Sebuah kerajaan besar pernah berdiri di bumi Gorontalo. Namanya Kerajaan Tuwawa. Sudah berbulan-bulan lamanya Kerajaan Tuwawa tidak memiliki raja. Raja telah meninggal menyebabkan tiada pemimpin yang bisa mengayomi seluruh rakyat.
Oleh para tetua adat, disepakati mengadakan pemilihan raja baru dari dua orang putra raja yang gagah: Pangeran Mooduliyo dan Pangeran Mooduto
Dipersiapkan segala keperluan. Diundanglah seluruh rakyat dari segala penjuru. Tua-muda, laki-laki dan perempuan, berkumpul di alun-alun kerajaan. Akan diadakan pemilihan raja dan seluruh rakyat menjadi saksi. Siapa gerangan dari dua pangeran yang berhak menduduki takhta tertinggi Kerajaan Tuwawa.
Kerajaan Tuwawa merupakan kerajaan makmur yang masyhur dengan hasil tebunya yang melimpah. Telah disepakati oleh para tetua bahwa dua pangeran akan berlomba. Perlombaan yang sederhana namun menentukan siapa di antara keduanya yang layak menjadi raja. Bentuk perlombaannya adalah beradu memakan tebu. Seluruh rakyat bersorak, gegap-gempita, alun-alun kerajaan bergemuruh oleh suara yang hadir, ramai sekali. Mereka menyambut perlombaan itu dengan suka-cita dan berharap agar segera mendapat raja baru.
“Kakanda…! Siapa pun di antara kita yang menjadi raja, tak boleh membuat iri, dengki, dan saling membenci!” Ucap Pangeran Mooduto.
“Iya Adinda…! Kita tetap adalah saudara meski suratan takdir nantinya akan menentukan nasib di antara kita: menjadi raja atau orang biasa!” Balas Pangeran Mooduliyo sambil tersenyum.
Percakapan dua pangeran itu telah disaksikan Eya: Tuhan pemilik langit dan bumi. Keduanya berharap agar kelak tak saling melukai. Sorak-sorai menggema di segala penjuru Kerajaan Tuwawa.
Dua batang tebu disiapkan. Diundanglah Pangeran Mooduliyo dan Pangeran Mooduto. Keduanya tampil di depan arena. Riuh-rendah suara hadirin menyambut. Masing-masing pangeran mengambil sebatang tebu. Mengupas dengan mulutnya sendiri. Tepuk-tangan hadirin membahana, menjadi penyemangat bagi dua pangeran yang berlomba. Pangeran Mooduliyo bersemangat. Kupasan tebunya telah selesai. Lalu mulai memakan tebu dari pangkal hingga ke ujung. Menghabiskan seluruhnya. Dia tercepat, Pangeran Mooduliyo disambut tepuk-tangan dan sorak hadirin yang terpana.
Di sisi yang lain, Pangeraan Mooduto baru menyelesaikan kupasan tebunya. Memulai memakannya sangat hati-hati. Sang pangeran mengunyah dari ujung tebu yang rasanya paling hambar. Terus mengunyah hingga tersisa sejengkal saja di pangkalnya. Alangkah terpesonanya ribuah pasang mata, saat Pangeran Mooduto bersuara keras dan lantang.
“Ini tebu untuk kalian, para rakyat Tuwawa. Sisa tebu dariku yang rasanya paling manis, kuahnya paling banyak!”
Rakyat terkesima lalu berebut meraih tebu di tangan pangeran. Seorang jelata paling lusuh beruntung menerima sisa tebu dari Pangeran Mooduto. Dikunyahnya dengan lahap lalu tersenyum bangga sambil mengacungkan tangan menggenggam ampas tebu. Berteriak, mengelu-elukan nama Pangeran Mooduto.
“Hidup Pangeran Mooduto!” Keras suaranya
“Hidup…!” Diikuti seluruh hadirin.
Pangeran Mooduliyo hanya bisa tertunduk malu. Menyesali sesuatu yang tidak dimilikinya. Dia sadar bahwa perlombaan ini bukan mencari yang tercepat, tetapi memilih raja yang pantas dan layak memimpin Kerajaan Tuwawa. Para tetua takzim, telah jelas bagi mereka siapa dari dua pangeran yang layak jadi raja. Telah nyata antara Pangeran Mooduliyo dan Pangeran Mooduto mana yang paling bijak, yang paling berbudi, yang peduli, yang tidak sekadar memikirkan diri sendiri.
Pangeran Mooduto dinobatkan sebagai raja baru di Kerajaan Tuwawa. Seluruh rakyat menyongsongnya dengan bangga dan bahagia. Sementara Pangeran Mooduliyo memilih pergi, meninggalkan tanah kelahirannya, mengembara ke banyak tempat untuk memperdalam ilmu budi pekerti.
Saat ini di Gorontalo, Tuwawa dikenal dengan nama Suwawa. Sebuah kecamatan yang masuk dalam wilayah Kab. Bone Bolango. Di sana terdapat kompleks pemakaman tua yang dipercaya milik keluarga Kerajaan Tuwawa. Kuburan tersebut sering dikunjungi banyak kalangan untuk berziarah. Selain jagung, tebu sampai saat ini masih ditanam dan tumbuh subur di Gorontalo dan sering digunakan sebagai pelengkap upacara adat. (*)