BAB V
Terjebak
Jeritan itu terdengar melengking keras. Jalu benar-benar tidak dapat menahan rasa kaget dan takutnya, sehingga jeritan itu keluar begitu saja. Kakinya tersurut mundur beberapa langkah, menerabas sesemakan berduri tajam yang langsung menggores kakinya. Matanya melotot, menatap ngeri sosok yang berdiri tepat di hadapannya.
Penunggu Hutan Larangan! Nama itu langsung berkelebatan dalam pikiran Jalu. Dia pasti marah besar karena Jalu sudah berani memasuki hutan ini. Sekarang sosok penunggu hutan itu menampakkan diri untuk menghantuinya! Jalu bergidik. Keringat dingin langsung terasa menetes di tengkuknya. Apa yang harus dilakukannya sekarang?
Sosok itu berdiri menghalangi jalan. Sosok seorang kakek tua mengenakan baju hitam-hitam dan topi caping di kepalanya. Karena topi caping itu pula Jalu tidak dapat melihat dengan jelas wajah kakek tua itu. Topi lebar itu menutupi sebagian besar wajahnya. Apalagi hutan terasa semakin gelap, sehingga wajah Kakek Tua itu semakin tidak jelas terlihat.
Inilah sosok Penunggu Hutan yang ramai dibicarakan belakangan ini, dan pernah dilihat Jalu beberapa hari lalu! Masih terngiang di telinga Jalu suara tawanya yang terkekeh-kekeh saat mereka berlari menjauhi Hutan Larangan saat itu.
“Apa yang kamu cari di sini?”
Suara itu terdengar dalam dan bergetar. Jalu tidak tahan lagi. Dia membalikkan badan dan lari menjauh dari sana, semakin jauh memasuki hutan. Dia tidak tahu harus lari kemana. Yang ada dalam pikirannya, dia harus lari sejauh-jauhnya dari Kakek itu.
“Jangan ke sana!” terdengar teriakan Kakek Penunggu Hutan itu. Yang Jalu sadari, Kakek tua itu sekarang berlari mengejarnya. Terdengar suara langkah kakinya mengikuti kemana pun dia berlari.
“Tolooooooooong ….” hanya itu yang bisa Jalu perbuat, meski dia sendiri tidak yakin, apakah ada yang akan mendengar teriakannya? Hutan tempat dia berlari terlalu dalam untuk membuat teriakannya bisa didengar teman-temannya di luar sana. Tapi dia terus berlari dan berlari, menerobos semak belukar yang merintangi jalannya, sebelum …
BRRRUUUSSS ….
Jalu merasakan badannya melorot ketika kakinya menginjak tanah yang lunak di bawahnya. Belum sempat dia menyadari apa yang terjadi, kakinya sudah amblas masuk ke dalam lumpur.
Sebuah rawa di dalam hutan! Dan sekarang dia terjebak di dalamnya. Jalu mencoba meronta-ronta, menggapai sesuatu untuk menahan tubuhnya semakin amblas ke dalam lumpur. Dia meraih semak ilalang yang tumbuh di tepi rawa, lalu mencoba menarik tubuhnya dengan bertumpu pada semak itu. Tidak berhasil. Semak ilalang itu malah tercabut dengan mudahnya.
“Pegang tanganku!” sebuah suara kembali mengejutkannya. Jalu sudah bisa menebak suara siapa itu. Alih-alih menoleh ke arah suara itu, Jalu malah memejamkan matanya, lalu menggapai-gapai mencari sesemakan lainnya untuk bertahan.
Tanpa disadari, sebuah tangan yang dingin dan keriput menyambar pergelangan tangan Jalu, lalu menariknya kuat-kuat dari dalam rawa. Jalu hanya bisa memejamkan tangannya dan pasrah dengan apa yang terjadi. Dia merasa tubuhnya tertarik ke atas, keluar dari lumpur hisap yang menyedotnya.
