Pencarian Vesivatoa [Part 1 : Wasiat dari Sahabat]

“Will, Tinggalkan sebentar mainanmu, Nak. Kita harus segera ke ruangan bawah tanah!” Prof. Arnold menyambar tubuh kecil cucunya secepat kilat.

Di luar, ribuan tentara pasukan  Zavreno siap melumat Chinaza. Robot-robot militer besar merangsek di darat, ratusan drone penembak  menderu di langit, bahkan kapal-kapal tempur mereka juga membelah Sungai Mekong, sungai yang airnya luar biasa kental menghitam dan mengeluarkan bau busuk yang menyesakkan.

Warga panik, berlarian kesana kemari. Speaker di seluruh penjuru negeri mengumumkan agar para lansia dan anak-anak segera menuju bunker terdekat, para pemuda diwajibkan berkumpul di kamp militer untuk bergabung dengan pasukan perang Chinaza.

Pintu ruang bawah tanah yang dibuat dari baja terkuat itu tiba-tiba terbuka. Namun, Arnold yang sedang bersimpuh di lantai sambil terus mengajak cucunya bermain tetap tenang, karena hanya sedikit sekali orang yang bisa membuka kode keamanan pintu itu. Sesosok wanita semampai dengan rambut hitam legam datang tergopoh-gopoh. Jubah laboratorium yang dikenakannya tampak koyak, seperti telah digunakan untuk berhimpitan dan bergesekan dengan benda-benda kasar. Kulitnya yang kuning langsat tergores luka di sana sini.

“Universitas diserang! Zavreno betul-betul pengkhianat, Prof!” amarah berkilatan di matanya yang bulat berhias bulu mata lentik itu. Ia lalu terduduk di samping Arnold, berusaha mengendalikan diri dengan mencoba mengatur napas.

“Apa maksudmu? Bukankah dia bilang siap menerima warga bumi di Planet Yajuja? Kenapa jadi begini?” heran Prof. Arnold. Ia berdiri dan berjalan menuju sebuah meja pantry kecil di sudut ruangan, menuang segelas air putih lalu memberikannya kepada rekannya itu.

“Ya, tapi itu saat ia hanya melihat Samaila, Prof. Negeri penuh kesempurnaan. Prof tahu ‘kan, dia memimpin planet yang diisi oleh makhluk-makhluk paling sempurna dari seluruh galaksi. Dia pikir semua makhluk bumi sesempurna di Samaila. Begitu akhirnya dia melihat Chinaza …,” jelas wanita itu sambil mengusap peluh di keningnya dengan sapu tangan ungu yang dikeluarkan dari kantung jas. Setelah meneguk air putih, wajahnya kini lebih tenang.

“Gila! Apa karena manusia di Chinaza terlalu padat? Apa karena pencemaran di sini begitu parah? Justru itulah alasan kita perlu tempat untuk pindah!” tanya Prof. Arnold tak mengharap jawaban.

“Malangnya warga Chinaza, sumber air mereka akan  segera habis, warganya kekurangan gizi, bila ada kesempatan untuk pindah planet, merekalah yang harus jadi prioritas!” jawab Al Kahf, geram.

Suara sirine meraung-raung, listrik padam, semuanya menjadi hitam pekat.

“Al Kahf, kumohon, jagalah cucuku di sini! aku harus ke atas sana!” Prof. Arnold berlutut, lalu menggamitkan tangan Will kecil ke tangan sahabat baik sekaligus rekan kerjanya yang paling ia percaya itu. Will merasakan genggaman tangan wanita itu, begitu hangat dan erat.

“Hati-hati, Arnie. Zavreno membawa banyak pengikut. Ia berhasil menghasut banyak ilmuwan dan tentara untuk bergabung dengannya.” kini Al Kahf memanggil  Prof. Arnold dengan nama kecilnya. Matanya masih menatap penuh kewaspadaan, tapi suaranya bergetar penuh kekhawatiran.

“Aku harus maju. Kau jangan khawatir, aku yakin Jenderal Wiranesha sudah mempersiapkan strategi yang hebat. Kita harus percaya pada kekuatan pasukan Samaila dan Chinaza. Kita akan menang, Bumi akan menang!” jawabnya yakin. “Tapi … bila aku tak kembali, jagalah cucuku ini. Ia sudah sebatang kara. Didiklah dia dengan sebaik-baiknya. Kau bersedia bukan? Kau satu-satunya yang kupercaya ….” kali ini suara Prof. Arnold melunak, demi memohon kepada wanita yang kini menggandeng cucunya.

