Pencarian Vesivatoa [Part 8 : PRAHARA AIR ]

Dua orang berbadan besar berjas putih dan berkacamata hitam masuk ke ruangan. Mereka mengawal seorang pria berpakaian rapi yang bertubuh tegap. Langkahnya gagah, pandangannya tajam, dan senyumnya berkarisma.  Ia diiringi lagi oleh dua orang lain yang berperawakan sama persis dengan dua lelaki sebelumnya. Tampaknya, pengawal-pengawal itu juga humanoid.

“Silakan kembali duduk,” katanya dengan suara yang dalam, lembut, tapi tegas. 

Lalu semua orang pun kembali duduk.

Ghazi memperhatikan lelaki itu menghampiri meja mereka. Pria itu tersenyum hormat kepada Nona Areth. “Sebuah kehormatan, Anda datang ke negeri kami, Nona! Saya segera kemari begitu mengetahui kedatangan Anda. Bagaimana kondisi di Laboratoria? Prof. Will mengabariku bahwa baru saja ada teror gelap?” 

Nona Areth tersenyum tipis dan kembali berdiri sambil menangkupkan tangan lalu mengangguk. “Begitulah, Presiden Hassan. Sepertinya ada yang ingin mencari Vesivatoa juga. Kyai Usman curiga mereka adalah kaki tangan Lukaccio.” jawab Nona Areth. 

“Lukaccio? Pengikut setia Zavreno itu? Ya … ya … meskipun menurut rumor dia sudah mati, tapi mungkin saja ada penerusnya,” ujar Presiden Hassan tak percaya, wajahnya tampak berpikir keras.

“Semoga teror ini hanya gertakan saja. Sampai saat ini kondisi di laboratoria baik-baik saja dan sudah kembali normal. Namun, aku khawatir ada usaha untuk mencuri data dan mengacaukan sistem teleportasi.”

Presiden Hassan mengusap wajahnya, “Kuharap itu tak sampai terjadi, Nona,”

“Oh ya, saya mendapat berita Anda baru saja kembali dari Chinaza. Bagaimana keadaan di sana, Presiden Hassan?” Nona Areth tampak begitu ingin tahu, seperti ada hal penting di sana.

“Sayangnya, belum ada kabar baik. Usaha penemuan tambang air kembali gagal. Kami harus mundur ke tahap eksplorasi mata air.” kata lelaki itu. Mereka berdua terdiam beberapa saat. “Bagaimanapun, kami sangat berterima kasih kepada Anda, Prof Will dan Kiyai Usman … berkat kalian negeri kami bisa bertahan,” lanjutnya.

“Samaila sangat berharga bagi dunia, Presiden. Penemuan Mata Air Samaila 300 tahun lalu itu telah memelihara harapan hidup dunia. Kami bersyukur bisa berhasil mengembangkan banyak hal di negeri ini,” jawab Nona Areth, suaranya bergetar agak terharu. 

Presiden Hassan tersenyum. “Tapi … Anda tahu ‘kan, mata air kami ini hanya bisa bertahan sepuluh tahun lagi?”

“Iya, Tuan Presiden. Kami sedang berusaha keras mencari Vesivatoa, dan tidak akan membiarkan bila ada orang-orang seperti Lukaccio membuat kekacauan lagi. Tolong doakan kami.”

Presiden Hassan hanya mengangguk. Sebuah kekhawatiran besar tampak jelas di wajahnya.

“Oh ya, apakah teman-teman Nona ini adalah orang-orang dari masa lalu? Anak-anak harapan kita? Aku mendengarnya dari Prof. Will.” Presiden Hassan memandang Anak anak Dollabella satu per satu..

Kelima sekawan itu saling bertatapan. Dipanggil sebagai “harapan” membuat anak-anak bangga, bingung, juga khawatir.

“Mungkin. Saya sendiri belum tahu, tapi semoga demikian, Presiden Hassan,” jawab Nona Areth yang kemudian kembali dijawab anggukan.

“Selamat datang di negeri kami, Anak anak. Senang kalian ada disini. Tampaknya kami akan sangat membutuhkan bantuan kalian,” sambut Presiden Hassan. 

Anak-anak itu hanya bisa menganggukkan kepala sambil tersenyum kebingungan. Mereka sama sekali tidak paham maksud kalimat Presiden Hassan itu.

“Sayang sekali saya harus pergi. Tapi saya menjamin keamanan kalian semua di negeri ini. Semoga misi Anda lancar, Nona,” Presiden Hassan pamit. Ia berdiri, kembali menangkupkan tangannya kepada Nona Areth. 

“Terima kasih, Tuan Presiden,” Nona Areth membalas dengan menangkupkan tangannya sambil mengangguk. Presiden Hassan beserta pengawalnya berjalan tenang keluar dari kafe.

“Kita juga harus segera pergi teman-teman! Ada tempat penting yang ingin kutunjukkan pada kalian,” perintah Nona Areth. Geng Dollabella yang dari tadi tertegun menyimak pembicaraan jadi agak terkesiap.

Mereka meninggalkan Kafe Spirola menyusuri jalan kota Samaila. Baru beberapa menit saja berjalan, tiba-tiba Nona Areth sudah berhenti. “Nah, kita sudah sampai,” ujar Nona Areth.

“Hah? Pintu ini kan …,” suara Nabiella menggantung. Di depan mereka ada sebuah pintu yang sangat mirip dengan pintu di Tiram Teleportasi mereka. 

“Seperti milik kalian bukan? Tapi di jaman kami ini, gerbang waktu telah ditutup karena banyak menimbulkan kekacauan, jadi kami hanya berteleportasi antar tempat. Satu-satunya tempat dimana gerbang waktu dibuka adalah di dalam Laboratoria. Setidaknya seharusnya begitu, sebelum kemudian satu pintu lain juga tiba-tiba terbuka, tempat kalian mendarat …,” jelas wanita itu.

Sekali lagi bola mata Nona Areth berpendar dan pintu teleportasi terbuka. Saat mereka semua sudah masuk, sebuah layar besar otomatis muncul untuk memberitahukan lokasi tujuan dan durasi perjalanan. Tertulis disana 

 “Chinaza. 50 picodetik.”

Bagikan artikel ini:

Tinggalkan komentar