Sejujurnya, dia memang jarang bermain layang-layang. Selama berada di kota, hanya sesekali saja dia bermain layangan di atap lantai 2 rumahnya. Itupun kalau Ibunya tidak tahu. Kalau sampai beliau tahu, Sandi akan dimarahi habis-habisan. Ibunya takut Sandi jatuh dari sana. Apalagi kalau benang layangan mengenai kawat listrik. Bisa menimbulkan kebakaran tuh.
Jali tersenyum. Gerakan layangan Sandi mulai tidak teratur. Itu artinya Sandi kebingungan memainkan gerakan benangnya. Karena itu, pada satu kesempatan Jali menarik dan menggulung benangnya kuat-kuat. Dia tahu, gesekan benangnya yang tajam akan memutuskan benang layangan Sandi.
Sesaat kemudian, semuanya tersentak. Sebuah layangan tiba-tiba meliuk dan terlepas. Angin yang berhembus menghempaskan layang-layang itu dan terbang menjauh. Layang-layang siapa yang putus dan kalah?
Jali melirik benang layang-layang di tangannya. Benang itu masih terentang kuat ke angkasa. Itu artinya ….
“Yihaaaaaa ….” dia berteriak lantang. Layang-layangnya masih berlenggak-lenggok gagah di angkasa. Sementara layangan Sandi yang putus segera menjadi buruan anak-anak yang ada di lapangan. Berburu layangan putus adalah sesuatu yang mengasyikan. Rasanya bangga sekali kalau bisa paling dulu menangkap layangan itu.
Jalu, Panca dan Bima bersorak. Mereka senang Jali bisa mengalahkan layang-layang Sandi. Setidaknya mereka berharap anak itu kena batunya sekarang. Jangan meremehkan anak desa!
“Biar tahu rasa dia,” kata Jalu yang masih merasa sebal terhadap Sandi. “Kita mungkin tidak bisa mengalahkannya kalau harus bermain game komputer atau playstation seperti yang dimilikinya. Tapi, dia tidak bisa mengalahkan kita dalam permainan anak kampung seperti ini.”
“Lihat, seenaknya saja dia menyuruh Syamsu menggulung benang layangannya,” bisik Panca. Dia melihat Sandi menyerahkan gulungan benangnya, dan menyuruh Syamsu menggulung benangnya yang masih terulur. “Seenaknya saja dia menyuruh orang.”
“Kok Syamsu mau?” Bima menggelengkan kepalanya kasihan. Menggulung benang kan tidak sulit. Buat apa harus menyuruh orang lain mengerjakannya?
“Cepat menggulungnya, Su, aku ingin ke hutan larangan sekarang,” teriak Sandi hingga terdengar oleh anak-anak di sekitar lapangan itu.
Tiba-tiba Syamsu menghentikan tangannya yang sedang menggulung benang. Kepalanya menoleh kaget ke arah Sandi.
“Hutan Larangan?” tanyanya dengan wajah kaget. Semua anak di lapangan yang mendengar itu pun serentak menoleh ke arah Sandi. Mereka tak kalah kagetnya dengan Syamsu. Sandi mau ke Hutan Larangan?
“Ya, kenapa?” jawab Sandi. “Kamu juga takut seperti anak-anak di desa ini?”
Tubuh Syamsu terlihat menciut. Jelas saja dia takut. Tidak ada seorang pun di desa ini yang berani ke Hutan Larangan. Mendekatinya pun sudah enggan.
“Heran, ada apa sih di sana sampai kalian harus takut seperti itu?”
“Kamu jangan sembarangan ngomong, San.” Tiba-tiba Bima melangkah mendekati Sandi. Terlebih dahulu dia menyerahkan benang layangannya kepada Panca yang segera menggulungnya.
“Bima!”cegah Jalu. Tapi Bima seolah tidak mendengar teriakan Jalu. Dia terus berjalan mendekati Sandi. Jalu dan Jali segera menggulung benang layangan masing-masing. Panca pun dengan susah payah harus menggulung dua benang layangan miliknya dan milik Bima. Untung tadi dia tidak memainkan layangannya tinggi-tinggi, jadi dengan cepat dia sudah berhasil menurunkan layangannya.
Sandi menatap tajam ke arah Bima yang sudah mendekat. Dia tersenyum sinis.
