Misteri Prasasti Hutan Larangan – Bab 8

BAB 8

Memang Ada Sesuatu di Hutan Larangan!

 

Lepas salat Magrib, anak-anak berlarian meninggalkan surau. Jadwal mengaji mereka memang sore hari, dan berakhir setelah melaksanakan salat magrib bersama-sama. Makanya. Lepas salat magrib, terlihat anak-anak berhamburan dari halaman surau. Yang tersisa sekarang hanya orang-orang dewasa yang masih tinggal untuk menunggu tibanya adzan Isya. Biasanya memang seperti itu. Orang dewasa menunggu Isya agar bisa melaksanakan jama’ah bersama-sama.

Tapi ternyata tidak semua anak meninggalkan surau. Di samping surau kecil itu, masih ada Jalu, Jali, Panca dan Bima. Mereka duduk-duduk dengan berselimutkan sarung di tubuh mereka. Udara memang cukup dingin saat ini, meski siang tadi panas begitu menyengat.

Saat itu mereka sedang membicarakan tentang tas kresek hitam yang tertinggal di dalam hutan. Ketika mereka berusaha meninggalkan tempat galian itu, Bima terlupa membawa kembali tas tersebut. Dia baru ingat ketika mereka sudah berada di luar Hutan Larangan.

Jalu melarang mereka mengambil kembali tas plastik saat itu. Dia takut lelaki-lelaki itu akan menyadari kehadiran mereka.

“Kita ambil besok saja, kebetulan besok sekolah libur,” kata Jalu.

“Kita kembali ke sana?” Panca melotot. “Minta ditangkap orang-orang itu, ya?” katanya sambil menggeleng tak setuju. “kita ikhlaskan sajalah barang-barang itu. Kita jangan cari masalah lagi, Lu.”

“Tapi Kek Mahdi pasti membutuhkan pakaian-pakaian itu, Ca. Kita tidak mungkin meminta pakaian bekas lagi, karena pakaian ayahku yang lain masih sering dipakai,” kata Jali.

Bima mengangguk setuju. “Aku juga sengaja membelikan Kek Mahdi sandal baru. Sayang kalau harus dibiarkan begitu saja di dalam hutan tanpa ada yang memakai. Mubazir tuh, sandal itu aku beli dengan uang tabunganku.”

“Tapi orang-orang itu?” keluh Panca. “Mereka bisa menangkap kita kali ini. Mereka pasti akan lebih waspada sekarang.”

“Panca, mereka belum tentu orang jahat.”

Panca melirik Jalu. “Kata siapa?”

Jalu mengendikkan bahunya. “Kita belum tahu persis siapa mereka, kan? Jadi tidak ada alasan menuduh mereka orang jahat kalau tidak ada buktinya.”

“Tapi kalau kita dengarkan obrolan mereka tadi siang, sepertinya kita harus hati-hati, Lu,” ralat Bima.

Jalu mengangguk-angguk. “Iya Bim, kita harus waspada dengan mereka. Tampaknya mereka menyembunyikan sesuatu. Sayang mereka tidak banyak membicarakan apa yang sedang mereka lakukan di sana. Akhirnya kita hanya menduga-duga seperti ini.”

“Yang jelas bisa jadi tinggal di desa kita,” kata Jali. “Kalian dengar kan tadi? Mereka bilang kita harus kembali ke desa sebelum si bos marah.”

“Tapi aku tidak mengenali mereka, Li,” kata Bima yang diikuti anggukan Jalu. “jarak dari tempat kita bersembunyi tidak jauh dari mereka berdiri. Kalau mereka warga desa, kita pasti mengenalinya.”

“Betul. Aku juga belum pernah melihat mereka.” Jali ikut mengangguk.

“Aku seperti pernah melihat mereka, tapi entah di mana. Mungkin hanya sekilas ketika mereka lewat di suatu tempat, jadi aku tidak bisa mengingatnya.”

Jawaban Jalu mengejutkan mereka. “Ayo ingat-ingat, Lu. Siapa tahu kita bisa mengungkapkan misteri ini,” pinta Jali.

Panca mengernyitkan dahinya mendengar pembicaraan itu. “Tunggu, tunggu, jadi maksud kalian tuh apa dengan semua ini? Kita akan menyelidiki orang-orang itu? Mencari tahu rahasia penggalian di dalam Hutan Larangan?”