“Aku sudah memperingatkanmu agar tidak lari ke arah sini. Dasar anak bandel!” suara Kakek Tua itu terdengar begitu Jalu menginjakkan kakinya kembali di atas tanah padat. “Di sini banyak lumpur hisap yang bisa menjebakmu.”
Jalu tertunduk. Dia belum berani mengangkat wajahnya. Rasa takut masih belum hilang dari benaknya. Hanya saja dia bisa melihat pakaian serba hitam yang dikenakan kakek itu, serta kaki telanjangnya tanpa alas apapun. Dalam debar jantungnya yang tidak beraturan, dia tidak tahu nasib apa yang akan menimpanya sekarang.
“Kamu mencari ini?” sudut mata Jalu melihat sebuah layang-layang disodorkan ke arahnya. “Layang-layang ini tertiup angin tadi, terbang dari tempatnya semula, tempat dimana temanmu meletakkannya. Aku menemukannya di bawah pohon asem, jauh dari tempat sebelumnya.”
Dengan tangan gemetar Jalu mengambil layang-layang itu. Dia masih belum berani mendongakkan kepala menatap wajah Kakek Tua itu.
“Sekarang pulanglah. Sebentar lagi di sini akan gelap sekali. Kamu pasti akan semakin tersesat kalau tidak keluar dari hutan sekarang juga.” Kakek Tua itu bicara lagi. “Ikuti saja jalan setapak di sepanjang barisan pohon-pohon besar ini, dan jangan pernah berbelok sekalipun. Kamu akan selamat sampai di luar. Pergilah.”
Jalu merasakan Kakek Tua itu mendorong pelan punggungnya. Dengan tertatih-tatih Jalu melangkah. Dia harus berhati-hati sekarang, karena kakinya tidak menggunakan alas kaki lagi. Sandalnya terlepas di dalam lumpur hisap tadi. Tapi Jalu tidak perduli. Dia sudah sangat bersyukur bisa selamat dari jebakan lumpur, meski harus kehilangan sepasang sandalnya.
Teringat dia belum mengucapkan terima kasih, Jalu segera membalikkan badannya. Siapapun dia, bahkan kalau dia adalah hantu penunggu hutan ini, sudah sepantasnya Jalu berterima kasih. Dia sudah menolongnya dari lumpur hisap itu, dan bahkan menunjukkan jalan ke luar. Jalu tidak punya alasan untuk takut lagi. Kenapa harus takut? Bukankah barusan Kakek Tua itu sama sekali tidak mengganggunya?
Tapi Jalu hanya melihat kegelapan saja di depannya. Sosok Kakek Tua itu sudah tidak ada lagi di tempatnya. Jalu tercenung. Bagaimana dia bisa menghilang begitu saja?
***
“Aku meletakkan layang-layang itu di sini!” kata Sandi sambil menunjuk pohon talas berdaun lebar.
“Tidak begitu jauh dari luar hutan sebenarnya ya,” gumam Jali. Mereka hanya berjalan sebentar sebelum Sandi memberitahunya tempat layang-layang itu diletakkan. Seharusnya Jalu sudah menemukan layang-layang itu, dan segera kembali ke luar hutan.
“Tentu saja. Aku juga mana berani masuk terlalu dalam ke sana.” Sandi menunjuk ke dalam hutan yang gelap. “Agar terkesan aku masuk jauh ke dalam, aku bersembunyi di balik pohon dekat perbatasan hutan selama beberapa saat. Setelah dirasa cukup lama, barulah aku ke luar menghampiri kalian lagi.”
Jali mendelik.
“Aku hanya ingin menguji Saudara Kembarmu itu, apakah dia memang berani masuk ke hutan ini. Seharusnya dia sudah kembali sedari tadi.”
“Dan lihat apa yang sudah kamu lakukan. Kamu membuat dia tersesat di Hutan Larangan!” geram Jali.
Sandi terdiam. Dengan gelisah dia menatap berkeliling. Namun hanya kegelapan yang ada dimana-mana. Dia mulai cemas, benarkah Jalu sudah tersesat? Bagaimana cara sekarang mereka menemukannya? Dengan kegelapan yang mulai menyelimuti, bisa-bisa mereka akan ikut tersesat.