“Hutan itu sudah menjadi larangan sejak dulu,” kata Bima mengingatkan. “Hutan itu terlarang untuk dimasuki.”
“Karena di sana banyak hantu penunggunya?” Sandi terbahak. “Masih saja percaya dengan cerita seperti itu.”
Bima merenggut. Dia tidak suka Sandi bicara seperti itu. Coba kalau dia sudah bertemu dengan Kakek Penunggu Hutan Larangan, pasti Sandi pun akan lari terkencing-kencing.
“Sudahlah, kamu mau ikut atau tidak?” Sandi menoleh ke arah Syamsu.
Dengan takut-takut Syamsu menggeleng.
“Ah, payah. Ternyata anak desa ini penakut semua.” Sandi mencibir. Dia menatap berkeliling ke arah anak-anak desa Margasari yang sedang menatap ke arahnya.
“Aku tidak takut!”
Semua anak tersentak kaget mendengar sebuah suara seolah menjawab tantangan Sandi.
“Jalu?” gumam anak-anak itu. Semuanya tidak menyangka ada anak desa ini yang berani bicara seperti itu. Jali, Panca, dan Bima pun sama kagetnya. Mereka langsung lesu. “Jalu mau ngapain lagi, sih?” pikir mereka.
Jalu berdiri tegak menghadap ke arah Sandi. Matanya menatap tajam ke mata anak yang sudah mengesalkannya dua hari ini. Tiba-tiba Sandi tertawa lebar.
“Ah, rupanya ada anak jagoan yang pemberani juga di sini. Benar kamu tidak takut? Nanti kamu dicekik Hantu Penunggu Hutan Larangan itu, lho,” kata Sandi sambil terkekeh-kekeh.
Jalu mendelik kesal. Sandi benar-benar sudah keterlaluan. Dia sudah melecehkan seluruh anak desa ini. Apalagi dia berani sekali mengungkit-ungkit Penunggu Hutan Larangan tanpa rasa hormat sama sekali. Apa benar dia tidak takut sama sekali dengan kisah-kisah seram Hutan Larangan? Jalu yakin, Sandi pasti pernah mendengar kisah-kisah itu. Apa yang membuat anak itu tidak merasa takut? Jalu berpikir keras.
“Aku tidak takut.” Jalu menegaskan kembali ucapannya. Dia merasa harus membela harga diri seluruh anak-anak yang ada di sini, agar tidak dipermalukan begitu saja oleh Sandi.
Sandi masih terkekeh-kekeh sambil berjalan mendekati Jalu.
“Kalau begitu, kamu pasti sanggup meladeni tantanganku,” katanya dingin.
“Tantangan apa?” Jalu menatap mata Sandi semakin tajam.
Sandi terdiam sesaat, sebelum kemudian mengucapkan sesuatu yang sangat mengejutkan; “Memasuki Hutan Larangan!”
Bukan hanya Jalu yang terkejut, tapi seluruh anak yang ada di lapangan tersebut.
“Itu tidak mungkin,” desis mereka tak percaya mendengar tantangan yang diajukan Sandi. “Tidak ada seorang anak pun yang boleh masuk Hutan Larangan.”
Sandi tertawa. “Bagaimana, kamu berani? Atau mau meralat keberanianmu?”
Jalu merasa dadanya berdegup kencang. Dia sendiri kaget mendengar tantangan yang dilontarkan Sandi. Dia tidak mengira anak itu akan menantangnya masuk ke dalam hutan.
“Jangan, Lu. Kamu tidak boleh menerima tantangan ini,” pekik Panca sambil mengguncang lengan Jalu.
“Benar Lu, itu berbahaya,” kata Bima. “Kamu masih ingat siapa yang kita temui waktu itu?”
Ingatan Jalu kembali ke sosok seorang lelaki tua di pinggiran hutan yang pernah mereka temui. Benarkan Kakek itu Hantu Penunggu Hutan Larangan?
“Aku terima tantangan itu!”
“Jalu!” Panca dan Bima terpekik. Beberapa anak di sekitar itu juga tersentak sambil menahan nafas. Mereka tidak percaya dengan apa yang mereka dengar. Jalu akan masuk Hutan Larangan!