Tiga kepala di depannya mengangguk.

Panca menepuk kepalanya. “Tapi kita bukan detektif cilik seperti cerita-cerita yang kita baca di perpustakaan sekolah!”

“Kenapa tidak? Kita bisa kok seperti mereka.” Jalu meringis. “Bayangkan kalau kita bisa membongkar sebuah misteri rahasia yang selama ini tersembunyi di Hutan Larangan itu, Ca. Warga desa pasti akan memuji kita.”

“Dan bayangkan kalau kita ditangkap orang-orang jahat itu, lalu dikubur hidup-hidup di dalam hutan itu, Lu!” dengus Panca.

Jalu, Jali, dan Bima terbahak-bahak. “Kamu terlalu melebih-lebihkan, Ca.”

“Terserah lah. Yang jelas, kalian besok akan ke sana lagi?”

“Bagaimana kalau jam 10 pagi?” usul Jalu. Jali dan Bima langsung setuju. Mereka masih berniat untuk mengambil tas kresek itu, dan menyerahkan kepada Kek Mahdi.

“Aku tidak ikut.”

“Kamu takut, Ca?” cengir Jali.

“Aku mau ikut dengan Bapakku menengok Pamanku yang sakit di kota. Pagi-pagi aku berangkat agar sore hari sudah tiba lagi di rumah,” jawab Panca. “Tapi aku juga memang takut sih.”

Panca tertawa diikuti yang lainnya.

“Kalau begitu, kita bubar sekarang. Let’s go!”

Keempatnya segera berhamburan meninggalkan halaman surau, tanpa memperhatikan ada seseorang yang tersenyum di balik pintu Surau. Sedari tadi dia menguping pembicaraan dari sana tanpa terlihat oleh anak-anak itu.

Sandi menggulung sarungnya sambil berjalan menuju sandalnya.

“Jadi seperti itu kejadian sebenarnya?” pikirnya sambil menyeringai senang.

***

Seperti yang sudah direncakan, pagi itu Jalu, Jali dan Bima sudah berada kembali di Hutan Larangan. Keadaannya memang sudah tidak seperti dulu lagi. Sebelum ini, mereka jarang sekali mendekati Hutan Larangan. Mendengar kisah-kisah seram tentang hutan ini saja sudah membuat nyali mereka ciut, apalagi mendatanginya.

Tapi semuanya sudah berubah. Hutan Larangan sudah tidak membuat mereka takut lagi. Beberapa hari belakangan ini, mereka sudah keluar masuk cukup sering. Coba kalau anak-anak Desa Margasari lainnya tahu, mereka pasti akan memuji mereka anak-anak yang pemberani. Padahal memang tidak ada apa-apa di dalam hutan itu. Hihihi.

Kecuali rahasia satu lagi yang belum mereka ketahui.

“Apakah Kek Mahdi bakalan menemui kita lagi, Lu?” tanya Bima, sesaat setelah mereka memasuki perbatasan hutan.

“Entahlah, Bim. Hutan Larangan ini luas sekali. Bisa saja Kek Mahdi tengah berkeliling ke daerah lainnya untuk mencari buah-buahan. Dia tidak mungkin menunggu kita terus-terusan di tempat ini.”

“Tapi kita tetap akan ke tempat penggalian itu sekarang?” tanya Jali.

“Ya. Tujuan kita yang utama adalah mengambil bungkusan yang tertinggal. Siapa tahu ada kesempatan pula untuk menyelidiki penggalian itu,” angguk Jalu.

Mereka pun segera berjalan masuk. Menunggu beberapa saat di tempat biasanya Kek Mahdi menemui mereka, tapi ternyata sosok itu tidak muncul juga. Akhirnya mereka memutuskan untuk segera ke tempat penggalian.

Tidak sulit mencapai tempat itu, karena Jalu sudah memberi tanda di tempat-tempat yang mereka lalui kemarin. Pada saat meninggalkan tempat itu, Jalu sempat mematahkan ranting-ranting semak di beberapa tempat. Saat ini dia tinggal mencari tanda-tanda itu dan mencapai tempat persembunyian kemarin dengan mudah.

“Aaah .. ini dia bungkusan kita,” bisik Bima dengan perasaan senang. Dia meraih bungkusan yang tersimpan di bawah semak. “Untung saja masih ada.”