“Kita cari kemana? Kita belum tahu Jalu ada di mana sekarang?” gumam Sandi bingung.
Jali menghentakkan kakinya. Harusnya dia mencegah Jalu pergi masuk ke hutan tadi, dan bukan malah mendukungnya. Kalau sudah begini, dia juga ikutan repot akhirnya. Apalagi kalau Ayah dan Ibu tahu Jalu menghilang di Hutan Larangan. Bisa marah besar mereka. Sudah berapa kali Ayah melarang mereka mendekati Hutan Larangan. Dan sekarang Jalu malah berani memasukinya!
“Jaluuuuuuuuuuu ….” Jali berteriak kencang. Mungkin dengan cara seperti ini Jalu akan mendengar teriakannya.
“Jaluuuuuuuuuuuuu …” Sandi ikut-ikutan berteriak. Mereka masih berdiri di tempat, tidak berani beranjak kemana-mana lagi. Mereka tidak berani mengambil resiko ikut tersesat seperti Jalu.
Suara mereka terdengar bersahut-sahutan di dalam hutan. Teriakan itu terdengar menggema dan tertiup angin. Tapi yang menjawab hanya semilir angin yang menggoyang dedaunan.
“Tidak ada sahutan, Li.” Sandi melirik Jali dengan bingung.
“Kita harus mencari bantuan. Sudah terlalu sore sekarang, dan kita tidak mungkin mencarinya berdua. Terlalu bahaya,” angguk Jali lesu.
“Tapi …” Sandi mulai membayangkan wajah-wajah marah dari seluruh warga tertuju ke arahnya. Tidak bisa tidak, dialah yang mengawali semua kejadian ini. Gara-gara kejadian ini, bisa jadi Ayahnya akan mengirimnya kembali ke kota, dan tidak memperbolehkannya tinggal di desa. Padahal Sandi sudah lama ingin tinggal di desa. Dia sudah jenuh tinggal di kota besar yang penuh dengan kesemrawutan dan kemacetan. Di sana pun dia tidak memiliki banyak teman bermain. Sandi teringat saat kecil dulu dia begitu menyenangi tinggal di desa ini. Banyak hal yang bisa dilakukan dengan teman-temannya. Bermain di sawah, mandi di kali yang airnya masih jernih, atau mencari …
KROSAAKK!!
Suara itu mengejutkan lamunannya. Dia melirik Jali pun tersentak kaget mendengar suara itu. Suara gemerosak datang dari arah depan mereka. Dan … sesosok bayangan muncul di sana, keluar dari balik batang sebuah pohon besar.
Sandi dan Jali kontan memekik.
“Ini aku!” Jalu muncul di sana dengan wajah letih. Badannya kotor. Kaki dan tangannya belepotan penuh dengan lumpur. Sebuah senyum pun kemudian tersungging di bibir Jalu melihat teman dan adik kembarnya yang ketakutan. Dia mengacungkan sebuah layang-layang di tangannya. “Aku berhasil menemukan layang-layangnya.”
“Jalu!” Jali dan Sandi teriak berbarengan. Ada rona lega di wajah keduanya.
Jali segera memburu Kakaknya. Dia segera memapah Jalu yang tampak keletihan. “Kamu tidak apa-apa?” tanyanya cemas. “Aku sudah cemas kamu tersesat di dalam sana.”
Jalu mengangguk. “Aku memang tersesat tadi.”
“Tapi kenapa kamu bisa masuk ke dalam hutan sana?” tanya Sandi cepat. “Aku meletakkan layang-layang itu di sini!” katanya sambil menunjuk pohon talas besar di dekatnya. Tanpa sadar Sandi bergidik sendiri. Bagaimana mungkin layang-layang itu jadi ada di dalam hutan yang lebih jauh?