Sementara itu Jali tersenyum-senyum sendiri. Dia sudah menduga Jalu akan menjawab seperti itu. Dari dulu, saudara kembarnya itu begitu penasaran dengan Hutan Larangan. Beberapa kali Jalu mengajaknya pergi ke Hutan Larangan. Tapi entah kenapa, Jali masih belum terlalu yakin kalau dia berani memasukinya. Akhirnya Jalu mengalah, dan menahan diri untuk pergi ke sana. Tapi Jali yakin, suatu waktu Jalu pasti akan melaksanakan keingintahuannya itu.
Bisa jadi keinginan Jalu itu akan terlaksana pada hari ini. Jalu anak yang menyukai tantangan. Dia selalu ingin mencoba apa saja yang membuatnya penasaran. Apalagi sekarang, ditantang oleh anak yang sangat tidak disukainya seperti ini.
“Bagus!” Sandi menyeringai. “Kita ke sana sekarang.”
Huuufff … desahan nafas berat terdengar lagi.
“Tapi dengan satu syarat, San,” pinta Jalu. “Kamu juga harus masuk ke Hutan Larangan.”
Tiba-tiba Sandi terbahak. “Ternyata kamu masih juga takut, sampai harus aku temani?”
“Aku hanya ingin tahu apakah kamu memang seberani seperti yang kamu ucapkan.”
Sandi mendelik mendengar ucapan itu. “Aku memang tidak takut. Dan kalian bisa lihat kalau aku memang akan masuk ke hutan itu.”
Dengan gerakan tangannya yang angkuh, Sandi mengajak Jalu dan anak-anak yang ada di lapangan itu untuk menuju Hutan Larangan. Tapi tidak banyak yang berani megikutinya. Hanya Jalu dan ketiga sahabatnya saja yang akhirnya mengikuti langkah Sandi.
“Aku tidak mau gegabah mengikuti mereka,” kata seorang anak dengan wajah ketakutan.
“Betul. Untuk apa kita mencari masalah dengan mendekati Hutan Larangan,” timpal yang lainnya. “Biarkan saja mereka yang kena masalahnya.”
“Aku yakin, Penunggu Hutan Larangan pasti marah melihat kedatangan mereka.” Yang lainnya terangguk-angguk. Mereka memilih meneruskan bermain layang-layang daripada mempedulikan anak-anak sok berani itu.
***
Sore itu cerah sekali. Sinar matahari yang hangat bersinar membiaskan warna jingga di hamparan bumi. Meski begitu, sinar matahari seolah memantul di atas Hutan Larangan. Rerimbunan pohon tetap menolak sinar matahari menerobos masuk menerangi hutan. Hutan terlarang itu tetap saja terlihat gelap seperti biasanya.
“Kuharap kalian membatalkan rencana bodoh kalian ini,” kata Bima dengan tegas. “Kalian tidak tahu apa yang akan terjadi setelah ini.”
Jalu membisu. Matanya menatap nanar, jauh ke dalam Hutan Larangan yang gelap. Benarkah aku sudah berani masuk ke sana? Pikirnya ragu. Rasa penasaran dan ragunya bergolak menjadi satu.
Sandi tertawa kecil. “Aduh, aku masih saja heran. Kenapa sih kalian masih saja ditakuti oleh kisah-kisah seram itu?” katanya sambil melirik Bima dan teman-temannya yang berdiri berdekatan. Meski datang sendiri, tapi Sandi memang anak pemberani. Dia tidak gentar meski dia tidak ditemani seorang pun yang akan membelanya kalau terjadi sesuatu.
“Tapi … tapi kisah itu … memang benar!” kata Panca dengan leher serasa tercekik. Dari tadi dia menempel terus di samping Bima. Dia sebenarnya enggan datang lagi ke tempat ini. Tapi, rasa solidaritas persahabatannya dengan Jalu membuat dia memaksakan melangkahkan kakinya mengikuti mereka.
“Benar apanya?” sentak Sandi. “Kalian hanya menerima saja ditakut-takuti seperti itu.”
Panca melotot tidak terima.
“Kalian tahu, nama Hutan Larangan itu tidak ada di dalam peta! Yang ada hanyalah nama Hutan Lindung Desa Margasari. Makanya, kalian buka internet dong sekali-sekali, biar tahu.”