Jalu dan Jali melirik sekilas ke arah Bima sebelum bergerak perlahan menuju tempat pengintaian mereka kemarin. Sejak mereka mengendap-endap dari jauh tadi, tidak terdengar suara penggalian seperti kemarin.

“Tidak ada orang, Lu,” bisik Jali. Matanya menatap ke sekeliling tempat itu. Tapi lokasi penggalian itu memang sepi.

Jalu mengangguk, tapi tidak mau gegabah. Dia belum berani keluar dari persembunyiannya sebelum merasa aman. Siapa tahu mereka sedang beristirahat setelah melakukan penggalian dari pagi, atau bahkan sedang bersembunyi di suatu tempat. Tapi setelah beberapa lama tidak ada tanda-tanda kehadiran siapapun, Jalu memberanikan diri keluar dari balik rimbun semak.

Jalu berjalan di tepian tanah terbuka itu. Lokasi ini benar-benar sudah dibersihkan dari pepohonan, semak dan juga rerumputan. Rasanya aneh melihat ada bagian hutan yang bersih sementara di sekelilingnya masih dipenuhi rerimbunan pohon dan rapatnya semak ilalang. Lebih aneh lagi kalau melihat ada sebuah galian terbuka di tengah-tengah lokasi tersebut.

“Kamu lihat sesuatu yang aneh dengan tanah galian ini, Lu?” tanya Jali yang mengekor di belakangnya bersama Bima.

Jalu menggeleng. Dia tidak melihat ada sesuatu yang aneh di tengah galian tersebut. Apakah mereka sudah menemukan apa yang dicari, ya? Pikirnya bingung. Atau bahkan belum menemukan apapun? Galian ini belum terlalu dalam. Kalau ada harta karun yang dikubur di tempat ini, pasti tidak akan sedangkal ini penyimpanannya.

“Batu-batu yang di tengah itu apa, Lu?” Bima menunjuk ke tengah-tengah lokasi galian.

Ada sebongkah batu bersusun di tengah galian tersebut. Batu itu masih belum terlihat bentuk aslinya, karena masih tertutup oleh gumpalan tanah di sana-sini. Tapi kalau diperhatikan, itu bukan seperti batu biasa. Jalu bisa melihat perbedaannya dengan batu-batu yang pernah dilihatnya. Hanya saja batu itu pastinya cukup besar. Yang mereka lihat sebagian batu itu masih terkubur di dalam tanah.

“Mungkin hanya batu biasa, Bim. Aku tidak tahu.” Jalu menggeleng.

“Itu Batu ISTIMEWA!”

Dan itu bukan suara Jalu, Jali, maupun Bima!

“AAAAAHH … “ Ketiga anak itu terlompat kaget. Ketiganya menoleh serentak ke sebuah sosok yang tiba-tiba muncul dari tepian lain galian itu, di seberang mereka.

Sosok itu tiba-tiba tertawa terbahak-bahak.

***

Sandi masih tertawa sambil memegangi perutnya, tanpa peduli tatapan kesal dari Jalu, Jali, dan Bima. Ketiga anak itu kaget bukan kepalang. Semula mereka mengira ketiga lelaki kemarin yang datang, ternyata anak paling menyebalkan sedunia!

“Bagaimana kamu bisa ada di sini?” tanya Jalu dengan tatapan menyelidik. Nadanya masih terdengar jengkel.

“Gampang. Tinggal masuk hutan, lalu ikuti jejak yang ada.” Sandi terkekeh.

“Kamu mengikuti kami?” teriak Jali. Dia juga sama kesalnya dengan Jalu. Tapi kapan Sandi mengikuti mereka? Sejak berangkat tadi, sedikitpun mereka tidak merasa diikuti. Sandi pasti sembunyi-sembunyi mengkuti langkah mereka sejak dari desa tadi.

“Memangnya ada yang larang? Hutan ini bukan milik kalian bukan?”

“Caranya membuntuti kami yang aku tidak suka.” Jalu menatap tajam.

“Memang kalau aku bilang mau ikut, kamu mau ngajak?”

“NGGAK!” Jalu mendelik. Siapa yang mau ngajak anak menyebalkan seperti itu.

Sandi terbahak lagi. Rupanya dia senang sekali melihat ketiga anak itu jengkel melihat kehadirannya di tempat itu.

“Tidak diajak pun aku bisa ke tempat ini sendiri. Kalian sudah meunjukkan jalannya kemarin.” Sandi terkekeh.