“Tapi layang-layang ini memang ada di sana.” Jalu menunjuk jauh ke dalam hutan, tanpa menjelaskan lebih jauh bagaimana dia mendapatkan layang-layang itu. Dia tidak ingin membahasnya sekarang.
Sandi terbelalak. Itu tidak mungkin, pikirnya kaget. Dia yakin sekali meletakkan layang-layang itu di tempatnya berdiri sekarang. Bahkan Sandi tidak pernah berpikir mau memasuki hutan itu lebih dalam. Meski tidak ingin mempercayai tentang kisah-kisah seram hutan ini, Sandi lebih takut dia akan tersesat di dalamnya. Belum lagi dia takut ada ular atau binatang melata lain yang akan mematuknya. Tapi apa yang dialami Jalu barusan?
“Nanti saja kamu cerita. Kita pulang sekarang.” Jali merangkul bahu Jalu, lalu berjalan beriringan ke luar dari hutan.
Di luar sore sudah turun. Panca dan Bima berseru lega melihat ketiga sahabatnya keluar bersama-sama.
“Aku baru saja mengajak Bima melaporkan kehilangan kalian pada warga desa!” teriak Panca, masih dengan sisa-sisa kepanikannya.
“Syukurlah kalian selamat.” Bima menarik nafasnya kembali. Dia merasa lega sekali. “Kenapa badanmu belepotan lumpur begitu, Lu?”
“Besok saja aku ceritakan,” jawab Jalu sambil melirik Sandi. Dia merasa tidak perlu anak itu tahu semua kejadiannya. Buat apa? Sandi bukan sahabatnya. Apa yang ingin diceritakannya hanya perlu diketahui Jali, Panca dan Bima. Tentang Kakek Tua penunggu Hutan Larangan ini.
“Iya, besok sajalah. Lebih baik kita pulang sekarang,” ajak Panca cepat. Semakin sore, Hutan Larangan itu semakin terasa menyeramkan baginya.
Jalu mengangguk. Sebelum melangkah, dia menoleh ke arah belakangnya.
“Terima kasih,” desisnya pelan, tapi tidak cukup pelan bagi teman-temannya. Mereka mendengar omongan Jalu.
Jali, Panca, Bima, dan Sandi saling berpandangan dengan bingung. Jalu berterima kasih pada siapa?
***
Siang itu jam istirahat SD Negeri Margasari sedang berlangsung. Sebagian besar murid berada di luar kelas. Ada yang bermain di halaman, membaca buku di perpustakaan, atau jajan di warung kecil Bi Dedeh, di samping sekolah. Tapi Jalu dan teman-temannya memilih tinggal di dalam kelas. Jalu berjanji akan menceritakan semua kejadian di dalam Hutan Larangan itu sekarang.
Sebenarnya, Jali sudah mendengar kisah itu semalam. Jalu menceritakannya sebelum mereka tidur malam itu. Tapi sekarang, dia masih bersemangat mendengarkannya kembali. Pengalaman Jalu benar-benar luar biasa. Rasanya pengalaman itu sebanding dengan kemarahan Ayah yang harus mereka terima tadi malam.
Ya, Pak Marwan, Ayah Jalu dan Jali marah sekali mendengar dua anak kembarnya berani masuk Hutan Larangan kemarin. Awanya dia tidak percaya saat sore itu mendengar desas-desus kalau Jalu ditantang Sandi, anak bungsu Pak Duyo, untuk memasuki Hutan Larangan. Pak Marwan yakin kedua puteranya tidak akan berani mendekati hutan itu. Dia sering sekali menasehati keduanya agar tidak sekali-sekali mendekati hutan itu.
Tapi ketika sore itu Jalu dan Jali datang, mereka tidak berani berbohong. Mereka mengakui baru saja pulang dari Hutan Larangan. Jelas saja Pak Marwan marah besar. Jalu dan Jali dinasehati panjang lebar. Keduanya hanya tertunduk diomeli seperti itu. Melawan omongannya hanya akan membuat Pak Marwan semakin marah. Karena itu Jalu dan Jali hanya diam saja, terutama karena memang mereka sudah bersalah.