Jalu dan Jali mendengus berbarengan. Internet! Meski pernah mendengar informasi tentang itu di koran-koran yang dibaca, tapi mereka belum pernah tahu cara menggunakannya. Lagipula, di desa ini tidak ada internet. Bagaimana mereka bisa mencobanya?
“Meski begitu, hutan ini tetap saja Hutan Larangan bagi warga desa ini,” kata Bima.
“Hutan ini adalah Hutan Lindung!” ralat Sandi. “Kalian tahu kan artinya? Hutan dan seluruh isi di dalamnya dilindungi oleh pemerintah. Kenapa desa kita tidak pernah mengalami kekurangan air, bahkan pada saat musim kemarau? Itu karena hutan ini menyerap banyak cadangan air. Pada saat musim kemarau, sawah-sawah di daerah ini beruntung karena cadangan air masih melimpah. Itulah fungsi dari hutan lindung semacam ini.”
Jalu mengernyit. Penjelasan Sandi benar-benar mengejutkannya. Tiba-tiba dia merasa omongan anak menyebalkan itu ada benarnya. Selama ini desa mereka tidak pernah kekuragan air, bahkan pada musim kering sekalipun. Selalu saja masih ada air di sumur-sumur mereka. Jadi, benarkah hutan ini hanya sekadar hutan lindung belaka? Lalu kenapa jadi dinamakan Hutan Larangan? Pikiran Jalu berkecamuk sendiri.
“Sudahlah, jadi kapan mau dimulai?” tanya Jalu. “Keburu hari semakin sore dan gelap.’
“Jadi kamu takut gelap?” Sandi tertawa lagi, membuat Jalu semakin jengkel.
“Oh, jadi kamu mau kita masuk ke sana pada saat hari semakin gelap? Boleh ….” Jalu semakin tertantang ingin memberi pelajaran pada anak ini, meski sebenarnya dia ragu sendiri. Bagaimana mungkin dia masuk ke dalam hutan tanpa membawa penerangan?
Panca mencengkeram lengan Bima semakin erat. Dia merasa persaingan Jalu dengan Sandi semakin membahayakan. Tadinya Panca ingin memperingatkan Jalu lagi, tapi tampaknya anak itu pasti tidak akan mengabaikan seruannya. Jadi Panca memilih untuk kembali diam. Dasar anak-anak kurang kerjaan, gerutu Panca dalam hati.
“Begini saja,” kata Sandi sambil mendekati Jali. “Aku pinjam layang-layangmu.”
“Tapi ….” Jali berusaha menolak, tapi Sandi sudah merebut layang-layang dari tangannya.
“Aku akan masuk ke dalam hutan itu terlebih dahulu. Di dalam sana aku akan meletakkan layang-layang ini, lalu kembali ke tempat ini. Setelah itu kamu masuk ke dalam untuk membawa layang-layang yang sudah aku letakkan, dan kembali. Dengan begitu, kita semua tahu kita berdua masuk ke dalam hutan itu dengan jarak yang sama. Bagaimana?” kata Sandi.
“Bagaimana kita yakin kamu tidak menyembunyikan layang-layang itu di sana? Kita tidak mau kamu mengelabui Jalu sehingga dia akan tersesat di dalamnya,” kata Bima ragu.
Sandi melirik Bima. “Aku tidak suka berbuat curang. Aku akan meletakkan layang-layang ini di tempat terbuka, di jalan setapak yang aku masukin. Kalau kamu memang berjalan sejauh yang aku masuki,” Sandi menatap Jalu. “Kamu pasti akan menemukan layang-layang ini.”
“Oke, aku percaya.” Jalu mengangguk. “Kamu mulai saja kalau begitu.”
Sandi mengangguk. Dengan percaya diri dia tersenyum, lalu melangkah pasti mendekati pagar perbatasan Hutan Larangan dengan layang-layang Jali di tangannya. Di sebuah pagar kawat yang terbuka karena rapuh, dan sering digunakan para pencari kayu masuk, Sandi berhenti. Dia menoleh ke arah Jalu dan teman-temannya, lalu menyeringai.
Jalu, Jali, Panca, dan Bima menahan napas. Benarkah Sandi akan nekad masuk ke sana?