Si anak kecil berambut cokelat itu belum terlalu paham apa yang terjadi, ia pikir kakeknya hanya akan pamit bertugas seperti biasa.

Wanita itu menghela napas panjang, sebelum akhirnya berkata “Baiklah … percayakan ia padaku. Tapi kau harus pulang Arnie. Proyek Vesivatoa masih belum siap kau tinggalkan,” pinta al-Kahf dengan lembut.

“Kalau begitu… kutitipkan juga Vesivatoa di tanganmu. Wujudkanlah Vesivatoa. Berjanjilah padaku, kau akan selalu mencari tempat berlindung dan selamat!” jawab Arnold. Kali ini suaranya bergetar. Al-Kahf hanya bisa mengangguk sambil menatapnya dengan mata berkaca-kaca. Ia tahu, sahabat bermainnya sejak kecil itu sudah siap habis-habisan kali ini.

Prof. Arnold lalu mengecup kening cucunya seraya berpamitan. “Opa janji ya, nanti kita teruskan main mobilnya?” setelah diam sedari tadi, Will kecil akhirnya bertanya. Matanya jernihnya membulat, menatap Arnold penuh harap. Arnold mengangguk sambil membelai rambut cucu semata wayangnya itu. Ia menatap sang cucu beberapa saat, seolah itu adalah saat terakhirnya melihat Will. 

“Ya sudah, ayo Opa berangkat. Supaya cepat pulang!” Will mengucapkan kalimat yang selalu ia ucapkan saat melepas kakeknya bertugas. “Selamat bekerja, Professor!” Will berdiri tegap sambil memberi hormat ala tentara. 

Arnold membalas  dengan kembali memberi hormat. “Siap, Jenderal!”. Will tersenyum lalu melambaikan tangan. Arnold pun segera memunggungi mereka dengan menahan air mata, lalu pergi ke luar. Ke medan perang besar.

Pasukan bumi akhirnya menang, tetapi Prof. Arnold Usman de la Roche tak pernah kembali untuk menepati janjinya kepada Will.

 

***

Air mata membasahi kertas yang tengah ditulis oleh Prof. Will. Sebuah sapu tangan disodorkan kepadanya. Professor senior itu mendongak dan tersenyum melihat seorang wanita muda dengan jubah peneliti berwarna putih. Wanita yang sudah dia anggap bak anak sendiri.

“Menulis Bab baru, Prof?” tanyanya sambil tersenyum sopan. 

“Ya. Tolong simpan ini, Aretha.” pintanya sambil menyeka sisa air mata, lalu menghembuskan nafas. Menuliskan kenangan tentang Zavreno tak pernah mudah baginya.

Aretha menimang buku yang di kulitnya tertulis Sejarah Masa Depan itu. “Prof. yakin mereka akan datang?”

“Ya, beberapa pekan ini aku mendapat mimpi yang sama. Anak-anak dari masa lalu datang, dan mereka menyelamatkan Vesivatoa.”

Aretha mengangguk, “Yang murni hanya bisa diselamatkan oleh yang murni pula, bukan begitu, Prof?” 

Professor  memberikan senyumnya yang dalam.

“Rapat tim Vesivatoa akan dimulai sebentar lagi. Apa Prof. ingin menenangkan diri dulu? Kita bisa jadwal ulang esok.” 

Sebuah layar virtual memang telah siap di dalam ruangan serba putih yang modern itu. Menampilkan sebuah gambar turbin air dengan tiga sudu yang berputar cepat.

“Tidak apa-apa. Kita harus segera melanjutkan misi pencarian Vesivatoa yang hilang itu. Bila turbin pemurni tak bekerja, cadangan air bersih di bumi ini hanya tersisa untuk sepuluh tahun lagi.” Profesor Will berkata dengan nada getir.

Aretha terdiam sesaat. Ia membayangkan apa yang akan terjadi dengan manusia di bumi sepuluh tahun yang akan datang. Anak-anak yang kini masih bersekolah takkan pernah bisa menjadi dewasa. Bayi-bayi takkan sempat bertumbuh sempurna. Tugas berat ada di pundak mereka, para ilmuwan.

***

Bagikan artikel ini:

2 pemikiran pada “Pencarian Vesivatoa [Part 1 : Wasiat dari Sahabat]”

Tinggalkan komentar