“Ayo, Lu, gimana kejadian kemarin itu?” paksa Panca yang sepagi itu sudah tidak sabar mendengar pengalaman Jalu.
“Tapi kamu nggak bakalan takut, Ca?” goda Jalu. “Ceritanya menyeramkan, lho.”
Panca terbelalak. Ketiga temannya langsung terbahak.
“Ayolah Lu, aku penasaran sekali nih,” kata Bima. “Aku khawatir sekali saat menunggu kamu keluar dari dalam hutan. Aku sampai berpikir macam-macam yang menyeramkan.” Bima tertawa kecil.
“Tapi …” Jalu melirik sebuah bayangan yang masuk ke dalam kelas. Dia mendengus kesal karena itu adalah bayangan Sandi. “Aku cerita nanti saja.”
Panca dan Bima siap-siap untuk protes sebelum kemudian menyadari Sandi sudah ada di dekat mereka.
“Kenapa berhenti? Teruskan saja ceritanya.” Sandi melompat dan duduk di meja terdekat, di dekat mereka duduk.
“Sudah selesai kok,” kata Jalu dingin. Dia tidak suka Sandi ada di dekat mereka dan mendengarkan dia bercerita. Jalu masih menganggap Sandi sebagai anak yang menyebalkan dan tidak asyik diajak berteman.
“Harusnya aku berhak tahu kejadian sesungguhnya kemarin itu. Kalau bukan aku yang nantangin kamu masuk Hutan Larangan, kamu nggak akan punya cerita tentang pengalaman di hutan itu. Iya, kan?”
Jalu melotot. Enak saja Sandi ngomong seperti itu. “Dan kamu juga akhirnya yang menjerumuskan aku sampai tersesat di dalam sana! Terjebak dan tersedot dalam lumpur hisap.”
Panca, Bima, dan juga Sandi langsung terbelalak.
“Ada lumpur hisap di dalam hutan itu?” tanya Sandi kaget. Dia sama sekali tidak menyangka tentang itu. Dia pernah membaca tentang lumpur hisap, yaitu lumpur yang bisa menyedot apapun yang terjebak di sana hingga tenggelam tanpa bisa menyelamatkan diri.
“Ya! Untung saja Penunggu Hutan Larangan itu menolongku. Kalau tidak ….”
“Tunggu, tunggu …,” potong Sandi cepat. “Kamu bilang … Penunggu Hutan Larangan?”
Jalu terdiam. Baru saja dia keceplosan menceritakan tentang Kakek Tua itu terhadap Sandi. Dia pasti akan penasaran sekali sekarang. Mungkin akan mengejeknya karena menganggap Jalu sudah membual?
“Sudahlah, kamu pasti tidak akan percaya dengan apa yang sudah aku alami kemarin.” Jalu mengibaskan tangannya.
“Kamu bermaksud mengatakan bahwa kemarin kamu bertemu hantu, atau monster penunggu Hutan Larangan?” Sandi tiba-tiba terbahak. “Kamu harusnya menceritakan dongeng seperti itu pada anak-anak TK, Lu!”
Jalu mendengus kesal. Dia sudah menduga Sandi akan bersikap seperti itu. Dia pasti tidak akan percaya.
“Harusnya kamu yang tersesat kemarin dan mengalami semua kejadian yang Jalu alami kemarin!” Jali menatap Sandi dengan pandangan tidak senang. Dia percaya Jali mengatakan yang sebenarnya tanpa dilebih-lebihkan.
“Buktinya aku tidak tersesat!” kelit Sandi sambil terkekeh-kekeh menjengkelkan. “Aku pikir ini hanya ulah kamu saja, Lu, agar bisa mengarang cerita seperti itu. Kamu senang dan puas kan melihat anak-anak lain tertarik mendengar cerita rekaanmu itu?”
“Aku tidak mengerti maksud kamu apa?” Jalu menatap marah. “Apa maksudmu aku sudah mengarang cerita bohong?”
