Pencarian Vesivatoa [Part 17 : DI DOLLISOLA]

Prof. Will dan Kiyai Usman menjabat tangan kelima sahabat itu erat-erat sebelum mereka berpisah. “Terima kasih sudah datang kemari dan mendengarkan kami. Jaga diri dan keluarga kalian baik-baik,” pesan terakhirnya sebelum semua mulai naik ke Picasso. 

Tak ada seorangpun yang bicara sepanjang perjalanan. Tak seorang pun mendengkus. Tak seorangpun menguap. Apalagi berani-beraninya buang gas.

Picasso melambat untuk bersiap berhenti. Nabiella melongok ke lantai yang transparan. Mata birunya membesar melihat sebuah pulau berbentuk hati. Jantungnya tiba-tiba berdegup kencang. 

Alana yang duduk bersebelahan memperhatikan perubahan air muka sahabatnya itu . Ia ikut melongok ke bawah. Matanya bahkan lebih melotot lagi. Rambut halus di sekujur tubuhnya tiba-tiba terasa berdiri. Akhirnya dengan terbata-bata gadis berambut ikal itu bertanya,

“Nona Areth … di bawah itu …? Dollisola? “

Nona Areth mengangguk sedih.

“Kalian belum tahu? Tempo hari itu kita ‘kan mendarat di Dollisola. Kalian semua pingsan!” Ghazi yang menjawab. “Kiyai Usman dan beberapa orang dokter menyelamatkan kita. Namun Kalma terpisah cukup jauh dari yang lain sehingga kami harus mencarinya terlebih dahulu.” jelasnya lebih panjang.

Anak-anak Dollabella tercenung. Sunyi kembali merayapi pesawat sampai akhirnya Picasso mendarat di pulau itu. 

“Kenakan pakaian outdoor kalian.” perintah Nona Areth.

Pintu Picasso terbuka. Namun yang ada di depan mereka hanya hamparan mirip padang pasir. Bahkan Lebih tepatnya, padang bijih plastik yang menghitam. Sudah tak ada lagi Hutan Dolla. Tak ada lagi Sungai Dollanile. Tak ada lagi rumah dan sekolah mereka. Hanya ada satu benda besar di depan mereka. Benda yang sangat mereka kenali. Tiram Teleportasi. Melihat tiram itu, senyum lega tersungging tipis di bibir mereka.

“Kalian pasti kenal benda ini bukan?” tebak Nona Areth seraya berdiri tepat di depan mulut tiram. “Kami kira sudah menutup semua portal waktu selain di Laboratoria, ternyata belum. Tiram kalian ini masih aktif.” Nona Areth mulai bercerita. “Begitu kalian datang, sirine di Laboratoria meraung-raung yang menandai bahwa ada penyusup. Setelah kami selidiki, itu kalian.”

“Ah, silakan. Aku hanya mengantar kalian sampai sini. Bawa saja gelang kostum itu, untuk kenang-kenangan.” kata Nona Areth sambil tersenyum getir.

“Nona … bila kami menerima misi ini … apakah Dollisola mungkin tetap ada? Hutan kami, sungai kami, bahkan mungkin rumah kami?” Nabiella memberanikan diri untuk bertanya.

“Aku tak tahu pasti, tapi setidaknya, usaha tak pernah mengkhianati hasil. Pasti ada perbedaan yang bisa dibuat,” jawabnya.

“Teman-teman, aku tidak jadi mundur! Aku ingin menyelamatkan Dollisola. Aku ingin menerima misi ini. Tapi tak mungkin tanpa kalian.” Nabiella memelas, menatap sahabatnya satu per satu.

Kalma paling dulu mengangguk. “Aku juga!” katanya. Ia lalu melirik Alana.

“Aku rasa, orang tuaku akan senang bila aku bisa menjaga kebun Dahlia nenek tetap ada di masa depan,” kata Alana.

Lalu mereka semua menatap Adora. 

Adora menggigit bibirnya di balik helm. Andai kerudungnya bisa dipilin untuk mengurangi kecemasan, pasti ia lakukan. Namun, tak bisa karena tertutupi kostum outdoor.

“Mungkin orang tuaku tak akan terlalu sedih kalau aku hanya mengalami sedikit luka gores.” kata Adora pelan.

Anak-anak Dollabella lalu berpelukan. Ghazi tersenyum lebar sekali. Nona Areth tak bisa menahan haru, hampir saja ia menangis di balik kostum pink-nya.

“Baiklah, akan kupanggil Prof. Will untuk mengambil gelang kalian.”  kata Nona Areth dengan riang.

Hanya butuh sedetik, Prof. Will dan Kiyai Usman sudah sampai di depan mereka. Tergopoh-gopoh Prof. Will menghampiri mereka, memasangkan gelang, dan berterima kasih.

“Kalian akan selalu bisa berkomunikasi dengan kami lewat gelang itu. Gelang ini juga akan mengirim pesan kepada kami begitu Vesivatoa berhasil kalian selamatkan.” jelas Nona Areth. Anak-anak Dollabella dan Ghazi mengangguk tanda mengerti.

“Saatnya berpisah, Anak-anak,” ingat Kiyai Usman. Anak-anak mengangguk. Mereka berjalan beriringan ke mulut Tiram Teleportasi, lalu Alana memencet tombol pembuka tiram itu.

“Hah, apa itu?” samar-samar Adora melihat bayangan sesosok mahkluk kecil dengan bulu lembut.

“Ya Tuhan, kau disana Bougenville! Seluruh tentara Samaila mencari tahu penyelinap portal waktu, ternyata itu kau, ya!” pekik Prof. Will.

Anak-anak Dollabella teringat peristiwa penahanan perjalanan mereka di Chinaza. Tampaknya, penyebab ketegangan itu sudah ditemukan.

Nona Areth dan Kiyai Usman tersenyum lega. Itu memang Bougenville, kucing kesayangan Prof. Will. Mereka sadar Bougenville hilang, tapi tak habis pikir bagaimana ia menerobos masuk ke portal. Namun, tidak mungkin Bougenville juga yang mengirimkan e-mail teror di Laboratoria itu bukan?

Ghazi dan Anak-anak Dollabella menatap mereka bertiga setelah semua masuk ke dalam tiram.

“Semoga kami bisa berkunjung ke Samaila lagiii!” teriak Adora.

“Dan makan makanan betulan!” imbuh Kalma.

Mereka semua tersenyum lebar. Ghazi hendak memencet tombol tujuan, namun Kalma segera menepis tangannya dengan terburu-buru. “Biar aku saja yang menekan tombol!” liriknya tajam. Pintu tiram menutup. 2023.

Bagikan artikel ini:

Tinggalkan komentar