“Kemarin? Kamu membuntuti kami juga kemarin?” Jalu melotot.

“Ah dasar payah. Kalian tidak cukup pintar untuk menjadi detektif ternyata. Itu yang kalian inginkan, bukan? Menjadi detektif cilik yang mencari tahu apa yang terjadi di hutan ini? Mengetahui ada seseorang yang membuntuti saja kalian tidak tahu. Huh, detektif apaan tuh?” Sandi mencibir.

Jalu semakin jengkel. Sandi benar-benar sudah membuatnya marah.

“Jadi benar kamu mengikuti kami kemarin?” Tanya Bima sambil memegang lengan Jalu. Dia tidak mau Jalu lari menerjang anak itu.

“Betul!” Sandi mengangguk tanpa merasa bersalah. “Aku mengikuti kalian dan bersembunyi dibalik sebuah pohon besar, agak jauh dari tempat kalian bersembunyi di balik semak di sana!” Sandi menunjuk ke arah belakang punggungnya. “Aku juga tahu kalian terbirit-birit pergi dari tempat ini kemarin sore.”

“Dan kamu juga pergi dari sana setelah itu?” Tanya Bima lagi.

“Tentu saja. Aku tidak tahu apa yang membuat kalian ketakutan seperti itu. Yang jelas aku tidak mau ambil resiko. Aku juga segera menyelinap pergi bersamaan dengan kalian kabur dari hutan ini.”

“Dan tampaknya kamu juga harus pergi lagi dari tempat ini sekarang juga,” usir Jalu dengan ketus.

“Dan membiarkan kalian bertiga dengan penemuan besar ini?” Sandi melotot sambil menunjuk bongkahan batu di tengah galian. “Aku ingin menjadi bagian dalam penemuan ini.”

“Penemuan besar apa? Itu cuma batu!”

“Cuma batu? Itu batu prasasti!” teriak Sandi. Kali ini dia melompat ke lubang galian, lalu mendekati gundukan batu itu. Tangannya bergerak menyingkirkan gumpalan tanah yang masih menempel.

Jalu, Jali, dan Bima terbengong-bengong. Batu prasasti?

“Ini benar batu prasasti!” Sandi menoleh ke arah tiga anak itu dengan mata berbinar. “Ayo, kalian lihat sini!”

Jalu, Jali, dan Bima berloncatan turun ke dalam tanah galian. Mereka mendekati Sandi yang masih meraba-raba gundukan batu itu.

“Lihat baik-baik, ini bukan batu biasa!”

Jalu dan kedua temannya ikut meraba-raba dan meneliti tumpukan batu itu. Ternyata Sandi benar, itu bukan batu biasa. Dari kejauhan tadi memang tampak seperti batu biasa. Mungkin karena masih tertutup tanah. Tapi setelah diteliti lebih dekat, mereka bisa melihat kalau struktur batu itu sangat berbeda. Tumpukan batu ini memiliki bentuk! Permukaannya pun lebih kasar, serta memiliki garis ukiran tersendiri.

“Benarkah ini seperti batu-batu yang membentuk sebuah candi?” gumam Bima. Dia pernah melihat gambar-gambar candi di Indonesia melalui majalah yang dia baca. Di televise pun seringkali ada tayangan gambar candi.

“Kamu betul Bim.” Sandi menempuk bahu Bima sok akrab. “Ini memang batu semacam itu. Kita menemukan sebuah prasasti yang terkubur di Hutan Larangan!”

“Kita?” delik Jalu. Di tengah rasa gembiranya karena menemukan sebuah peninggalan kuno, ada rasa sebalnya juga melihat kehadiran Sandi di sini. Coba anak itu tidak tahu tentang ini, tentu hanya mereka bertiga, ditambah Panca tentunya, yang akan bangga melaporkan ini kepada Kepala Desa. Hutan Larangan di desa mereka ternyata menyimpan sebuah situs peninggalan kuno!

“Jangan lupa, Lu, aku yang memberitahu kalian tentang prasasti ini. Kalau bukan aku yang memberitahu kalian, tentu kalian masih menganggap ini batu biasa.” Sandi balas mendelik.

“Sudah! Dalam keadaan seperti ini pun kalian masih saja tidak mau berdamai.” Bentak Bima. “Lihat, kita menemukan sesuatu yang sangat berharga di desa kita. Harusnya kita bergembira dan bukannya tetap bertengkar.”