“Sebenarnya kamu tidak tersesat, kan? Kamu sembunyi dibalik pohon agar kami cemas memikirkanmu yang tidak juga keluar dari hutan. Setelah itu kamu sengaja mengotori badanmu dengan lumpur agar bisa mengarang cerita bahwa kamu terjebak dalam lumpur hisap.”
Jalu berdiri tiba-tiba dari duduknya. Dia marah sekali dengan tuduhan Sandi barusan. “Aku tidak selicik itu! Aku bukan seperti kamu yang ingin mendapat banyak perhatian dari setiap orang!” Jalu benar-benar marah. “Aku bukan tukang pamer!”
“Hey!” Sandi melompat turun dari meja. “Siapa bilang aku tukang pamer?”
“Sudah!” Bima berdiri, lalu merentangkan tangannya di antara Jalu dan Sandi. “Selalu saja kalian ribut. Kenapa sih tidak pernah bisa akur?”
Bima, Jali, dan Panca berdiri di antara mereka, berjaga-jaga kalau keduanya tidak bisa menjaga emosinya.
Untung saja waktu istirahat sudah habis. Lonceng sudah berdentang lagi di halaman sekolah. Murid-murid segera berlarian kembali ke dalam kelas, membuat keduanya kembali ke meja masing-masing.
Jalu melotot galak ketika Sandi melirik ke arahnya dengan senyum sinis.
***
Siang itu tetap saja sepanas biasanya. Matahari bersinar terik membuat Bima dan teman-temannya kegerahan. Karena itu mereka sepakat untuk berenang di kali siang itu. Pastinya sangat menyenangkan berendam dalam air dingin di udara sepanas itu. Segaaaar ….
Di tepian desa Margasari, mengalir sebuah kali yang tenang. Tidak terlalu besar, tapi cukup bermanfaat untuk mengairi pesawahan. Para pemilik kerbau pun sering memandikan ternak mereka di sana. Yang mengasyikan, airnya jernih sekali. Banyak anak-anak desa Margasari yang sering mandi-mandi atau berenang di sana.
Kali ini Bima mengajak mereka ke sana, dan langsung diangguki penuh semangat oleh yang lainnya. Dengan hanya bercelana pendek, mereka langsung berlompatan masuk ke dalam air. Hanya Jalu saja yang belum menceburkan diri. Dia duduk di atas sebongkah batu besar di pinggir kali.
“Lu, ayo terjun!” teriak Jali. “Airnya segar sekali.”
“Iya Lu, tumben kamu nggak berenang?” Panca ikut berteriak. Tangannya mencipratkan air ke arah Jalu. Jalu mengelak sambil tersenyum.
“Sebentar lagi. Aku nanti menyusul,” jawab Jalu.
Tapi sampai Panca dan lainnya puas berenang, Jalu belum juga turun. Dia masih saja asyik merenung di atas batu besar itu.
“Jalu nggak asyik, ah,” kata Panca sambil meloncat naik ke atas batu, lalu duduk di samping temannya itu.
“Iya nih, nggak kompak,” keluh Bima. Dia ikut-ikutan naik ke atas batu diikuti Jali.
Jalu hanya nyengir saja mendengar komentar teman-temannya.
“Mikirin apa sih, Lu? Si Sandi ya?” tanya Jali. “Kalau macam-macam lagi, kita kerjain saja dia. Biar kapok.”
“Iya, ngapain juga anak seperti itu dipikirin, buang-buang waktu saja,” timpal Panca.
Sandi tertawa kecil, lalu menggeleng. “Aku bukan mikirin Sandi,” jawabnya. “Tapi lagi mikirin Kakek Tua Penunggu Hutan Larangan.”
HAH?
“Aduuh Lu, nggak usah ngomongin itu lagi lah,” pinta Panca sambil mengkerut. Dia sudah mendengar cerita Jalu bertemu Kakek Tua itu tadi sepulang sekolah. Dan Panca merasa ketakutan sekali. Kalau saja dia menjadi Jalu kemarin, dia pasti sudah pingsan melihat Kakek Tua itu ada di dekatnya.