Napas-napas berat terhembus berbarengan. Mereka berempat melihat Sandi melangkah pasti masuk ke dalam Hutan Larangan. Badannya langsung menyeruak di antara semak dan rerumputan yang tumbuh rapat di sana.
“Anak gila!” desis Panca dengan mata melotot.
“Aku harus memuji kalau dia memang nggak hanya ngomong saja,” kata Jali.
Jalu terangguk-angguk. Dia setuju dengan Jali. Sandi memang tidak hanya besar mulut saja, tapi dibuktikan dengan tindakannya. Rasanya akan memalukan kalau Jalu harus mundur dari tantangan ini. Bisa dibayangkan kalau Sandi akan meledeknya habis-habisan setelah itu. Itu tidak boleh terjadi.
“Kamu masih ada kesempatan mundur, Lu. Kita tinggalkan saja dia sekarang. Biar tahu rasa,” kata Panca.
Jalu memutar bola matanya. “Dan membiarkan dia mengejekku habis-habisan setiap hari? Aku tidak mau. Aku juga akan masuk ke sana.”
Beberapa menit berlalu, dan belum ada bayangan Sandi keluar dari Hutan Larangan. Berbagai pertanyaan mulai mengusik pikiran anak-anak itu. Bagaimana kalau Sandi tersesat di dalam dan tidak menemukan jalan keluar? Bagaimana kalau Sandi ditangkap oleh para Penunggu Hutan Larangan? Bagaimana kalau ….
Sementara Hutan Larangan semakin terasa sepi dan senyap.
“Itu dia!” teriakan Bima menyentakkan semuanya. Dari arah pagar kawat tempat Sandi tadi masuk, terlihat bayangan anak itu keluar. Tak lama Sandi muncul dengan senyum tersungging di bibirnya. Kedua tangannya teracung tinggi, menunjukkan kalau dia sudah tidak memegang layang-layang lagi.
“Kalian lihat, tidak ada apa-apa di dalam hutan itu. Aku kembali lagi dengan selamat.”
Jalu melihat ada senyum kemenangan di bibir Sandi. Menyebalkan! Gerutunya dalam hati. Anak itu sudah berhasil menunjukkan keberaniannya.
“Sekarang giliranmu.” Sandi menoleh ke arah Jalu. “Aku sudah meletakkan layang-layang itu di atas daun-daun talas yang lebar, di dekat sebuah pohon besar. Kalau mengikuti terus jalan setapak yang ada, kamu pasti akan menemukannya. Aku tidak bohong.” Sandi mengacungkan dua jari tangannya.
Jalu mengangguk. Dia langsung melangkahkan kakinya.
“Lu!” panggil Panca yang masih saja belum kehilangan rasa cemasnya.
“Sudahlah,” Sandi mengibaskan tangannya. “Kalian tidak perlu mencemaskannya. Kalian sudah lihat aku tadi masuk dan keluar tanpa ada sesuatu yang terjadi, kan? Justru kalian harus tahu kalau hutan ini adalah hutan biasa.”
Jalu melangkah ragu mendekati pagar perbatasan. Dia harus mengakui kalau langkah kakinya tidak setegap Sandi tadi. Masih ada perasaan ragu dalam hatinya. Benarkah apa yang dilakukannya kali ini? Bagaimanapun, dia sudah melanggar petuah dan larangan orang-orang tua di desa ini. Dia akan memasuki Hutan Larangan yang terlarang!
Jalu menarik nafas panjang dan dalam. Sandi baru saja keluar dari dalam hutan dengan selamat. Itu artinya tidak ada sesuatu yang harus dikhawatiran di hutan ini.
“Bismillah …” ucapnya pelan sebelum menyibakkan rerimbunan semak, dan melangkah ke dalamnya.
Hutan Larangan adalah hutan yang sangat lebat. Mungkin karena tidak tersentuh tangan-tangan manusia, hutan itu masih asli habitatnya. Pepohonan tinggi tumbuh tak beraturan, mencuat bagai tiang-tiang penyangga atap hutan. Jalu tidak tahu jenis pohon apa saja yang ada di sana. Terlalu banyak jenisnya, dan beberapa memang baru kali itu dia lihat. Bukan jenis pohon yang biasa tumbuh di dekat rumahnya.