Sandi dan Jalu saling terdiam. Meski begitu mereka saling melirik satu sama lain. Jali langsung menengahi. Dia merasa Bima ada benarnya. Saat ini mereka tidak perlu memikirkan tentang perselisihan.

“Apakah  prasasti ini peninggalan sebuah kerajaan? Tapi kerajaan apa yang ada di desa kita dahulu?” sela Jalu. “Kita tidak pernah mendengar di desa ini pernah berdiri sebuah kerajaan, bukan?”

“Jangan salah, Li, kerajaan di Jawa Barat itu banyak sekali dulunya,” kata Sandi cepat. “Ada kerajaan Pajajaran, Sumedang Larang, Tarumanagara, dan …”

“Kerajaan Sunda, dan juga kerajaan Galuh,” potong Jalu. Dia tidak suka Sandi pamer pengetahuan juga di tempat ini. Jalu juga tahu tentang kerajaan-kerajaan di Jawa Barat. “Bisa jadi ini semacam peninggalan kerajaan seperti yang pernah kita lihat di daerah Karang Kamulyan.”

Karang Kamulyan  adalah sebuah tempat yang terletak di perbatasan kabupaten Ciamis dan Banjar. Di sana terdapat banyak peninggalan kuno kerajaan Galuh. Mereka pernah wisata ke sana saat di kelas 5 dahulu.

“Oh iya benar, Lu,” kata Jali. “Mungkin prasasti ini juga adalah peninggalan kerajaan Galuh. Bukankah kita berada di wilayah kabupaten Ciamis, berarti masih berada dalam wilayah kerajaan Galuh.”

“Bisa jadi, Li.” Lagi-lagi Sandi yang menjawab. “Bahkan siapa tahu tidak hanya prasasti ini saja yang ditemukan tempat ini, tapi juga peninggalan lainnya. Sebuah candi misalnya, seperti Candi Cangkuang yang terdapat di kota Garut. Bukankah Candi Cangkuang itu adalah peninggalan kerajaan Galuh juga?”

“Waaah … kita bisa terkenal nih karena menemukan situs peninggalan kerajaan jaman dulu,” kata Jali dengan mata berbinar. Bima juga tidak kalah senangnya sebelum teringat sesuatu.

“Tapi bukan kita yang menemukan prasasti ini!” teriaknya kaget. Mereka terlalu asyik sampai tidak sadar kalau ketiga lelaki itu bisa saja ada di sini kapan saja.

“Loh, jadi bukan kalian yang menggali tempat ini?” Sandi bengong.

“Kamu pikir kita sanggup menggali tanah seluas ini?” jawab Jalu. “Kita menemukan tempat ini sedang digali oleh tiga orang lelaki.”

“Penjarah benda kuno!” teriak Sandi.

“Maksudmu?” Bima mengernyit.

“Kalian tahu, benda-benda peninggalan sejarah seperti ini banyak dicari orang. Mereka bisa menjualnya ke kolektor benda kuno dengan harga yang sangat mahal. Mereka bahkan bisa menjualnya ke luar negeri!” teriak Sandi.

“Bagaimana mungkin mereka bisa membawa prasasti sebesar dan seberat ini keluar dari tempat ini?” kata Jali bingung. Prasasti itu masih terkubur sebagian, dan pastinya berat sekali mengangkat batu sebesar itu. Apalagi hanya tiga orang.

“Namanya orang jahat pasti banyak caranya, Li. Bahkan Candi saja bisa mereka curi kok,” kata Jalu.

“Hah, memindahkan candi? Bagaimana caranya?” Jali dan Bima terbelalak.

“Sebuah candi terbuat dari tumpukan batu.. Mereka bisa membawa satu per satu untuk disusun kembali nantinya,” papar Jalu.

“Ini tidak bisa dibiarkan kalau begitu. Kita harus segera lapor warga desa,” usul Bima. Masalah ini lebih besar daripada yang mereka perkirakan. Semuanya sudah jelas sekarang, dan bukan mereka lagi yang bisa menyelesaikan masalahnya.

“Aku setuju. Jangan sampai mereka keburu datang dan melihat kita di sini.”

Keempat anak itu segera bergegas, dan bermaksud melompat naik dari tanah galian. Sayangnya mereka harus mundur kembali ketika tiga sosok tinggi keluar dari balik pohon besar di dekat mereka.