“Bukan begitu, Ca,” kata Jalu tetap tertawa. “Aku masih penasaran sama dia. Aku rasa Kakek itu bukan hantu.”
“Kok bisa mikir begitu, Lu?” tanya Bima. “Bukannya kamu tidak bisa melihat jelas wajahnya? Terus, saat kamu berbalik ingin mengucapkan terimakasih, Kakek itu sudah menghilang?”
“Saat itu gelap, Bim. Wajar saja aku tidak bisa melihat jelas wajahnya. Apalagi dia memakai topi caping. Kalau dia kemudian menghilang dengan cepat, bisa saja pas aku menoleh dia sudah pergi di antara rerimbunan pohon dan semak. Iya, kan?”
“Tapi kita semua pernah mendengar suaranya terkekeh-kekeh menakutkan, kan?” kata Panca sambil bergidik. Dia teringat lagi suara tawa bergema saat mereka lari terbirit-birit sore itu.
“Suara tawa orangtua memang seperti itu, Ca. Karena suaranya bergaung terbawa angin dan kita yang ketakutan lah yang membuat suaranya terdengar menyeramkan.”
“Kenapa kamu yakin sekali itu bukan hantu, Lu?” tanya Jali.
“Karena dia sudah menolongku! Kalau dia hantu, buat apa dia repot-repot menolongku dari lumpur hisap? Sebagai penunggu Hutan Larangan, harusnya dia senang kan ada anak yang berani-beraninya memasuki hutan itu lalu tersesat di dalamnya? Kakek ini justru menunjukkan jalan keluar dari hutan.”
Jali mengangguk-angguk.
“Dan aku melihat dengan jelas kalau kakinya napak di tanah!”
“Lalu rencana kamu apa, Lu?” tanya Bima.
“Aku ingin memasuki Hutan Larangan lagi, dan bertemu dengan Kakek Tua itu.”
“Aaaaaahhh …” Panca menepuk jidatnya sendiri. “Itu lagi! Itu lagi!”
Jalu terkikik. “Kakek itu manusia biasa seperti kita, Ca.”
“Gimana kalau bukan?” Panca mendelik.
“Paling kita dimakannya hidup-hidup.”
“Huwaaaa …”
Jalu, Jali, dan Bima terbahak-bahak. Panca memang keterlaluan penakutnya. Masa dia nggak tahu kalau Jalu Cuma bercanda?
“Kamu nggak perlu ikut kalau memang nggak mau, Ca,” kata Jalu lagi sambil menepuk bahu Panca. Nggak enak juga kalau membuat Panca terus ketakutan seperti itu.
“Kalian mau ke sana lagi? Ke Hutan Larangan?” mata Panca terbelalak. “Sekarang?”
Jalu mengangguk. Dia melirik ke arah Jali yang juga ikut mengangguk. Jali merasa lebih berani sekarang karena kemarin sore dia sudah masuk ke Hutan Larangan, dan tidak terjadi apa-apa. Lagi pula, dia percaya dengan pendapat Jalu tentang Kakek Tua itu.
“Gimana, Bim?” Jalu menoleh ke arah Bima.
Sejenak Bima tertegun sebelum kemudian mengangguk ragu. “Aku ikut.”
Panca langsung tertunduk lesu. Sebenarnya dia tidak mau ketinggalan apapun dibanding ketiga temannya yang lain. Kemanapun mereka pergi, Panca selalu ada di antara mereka. Tapi ke Hutan Larangan? Belum-belum Panca sudah merasakan badannya gemetar.
“Aku …” Panca menatap Jalu dengan lesu. “Ikut.”
Jalu, Jali, dan Bima bersorak.
***
Wah, semakin seru kisahnya. Jadi ingat bacaan masa kecil. Setial Lima Sekawan dari Enyd Bliton.
Membaca Hutan Larangan ini seperti piknik. Ada debar, ada geli, ada gemes sama anak-anak ini. Terima kasih untuk hiburannya ?