Semak belukar tumbuh dimana-mana. Tidak terlihat ada lahan atau tanah kosong. Setiap sela antara pepohonan, tumbuh tanaman-tanaman pendek atau semak dan ilalang. Jalan setapak yang dilalui Jalu pun hampir-hampir tidak terlihat, karena memang jarang dilalui. Dia harus sangat hati-hati memperhatikan jalan agar tidak tersesat dan bisa menemukan layang-layang yang diletakkan Sandi.
“Di mana ya layang-layang itu diletakkan?” Jalu menatap ke samping kiri-kanan jalan yang dilaluinya. Tidak terlihat layang-layang itu berada di sana. Kegelapan yang menyelimuti hutan membuatnya sedikit kesulitan mencari benda itu.
“Hebat juga si Sandi. Dia bisa berjalan jauh ke dalam hutan.” Pikiran Jalu berkecamuk. Mau tidak mau dia harus memuji lawannya itu. Dia merasa sudah jauh memasuki hutan, tapi tampaknya Sandi malah lebih jauh lagi. Layang-layang itu masih belum terlihat sama sekali.
Apakah Sandi memang sudah membohonginya? Bisa saja dia mengatakan sudah meletakkan layang-layang itu di dekat jalan setapak. Padahal, dia menyembunyikannya di suatu tempat. Hmmm … awas saja kalau begitu! Tanpa sadar Jalu menggeram sendiri. Matanya berkeliling mencoba mencari tanda-tanda keberadaan layang-layang itu. Tapi nihil, layang-layang itu seolah menghilang ditelan gelapnya hutan.
Jalu mulai putus asa. Semakin jauh dia berjalan, rasanya sudah semakin jauh dia memasuki hutan. Apa mungkin Sandi berjalan sejauh itu? Dibandingkan saat Sandi masuk dan kemudian keluar dari hutan, sepertinya tidak selama dia berjalan saat ini. Jalu seolah berjalan tanpa batas.
Rasa takut mulai menjalar. Kalau sedari tadi dia mengabaikan suara kerosak di sekelilingnya, sekarang ini dia merasa lain. Sepanjang jalan tadi memang terdengar suara berkerosak tidak jauh darinya berjalan. Jalu menganggap, itu bisa saja suara binatang-binatang kecil yang terganggu dengan kedatangannya, sehingga mereka lari dan menggoyang semak dedaunan. Tapi kali ini lain. Jalu merasa badannya gemetar ketakutan.
“Apakah aku harus berbalik lagi lalu menyerah kalah terhadap Sandi?” suara itu mengetuk-ketuk pikirannya. Jalu menggelengkan kepalanya tanpa sadar. Dia membayangkan tawa sinis Sandi yang tertuju kepadanya nanti.
Tapi hutan itu tampak semakin dalam dan gelap. Langkah Jalu terhenti. Dia bisa saja berjalan terus untuk mencari layang-layang yang diletakkan Sandi. Resikonya, dia bisa tersesat dan lupa jalan kembali. Lagipula, siapa yang tahu ada apa di dalam sana? Bisa saja masih terdapat binatang buas yang siap menerkamnya.
Jalu baru saja memutuskan untuk kembali melangkah maju, ketika suara berkerosak di belakang mengejutkannya. Refleks dia menoleh, dan …
“Kamu akan tersesat kalau masuk terus ke dalam sana.”
Jalu terpekik. Matanya melotot penuh ketakutan.
***
“Jalu sudah terlalu lama di dalam sana.” Jali berjalan mondar-mandir dengan gelisah. Sesekali matanya melirik ke dalam hutan, berharap Kakaknya yang lahir berselisih waktu 5 menit itu akan keluar dari sana sambil mengacungkan layang-layang di tangannya. Tapi bayangan Jalu tidak juga terlihat.
“Aku bilang juga apa, ini permainan yang bodoh sekali,” gerutu Panca. Matanya menatap galak ke arah Sandi.
“Ah, paling dia mau pamer, karena bisa lebih lama diam di hutan di banding aku,” jawab Sandi sambil mengendikkan bahunya.
“Ini bukan main-main lagi, San. Aku takut Jalu tersesat di dalam sana,” tegur Bima. Dia tidak senang Sandi menganggap enteng masalah ini.
“Kalau dia mengikuti jalan setapak yang benar, dia tidak mungkin tersesat. Aku meletakkan layang-layang itu tidak terlalu jauh, kok,” elak Sandi.