“Kami sudah datang, dan kami sudah melihat kalian ada di sini. Tidak ada yang bisa keluar dari tempat ini lagi sekarang.”

.Jalu, Jali dan Bima terkesiap kaget. Tiga lelaki itu adalah orang yang sama yang mereka jumpai kemrin di tempat ini.  Sementara Sandi tak kalah kagetnya. Dia terbelalak menatap orang-orang itu.

“Kang Dahlan? Kang Ajun? Kang … Slamet?” pekiknya.

Jalu menoleh ke arah Sandi dengan kaget. Sandi mengenal orang-orang ini! Apakah mereka ….

“Wah, wah, ada anak si Bos Besar juga di sini.” Kang Dahlan terbahak menatap Sandi. “Dan kalian semua, nggak ada tempat bermain lagi apa, sampai kalian harus masuk ke dalam hutan ini?”

Jalu menatap orang itu baik-baik. Sedetik kemudian dia tersadar; orang ini adalah yang pernah dilihatnya sekilas di belakang mobil bak terbuka pada saat malam hari itu! Mereka para pekerja pengukuran jalan yang dipekerjakan Pak Duyo! Ya ampun, bagaimana dia bisa lupa.

“Kami hanya tersesat ke tempat ini,” kata Bima setenang mungkin. Meski begitu, dadanya berdetak sangat cepat. Dia tahu, saat ini dia sedang berhadapan dengan orang-orang yang belum tentu berhati baik.

“Tersesat sampai ke dalam hutan? Ckckck …” Lelaki yang bernama Kang Ajung berdecak. “Aku pantas heran kenapa kalian tidak takut dengan semua kisah seram tentang hutan ini.”

“Mereka pasti sudah memata-matai kita, Kang,” timpal Kang Slamet. “Makanya mereka bisa sampai ada di tempat ini.”

“Aku laporkan kalian pada Ayahku!” teriak Sandi galak. “Biar tahu rasa kalian nanti.”

Ketiga lelaki itu terbahak. “Memangnya kapan kamu bisa laporan pada Ayahmu yang sok berkuasa itu? Kamu tidak akan pernah keluar dari hutan ini lagi.” Kang Dahlan kembali terbahak diikuti kedua temannya yang lain.

“Kapan?” teriak Sandi lagi. Dia menyikut lengan Jalu dengan cepat. “Sekarang!”

Seolah mengerti apa kata Sandi, Jalu langsung mengerti isyarat itu. Sandi menginginkan mereka kabur dari tempat itu begitu dia mengucapkan kata ‘sekarang’. Karena itu Jalu langsung berlari secepatnya dan berusaha melompat dari lubang galian. Pada saat itu pula Sandi pun bergerak tak kalah cepatnya. Tubuhnya yang tinggi langsung ikut melompat dari lubang.

Jali dan Bima yang terkejut dengan gerakan tiba-tiba dari Sandi dan Jalu, langsung kebingungan. Keduanya melihat Sandi dan Jalu sudah berlari dan melompat keluar dari galian tempat mereka berada saat itu. Mereka pun kemudian melihat tiga lelaki tinggi besar itu berlari mengejar mereka. Kesempatan itu tidak disia-siakan oleh Jali yang sadar dari rasa terkejutnya.

“Arah sini, Bim!” teriaknya sambil menarik lengan Bima, dan berlari berlawanan arah dengan arah langkah Jalu dan Sandi. Keduanya segera berlari menyeruak pepohonan. Entah kemana mereka tidak peduli, yang penting lepas dari pengawasan ketiga lelaki itu.

Sayangnya, Kang Dahlan menyadari kalau dua anak lagi berusaha kabur melalui arah lain.

“Slamet, kejar dua itu! Biar yang dua ini aku dan Ajun yang membereskannya.

Jali dan Bima semakin ketakutan. Sebuah langkah berderap mulai terdengar di belakang mereka. Tanpa mempedulikan kemana dua orang teman lainnya berlari, Jali dan Bima mencari tempat pelarian tersendiri. Keselamatan mereka lebih penting sekarang ini, meski baru disadari kalau mereka terus belari memasuki ke arah hutan yang lebih dalam.

***

Bagikan artikel ini:

2 pemikiran pada “Misteri Prasasti Hutan Larangan – Bab 8”

Tinggalkan komentar