“Kamu pasti menyembunyikan layang-layang itu di balik semak. Karena itu Jalu kesulitan mencarinya!” tuduh Jali dengan mata berkilat.
Sandi melotot. “Aku tidak sejahat itu. Aku benar-benar meletakkan layang-layang di tempat terbuka, di atas daun talas yang lebar. Seharusnya Jalu bisa melihatnya.”
“Buktinya dia belum juga kembali!” Jali meradang.
“Mana aku tahu?” Sandi mengendikkan bahunya.
“Tolong ceritakan, bagaimana suasana di hutan itu,” pinta Bima seraya memohon kepada Sandi. Dia takut sekali Jalu benar-benar sudah tersesat.
Sandi melirik Bima. “Memang cukup gelap. Kalau tidak hati-hati bisa-bisa kalian salah memilih jalan. Banyak sekali semak rimbun di sepanjang jalan.”
“Dan itu yang terjadi terhadap Jalu!” teriak Panca marah. “Dia pasti tersesat. Lihat, di luar saja hari mulai gelap, apalagi di dalam!”
“Kamu harus menyusul Jalu kembali ke dalam,” pinta Bima.
“Kenapa aku?” Sandi mengernyitkan dahinya. “Kenapa bukan kalian saja yang menyusulnya.”
“Karena kamu yang tahu jalannya, San!” geram Bima.
“Dan kamu yang ngaku tidak takut masuk ke dalam hutan itu,” tambah Panca. “Kalau bukan gara-gara tantangan kamu, Jalu pasti tidak akan berani masuk ke sana.”
Sandi terdiam. Dia melirik ke arah Hutan Larangan. Ada tanda tanya dalam benaknya. Benarkan anak itu tersesat? Apakah tidak mungkin Jalu justru sedang mempermainkannya? Dia sengaja membuat semua orang panik, padahal dia sedang tertawa-tawa memperhatikan dari suatu tempat tersembunyi di sana.
Tapi bagaimana kalau dia memang benar tersesat? Semua orang pasti akan menyalahkannya. Semua anak tahu kalau dia yang menantang Jalu untuk memasuki Hutan Larangan. Apabila Jalu benar menghilang, dia yang akan dimarahi habis-habisan oleh seluruh warga. Ayahnya pun pasti akan marah besar. Ini tidak bagus bagi rencana ayahnya untuk mencari dukungan warga dalam pemilihan kepala desa minggu depan.
“Antar aku ke dalam, San. Aku harus menemukan Kakakku.” Jali menatap Sandi dengan perasaan campur aduk. Sebagai anak kembar, dia merasa ada yang tidak beres sudah terjadi terhadap Jalu. Dia harus segera menolongnya.
Akhirnya Sandi mengangguk. Dia merasa tidak punya pilihan lain.
“Aku juga ikut,” kata Bima, yang langsung membuat Panca ketakutan. Kalau Bima masuk, dia di sini dengan siapa? Jujur saja, Panca tidak berniat sedikitpun masuk ke dalam Hutan Larangan.
“Jangan Bim, kamu menunggu di sini bersama Panca. Kalau sampai magrib nanti kita belum keluar, aku minta kalian lapor pada penduduk desa,” jawab Jali. “Biar aku dengan Sandi saja yang menyusul Jalu.”
Bima mengangguk. Itu usulan yang bagus. Kalau semua masuk ke dalam hutan, bagaimana kalau terjadi sesuatu terhadap mereka semua?
“Ayo, San, kita harus buru-buru, sebelum Jalu tersesat lebih jauh.”
Sandi melangkah enggan mengikuti Jali yang bergerak cepat. Semua ini di luar dugaanya. Dia tidak mengira kalau permainan ini akan berakhir seperti itu.
“Aku bilang juga apa, para Penunggu Hutan Larangan marah. Lihat, sekarang mereka sudah menangkap Jalu.” Panca menghentak-hentakan kakinya dengan kesal. “Siapa tahu mereka akan memakan Jalu hidup-hidup.”
“Hus!”sentak Bima. Dia menatap ke arah Hutan Larangan. Panca mungkin saja benar. Para Penunggu Hutan Larangan itu marah karena hutan mereka sudah dimasuki tanpa ijin.
***